Temuan awal dari penelitian yang sedang dilakukan CSIS mengindikasikan potensi penerimaan yang positif dari pemilih muda terhadap konvensi. Generasi milenial dan Gen Z secara umum akan menekankan proses pencalonan.
Oleh
EDBERT GANI SURYAHUDAYA
·5 menit baca
Mata saya secara saksama membaca berbagai pilihan kelas yang disajikan oleh Kartu Prakerja. Namun, saya bukan memilih pelatihan untuk saya sendiri, melainkan untuk adik saya yang baru saja lulus kuliah di 2021. Angkatan pandemi. Begitu banyak orang menyebut mereka.
Forum Ekonomi Dunia punya sebutan lain untuk angkatan ini: pandemials. Pada Survei Persepsi Risiko Global (Global Risks Perception Survey/GRPS), kekecewaan ataupun rasa frustrasi yang sedang dialami kelompok dewasa muda (young adults) di seluruh dunia dipersepsikan sebagai ancaman jangka pendek yang akan dihadapi negara-negara dunia. Kondisi ini dinilai sebagai risiko yang paling lemah pemantauannya di antara banyak risiko lain dalam jangka pendek.
Pandemi menyebabkan pandemial yang sedang mengenyam pendidikan tidak mendapat kualitas pembelajaran yang sama karena ketimpangan akses digital. Hilangnya waktu belajar bisa berdampak pada performa akademis mereka dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
Pada saat yang sama, mereka yang lulus di masa pandemi harus berhadapan pada lapangan pekerjaan yang menipis. Belum lagi persaingan dengan generasi yang lebih tua yang juga terkena imbas krisis ekonomi.
Pandemial di berbagai belahan dunia dikhawatirkan akan menjadi generasi yang hilang (lost generation) apabila tidak mendapatkan atensi yang lebih dari pemegang kuasa.
Secara umum, persoalan ekonomi menjadi kekhawatiran utama generasi ini.
Sebuah riset yang dilakukan Delloite cukup merepresentasikan perspektif pandemial secara global. Mereka melakukan survei kepada 14.655 generasi milenial dan 8.273 Gen Z di 45 negara. Secara umum, persoalan ekonomi menjadi kekhawatiran utama generasi ini.
Sebanyak 50 persen dari Gen Z mengaku kekhawatiran pada prospek karier ataupun pekerjaan mereka berkontribusi pada perasaan stres yang dialami. Sementara itu, 43 persen generasi milenial dan 41 persen Gen Z mengaku khawatir bahwa situasi ekonomi akan memburuk pada 2022. Delloite mencatat terdapat peningkatan tingkat kekhawatiran setinggi 10 persen dibandingkan tahun lalu.
Keresahan ”pandemial” di Indonesia
Apakah Indonesia perlu waspada terhadap ancaman ini? Besar kemungkinan perlu. Terdapat indikasi bahwa generasi milenial dan Gen Z di Indonesia berbagi keresahan serupa dengan pandemial di berbagai belahan dunia. BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 paling banyak ada di kelompok usia muda berumur 15-24 tahun dengan jumlah 19,55 persen.
Pada laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2021, sebanyak 29 persen anak berusia 15-24 tahun di Indonesia mengaku sering merasakan depresi dan kurang motivasi. Median dari 21 negara ialah 19 persen, dan Indonesia menempati posisi kedua tertinggi. Selain itu, Komnas Perempuan mencatat terjadi pelonjakan angka perkawinan anak dari tahun 2019 ke tahun 2020 hingga tiga kali lipat.
Mengacu pada sensus penduduk tahun 2020, generasi milenial dan Gen Z telah mendominasi penduduk Indonesia dengan masing-masing menyumbang 25,87 persen dan 27,94 persen dari total populasi.
Bagi ekonomi, proporsi penduduk ini diharapkan menjadi motor pertumbuhan. Mereka diekspektasikan mendominasi kelas menengah Indonesia sebagai tenaga kerja ataupun pencipta lapangan kerja. Sementara bagi politik, suara mereka akan sangat menentukan arah negara ke depan.
