Paling tidak terdapat tiga sorotan yang muncul ke publik pasca pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, yaitu mengenai isu prioritas, masa jabatan, dan isu Papua. Butuh langkah percepatan.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·5 menit baca
Jenderal Andika Perkasa resmi menjadi pelanjut tongkat estafet Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI. Rabu, 17 November, Presiden Joko Widodo melantik Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI di Istana Negara. Pelantikan tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 106/TNI 2021 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Panglima TNI.
Sejumlah isu/topik pembahasan kemudian muncul pasca-pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI. Paling tidak, terdapat tiga sorotan/isu besar yang muncul ke publik, yakni mengenai isu prioritas, masa jabatan, dan isu Papua.
Isu prioritas
Ketika uji kelayakan di DPR, memang telah disebutkan mengenai delapan fokus kerja Jenderal Andika selama menjabat Panglima TNI. Akan tetapi, dari delapan fokus kerja tersebut, isu-isu mengenai tindak kekerasan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak terlihat menjadi bagian/tidak disebutkan secara eksplisit.
Dua isu tersebut seharusnya juga menjadi fokus Jenderal Andika Perkasa. Terlebih persoalan kekerasan ini semakin sulit terselesaikan lantaran TNI masih ”menikmati” privilese selama UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi. Sebab, pelbagai kasus terkait kekerasan aparat/oknum prajurit TNI terhadap masyarakat terjadi di bulan-bulan sebelum pelantikan Jenderal Andika Perkasa.
SETARA Institute, dalam rilis Catatan Kinerja Reformasi TNI tahun 2021, mencatat setidaknya terdapat empat kasus yang mendapat sorotan publik terkait kekerasan aparat TNI terhadap masyarakat. Kasus-kasus tersebut terjadi di Merauke (Papua), Purwakarta (Jawa Barat), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satunya tindak kekerasan oleh dua oknum prajurit TNI AU terhadap seorang warga di Merauke pada Juli 2021 yang sempat viral di media sosial. Dalam video yang beredar luas, terlihat oknum prajurit tersebut memiting badan seseorang ke tanah. Sementara satu prajurit lainnya terlihat menginjak kepala warga tersebut.
Secara kuantitas, keempat kasus di tiga daerah tersebut tentu tidak dapat mewakili pelbagai tindakan/dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oknum prajurit TNI terhadap masyarakat. Sebab, kasus-kasus kekerasan itu ibarat puncak gunung es, terutama jika rentang waktu diperluas. Namun, secara umum, empat kasus tersebut setidaknya memberi gambaran kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan oleh aparat itu masih terjadi hingga kini.
Selain itu, dalam hal fokus atas pelaksanaan tugas-tugas TNI sesuai peraturan perundang-undangan, persoalan penempatan TNI pada jabatan sipil dan pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) di luar ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) menjadi bagian penting yang harus dievaluasi oleh Jenderal Andika.
Masa jabatan
Wacana penambahan masa jabatan muncul sejak Andika Perkasa menjadi salah satu kandidat Panglima TNI, hingga semakin masif setelah keluarnya surat presiden (surpres) yang mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI. Wacana ini muncul dilatarbelakangi masa jabatan Jenderal Andika yang hanya akan berlangsung 1 tahun/lebih kurang 13 bulan pasca-pelantikan. Sebab, Pasal 53 UU TNI mengatur bahwa batas usia dinas keprajuritan untuk perwira adalah 58 tahun.
Dalam pelbagai pemberitaan media, disebutkan wacana penambahan masa jabatan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yakni revisi UU TNI atau presiden menerbitkan produk hukum terkait. Melalui revisi UU TNI, dilakukan penambahan masa (batas usia dinas) jabatan Panglima TNI menjadi 60 tahun. Penambahan menjadi 60 tahun tersebut berpotensi tidak hanya khusus Panglima TNI, tetapi secara umum untuk perwira tinggi. Selain itu, melalui revisi juga terdapat wacana penambahan usia dinas keprajuritan bagi bintara dan tamtama.
Jika alasan penambahan masa jabatan ini perihal stabilitas, tentu menjadi tidak relevan.
Dalam hal wacana ini, satu pertanyaan mendasarnya adalah perihal urgensi. Jika alasan penambahan masa jabatan ini perihal stabilitas, tentu menjadi tidak relevan. Sebab, pergantian Panglima TNI merupakan hal yang memang terus dilakukan mengingat terdapat batasan usia dalam UU TNI.
Selain itu, kemunculan wacana ini, terlebih jika diembuskan dari DPR atau pun Presiden, justru mencerminkan ketidakkonsekuenan mereka atas pilihan dan keputusan yang telah mereka lakukan. Sebab, sekali ini, persoalan ini telah jauh-jauh hari dikemukakan ke publik.
Ketimbang itu, aspek pengawasan kinerja terhadap Panglima TNI yang baru harusnya menjadi fokus DPR dan Presiden. Meminta peta jalan kerja untuk masa jabatan 1 tahun/13 bulan ini menjadi penting. Melalui peta jalan tersebut, akan terlihat bagaimana sisi efisiensi dan efektivitas kinerja Panglima TNI yang baru dalam menjalankan program-programnya, serta dapat dilanjutkan oleh Panglima TNI berikutnya dengan pelbagai penyesuaian.
Isu Papua
Dalam penjelasannya saat uji kelayakan dan kepantasan di DPR, Jenderal Andika Perkasa menegaskan bahwa dalam penanganan konflik di Papua, dirinya tidak akan menggunakan pendekatan perang, tetapi akan memakai pendekatan lunak lewat skema ”memenangkan pertempuran tanpa peperangan” dalam penyelesaian konflik di Papua.
Penggunaan pendekatan lunak ini tentu menjadi penting untuk segera diimplementasikan. Sebab, pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua.
Pendekatan keamanan hanya akan menjadi api dalam sekam karena perspektif keamanan dan stabilitas negara hanya mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah bergejolak kembali stabil dan kondusif, sementara substansi permasalahan luput. Pendekatan keamanan juga hanya akan semakin menambah daftar korban jiwa, terutama masyarakat sipil.
Selain itu, dalam pelbagai siaran persnya, SETARA Institute menyampaikan perlu dilakukan pendekatan kenegaraan dengan mengirimkan utusan khusus (special envoy) ke Papua untuk membangun komunikasi yang konstruktif dan menyelesaikan persoalan sampai keakar-akarnya dengan pihak-pihak terkait di Papua. Special Envoy ini juga harus dipastikan merupakan utusan yang dapat dipercaya dan diterima dengan baik oleh masyarakat Papua, sehingga utusan ini tidak dianggap bersifat formalitas atau politis dari pusat. Dengan demikian, upaya menjaga Papua tetap di NKRI dapat dilakukan tanpa senjata karena upaya-upaya ini dapat mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, ataupun pemecah masalah keamanan.
Masa jabatan 1 tahun/13 bulan bagi Jenderal Andika Perkasa memang terlihat relatif singkat. Akan tetapi, jika mampu diefektifkan, bukan tidak mungkin kepemimpinannya selama menjadi Panglima TNI juga akan maksimal. Kuncinya paling tidak ada dua, yakni bagaimana Jenderal Andika dalam melakukan percepatan/maksimalisasi program-program kerjanya, serta bagaimana DPR melakukan fungsi pengawasannya.
(Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute)