Sarana Jaringan Utilitas Idealnya Dibangun dan Dirawat Pemerintah
Pembangunan dan perawatan sarana jaringan utilitas idealnya dikendalikan pemerintah guna melindungi kepentingan publik. Ketidakpaduan pengaturannya menimbulkan kesemrawutan sekaligus biaya mahal karena bongkar pasang.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan dan perawatan sarana jaringan utilitas terpadu untuk menggelar kabel telekomunikasi, kabel listrik, atau jaringan air semestinya dilakukan oleh pemerintah. Itu karena infrastruktur tersebut menopang pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Sarana jaringan utilitas terpadu atau SJUT wujudnya berupa gorong-gorong atau ducting. ”Idealnya pemerintah pusat atau daerah menyediakan anggaran penuh untuk pembangunan sampai perawatan. Operator telekomunikasi cukup memakainya,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henry D Hutagaol.
Akan tetapi, apabila anggaran pemerintah pusat atau daerah terbatas, mereka tetap berperan membangun SJUT. Lalu, operator dikenakan pungutan untuk penggantian biaya pembangunan ataupun perawatan SJUT.
Opsi lainnya, badan usaha milik negara atau swasta membangun SJUT. Operator telekomunikasi membayar sebatas penggantian biaya pembangunan dan perawatan. Mekanisme pungutannya berdasarkan biaya yang wajar dan menjamin kepastian usaha. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
”Kalaupun badan usaha milik negara atau swasta membangun SJUT, lalu mengenakan pungutan kepada operator telekomunikasi dan menginginkan ada untung, besaran untungnya harus terbatas. PP No 46/2021 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi menjamin hal itu," katanya dalam webinar ”Keadilan Kabel Jakarta”, di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, berpendapat, hal yang tidak boleh dilupakan adalah koordinasi perencanaan yang detail antara pemerintah dan operator telekomunikasi. Keduanya bisa saling membeberkan rencana pembangunan infrastruktur jangka pendek atau menengah.
”Tujuan akhirnya, kepentingan masyarakat tetap terpenuhi, baik dari sisi kualitas maupun harga layanan. Kemudian, keberadaan SJUT mendukung mereka beraktivitas dengan nyaman,” ujarnya.
Bank Dunia dalam laporan studi Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia menyebutkan, harga langganan layanan jaringan tetap telekomunikasi bulanan di Indonesia berkisar Rp 250.000-Rp 800.000. Biaya pemasangan dan langganan bulan pertama sambungan internet jaringan tetap menggunakan paket internet termurah sekalipun, diperkirakan Bank Dunia, setara dengan 1,2 kali pengeluaran per kapita bulanan rumah tangga miskin
Implementasi SJUT untuk kebutuhan kabel jaringan tetap telekomunikasi tengah diterapkan di beberapa daerah. Misalnya, Pemerintah Kota Bandung, Kota Surabaya, Semarang, dan DKI Jakarta.
Berbeda
Hanya saja, dalam pelaksanaannya, kebijakan SJUT tidak sepenuhnya berjalan mulus. Di DKI Jakarta, misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan mandat dua badan usaha milik daerah untuk membangun SJUT. Salah satunya adalah PT Jakarta Infrastruktur Propertindo. Ini sejalan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 110 tahun 2019 tentang Penugasan kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (Perseroan Terbatas) dalam Penyelenggaraan SJUT.
Penyelenggaraan pembangunan SJUT meliputi wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur dengan target 107 kilometer (29 ruas jalan) yang akan diselesaikan pada 2021. Pelaksanaan konstruksi sudah dilakukan sejak November 2020.
Operator telekomunikasi yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) sempat mengeluhkan mahalnya biaya sewa SJUT. Kini, keluhan mereka ialah harus memindahkan kabel jaringan tetap yang sudah telanjur ditanam di bawah tanah ke ruas SJUT yang dibangun oleh PT Jakarta Infrastruktur Propertindo.
Ketua Umum Apjatel M Arif Angga mengatakan, untuk memindahkan kabel jaringan tetap telekomunikasi yang sebelumnya di udara ke bawah tanah butuh investasi. Operator telekomunikasi terlebih dulu harus membelanjakan dana untuk pengadaan dan menanamkan kabel baru ke SJUT. Tujuannya, menjaga layanan telekomunikasi ke pelanggan tetap terjaga. Dengan kata lain, kabel jaringan tetap yang terpasang di tiang-tiang tidak serta-merta diturunkan dan ditanam di bawah tanah.
”Dalam konteks di DKI Jakarta, anggota kami sudah sempat menanam kabel jaringan tetap telekomunikasi ke bawah tanah di 56 ruas jalan pada tahun 2018. Anggarannya berasal dari kantong perusahaan. Kami merasa, hal itu sudah mendukung estetika tata kota dan semestinya tidak perlu direlokasi ke SJUT yang dibangun badan usaha milik daerah,” ujarnya.
Arif membenarkan, beberapa daerah telah memiliki rencana mengimplementasikan SJUT, tetapi masing-masing memiliki skema berbeda, seperti pungutan kepada operator telekomunikasi. Motivasi kepala daerah saat menerapkan kebijakan itu juga berbeda. ”Bisa dikatakan, Indonesia masih mencari bentuk yang pas,” ujarnya.
Beberapa daerah telah memiliki rencana mengimplementasikan SJUT, tetapi masing-masing memiliki skema berbeda.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugraha menyampaikan, pemakaian badan usaha milik daerah untuk membangun SJUT merupakan arahan pemerintah provinsi. Adanya pungutan sewa yang dikenakan kepada operator telekomunikasi hanya bertujuan untuk pengembalian investasi.
”Tidak ada anggaran pemerintah daerah diikutkan. Mekanisme sewa-menyewa diserahkan kepada badan usaha milik daerah dengan operator telekomunikasi. Ini pun sudah dibahas melalui forum grup diskusi dan seharusnya sudah jelas,” katanya.
Selain dugaan mahalnya harga sewa, Hari menyebutkan, masih ada isu operator telekomunikasi dan perusahaan layanan publik lainnya tidak segera memanfaatkan SJUT yang sudah terbangun. Dia mencontohkan, di ruas Jalan Mampang Prapatan, konstruksi fisik SJUT sudah selesai. Dari 40 perusahaan pemakai, termasuk operator telekomunikasi, baru 20 persen di antaranya yang sudah menandatangani kerja sama dan memanfaatkan SJUT itu.
”Sudah 11 tahun urusan penataan kabel tidak segera tuntas. Padahal, kalau penataan tuntas (melalui SJUT), masyarakat juga semakin nyaman memakai layanan publik. Tata kota lebih estetis,” ucap Hari.