Hajat Hidup Orang Banyak dalam Kesemrawutan Regulasi Infrastruktur Pasif
Konstitusi dan berbagai undang-undang telah memberikan kemudahan terhadap sektor air, listrik, gas, dan telekomunikasi. Namun, sejumlah pemda justru memberlakukan pungutan bagi pergelaran jaringan vital tersebut.
Oleh
HENRY D HUTAGAOL
·4 menit baca
Air, listrik, gas, dan telekomunikasi merupakan hajat hidup orang banyak. Setiap keluarga membutuhkan jaminan akses yang terjangkau terhadap barang tersebut. Namun saat ini terjadi ”konflik regulasi” mengenai pengaturan sarana jaringan utilitas terpadu atau pergelaran jaringan air, listrik, gas, dan telekomunikasi. Ini muncul karena perbedaan konsep antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di daerah-daerah.
Sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) merupakan infrastruktur pasif di bawah/bahu jalan (mirip gorong-gorong) yang berfungsi untuk pergelaran jaringan publik (air, kabel listrik, gas, dan telekomunikasi). DPR dan Presiden telah menerbitkan berbagai peraturan untuk mendukung perluasan jaringan ini, tetapi pemda di daerah-daerah malah menerbitkan peraturan daerah pungutan yang berpotensi menaikkan biaya pergelaran jaringan tersebut. Dan besar kemungkinan, biaya tersebut akan dialihkan ke masyarakat selaku konsumen akhir.
Konstitusi dan berbagai undang-undang telah memberikan kemudahan terhadap sektor air, listrik, gas, dan telekomunikasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 33 menyatakan bahwa air merupakan hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai (diatur) oleh negara. Atau Pasal 28F yang tegas menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (telekomunikasi).
DPR melalui UU Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 128 juga membebaskan pergelaran kabel listrik dan telepon dari pengertian ”pemakaian kekayaan daerah” dengan demikian pergelaran kabel listrik dan telepon wajib dibebaskan dari kewajiban retribusi atau sewa. Contoh lain, UU Telekomunikasi, Pasal 12 juga memberikan kemudahan bagi penyelenggara telekomunikasi untuk ”memanfaatkan atau melintasi” tanah dan bangunan yang dimiliki/dikuasai pemerintah.
DPR melalui UU Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 128 juga membebaskan pergelaran kabel listrik dan telepon dari pengertian ”pemakaian kekayaan daerah”.
Presiden pun telah menerbitkan beberapa regulasi untuk mendukung sektor esensial tersebut, terakhir pada 3 Agustus 2020, Presiden secara khusus mengadakan rapat terkait perencanaan transformasi digital dan memerintahkan untuk melakukan ”perluasan akses infrastruktur digital dan penyediaan internet”. Hal ini mengingat situasi pandemi, di mana perlu untuk mengurangi kontak fisik dan jaminan kelancaran komunikasi di sektor strategis (pemerintahan, layanan publik, pendidikan, kesehatan).
DPR dan presiden berharap berbagai kemudahan ini akan mendukung penyelenggara dalam memperluas jaringan, terutama di masa pandemi, dan masyarakat semakin mudah melakukan akses terhadap barang publik tersebut.
Konsep regulasi daerah
Namun, yang terjadi di level daerah ternyata sungguh berbeda, bukannya membantu perluasan jaringan, beberapa pemda malah memberlakukan pungutan bagi pergelaran jaringan vital tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Surabaya menerbitkan perda sewa untuk pergelaran jaringan gas, listrik, telekomunikasi. Pemerintah Kabupaten Mojokerto menerapkan retribusi IMB terhadap pemancangan tiang dan galian kabel fiber optic.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan mengurangi peran dalam pembangunan dan pengelolaan SJUT, selanjutnya menyerahkan tanggung jawab SJUT tersebut kepada perusahaan swasta (anak perusahaan BUMD), dan ke depan berpotensi menerapkan sewa. Dugaan ini cukup beralasan, mengingat SJUT tersebut akan dikelola oleh perseroan terbatas yang memang secara hukum dibentuk untuk mengejar keuntungan.
Jika kita teliti, perda-perda tersebut ternyata disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Hal ini sungguh disayangkan, karena penyusunan perda seharusnya tidak hanya menggunakan dua peraturan dan mengesampingkan peraturan-peraturan lain, apalagi UU dan UUD. Penyusunan peraturan, khususnya terkait ”pungutan” harus memperhatikan seluruh peraturan dan mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dan kemampuan dari masyarakat.
Pertanyaan lain yang menarik adalah siapa yang harus bertanggung jawab dalam pembangunan SJUT tersebut? Jika mengacu pada UUD NRI 1945, berbagai UU, dan pertimbangan adanya hajat hidup orang banyak (dalam SJUT tersebut), SJUT tersebut wajib dibangun oleh negara. Atau jika negara belum mampu (secara anggaran), setidaknya pemerintah pusat dan daerah tidak membebani SJUT/ pergelaran jaringan tersebut dengan retribusi, sewa, atau pajak.
Akhir kata, DPR dan presiden juga harus aktif memantau (review) PP, permen, dan perda, dan menyempurnakan berbagai peraturan di bawah yang tidak sejalan karena peraturan-peraturan tersebut merupakan pelaksana dari kebijakan pusat. Selain itu, terdapat potensi daerah memiliki konsep yang berbeda dengan pemerintah pusat.
Meski pusat menganggap air, listrik, gas, dan telekomunikasi merupakan jaringan esensial, dan harus diberikan kemudahan, belum tentu daerah akan berpandangan sama. Karena mungkin saja bagi daerah, jaringan esensial tersebut dianggap instrumen pengisi kas daerah.