Tarung gagasan meredakan keresahan
Untuk itu, Pemilu 2024 merupakan momentum sekaligus arena politik yang sangat krusial untuk dua hal. Pertama, tentunya karena akan muncul kepemimpinan nasional yang baru. Kedua, dan yang tak kalah penting, ialah arah politik Indonesia ke depan akan ditentukan oleh mayoritas pemilih muda yang lahir dan tumbuh besar pasca-Reformasi.
Saat ini kita terlalu sibuk memikirkan yang pertama, tetapi minim untuk yang kedua. Pandemial yang sedang waswas dan resah akan masa depan mereka butuh harapan untuk keluar dari jerat kebingungan. Pada saat yang sama, entrepreneur politik sangat mudah memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dengan memainkan emosi pandemial.
Salah satu cara terbaik untuk menjembatani keresahan pandemial dengan tersedianya persaingan politik yang terbuka pada 2024 ialah dengan membuka ruang konvensi. Apabila tidak, paling minimal dengan membuka arena adu gagasan sebelum tahapan kampanye formal dimulai.
Adu ide antarcalon sebaiknya dilangsungkan sedini mungkin untuk memupuk harapan bagi pemilih yang sedang resah. Cara lama kandidasi yang tertutup tidak akan mendapat tempat di hati pandemial dan justru turut menyumbang rasa frustrasi pada situasi yang tidak membaik.
Temuan awal dari penelitian yang sedang dilakukan CSIS mengindikasikan potensi penerimaan yang positif dari pemilih muda terhadap konvensi. Terlepas dari persoalan teknis dan kalkulasi politik, generasi milenial dan Gen Z secara umum akan lebih menekankan pada pencalonan dan perdebatan ide dan gagasan dari tiap kandidat.
Dengan melakukan adu gagasan itu sendiri saja publik telah diajak untuk berpartisipasi aktif mengawal konsistensi kebijakan negara ke depan. Politik yang terlalu dipenuhi slogan kosong tak akan banyak memberikan dampak. Generasi milenial dan Gen Z akan lebih tertarik dalam memantau konsistensi dan sikap partai politik dan calon terkait isu-isu dalam platform yang mereka dukung.
Temuan awal dari penelitian yang sedang dilakukan CSIS mengindikasikan potensi penerimaan yang positif dari pemilih muda terhadap konvensi.
Tentu terkesan berlebihan apabila memasukkan 75 juta jiwa Gen Z dan 69 juta jiwa generasi milenial di Indonesia dalam satu keranjang yang sama. Indonesia Millennial Report 2021 yang disusun IDN Research Institute, misalnya, memecah generasi milenial ke dalam enam kategori menarik, mulai dari adventurer, visionary, artist, leader, socializer, conservative, dan collaborator.
Meski begitu, terdapat kesamaan umum di mana keaktifan dalam bermedia sosial merupakan karakter yang dominan di setiap kategori. Rata-rata di atas 70 persen mengaku bermain media sosial merupakan kegiatan utama mereka dalam memanfaatkan internet.
Kedekatan generasi ini pada media sosial tampaknya memiliki hubungan pada semangat untuk melakukan aksi protes. Data V-Dem menunjukkan, sejak dekade 1990-an gerakan mobilisasi massa untuk gerakan demokrasi terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga sampai puncaknya di 2019, sebelum menurun karena pandemi.
Indonesia sendiri di 2019 merasakan gelombang aksi massa yang begitu besar dari generasi milenial dan Gen Z. Menariknya, melalui pengamatan langsung di lapangan, mereka datang dari latar belakang sosio-ekonomi sangat beragam dan mematahkan berbagai macam stereotip sehingga kita tidak perlu mengkhawatirkan apatisme politik generasi milenial dan Gen Z.
Hal yang perlu dikhawatirkan ialah antipati mereka pada politik. Kondisi itu bisa terjadi ketika politik tak dibawa ke persoalan yang relevan dengan kebutuhan riil mereka saat ini.
Adik saya hanya satu dari jutaan pandemial yang sedang resah akan masa depan. Sebatas slogan tak akan banyak membantu mereka.
Edbert Gani Suryahudaya
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS