Konflik di Pegunungan Bintang, wilayah di Papua yang selama ini relatif aman, tak lepas dari
Pilkada 2020 dan langkah kontroversial bupati terpilih menonaktifkan 42 kepala dinas. Akar konflik ini harus diselesaikan.
Oleh
MUHAMMAD SYAEFUL MUJAB
·5 menit baca
Selama ini konflik di tanah Papua disimplifikasikan sebagai konflik antara negara yang kehadirannya diwakili institusi TNI dan Polri melawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau yang kini kerap disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Gejolak konflik yang saat ini terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, justru menunjukkan adanya corak konflik baru yang perlu menjadi perhatian.
Keterlibatan aktor-aktor politik lokal dalam konflik di Kabupaten Pegunungan Bintang, yang sebelumnya dikategorikan sebagai daerah aman konflik, perlu diselidiki lebih lanjut dalam upaya penyelesaian konflik. Setidaknya ada dua peristiwa penting yang tidak bisa dilepaskan dari konteks memanasnya Pegunungan Bintang saat ini, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Pegunungan Bintang pada 2020 dan langkah kontroversial bupati terpilih dengan menonaktifkan 42 kepala dinas serta menambah organisasi perangkat daerah (OPD).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding salah satu pihak untuk bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi, tetapi memperluas ruang pandang terhadap konflik yang terjadi di Papua saat ini, dan harapannya dapat membantu mengurai konflik tersebut.
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) mengklaim bertanggung jawab atas insiden pembakaran alat berat milik PT Wika yang tengah mengerjakan pembangunan Jalan Trans-Oksibil-Kiwirok, tepatnya di Mangabip Distrik Oksebang pada September 2021. Aksi tersebut diluncurkan sebagai peringatan untuk menghentikan segala proyek pembangunan di Papua.
Dalam waktu yang berdekatan, terjadi pembakaran fasilitas kesehatan dan bangunan lain di Distrik Kiwirok. Dalam kejadian itu, sejumlah tenaga kesehatan terluka dan seorang perawat, Gabriella Meilani, tewas. Sampai saat ini, konflik di Distrik Kiwirok masih membara.
Terlalu naif rasanya jika menyederhanakan konflik yang terjadi saat ini dengan melepaskan konteks lokal. Pasalnya, Pegunungan Bintang selama ini dikenal sebagai daerah yang relatif aman. Konflik yang terjadi saat ini karena dua kemungkinan yang bisa saja saling terkait, yaitu upaya KKB memperluas area operasi atau tidak puasnya sejumlah pihak terhadap kondisi politik lokal.
Gejolak politik lokal
Jika ditarik ke belakang, konflik yang melibatkan aktor politik lokal di Pegunungan Bintang sebenarnya terjadi sebelum momentum pilkada. Pada April 2018, rumah pribadi bupati saat itu, Costan Oktemka dibakar massa. Kekacauan ini ditengarai karena ketidakpuasan warga terhadap kinerja bupati.
Satu bulan berikutnya, ratusan warga yang berasal dari 34 distrik di Pegunungan Bintang menduduki Bandara Oksibil untuk menuntut bupati dan sekretaris daerah kabupaten mundur dari jabatannya. Aksi ini juga dipicu oleh hal yang sama, yaitu ketidakpuasan terhadap kinerja pemda. Pada gelaran Pilkada 2020, ketidakpuasan tersebut terkonversi ke dalam suara yang membuat penantang dari petahana berhasil menumbangkan Bupati Costan yang mencalonkan diri untuk periode kedua, dengan keunggulan telak 70 persen suara.
Aksi koboi yang dilakukan bupati terpilih, Spei Birdana, dengan menonaktifkan 42 kepala dinas hanya dalam kurun waktu satu bulan setelah dilantik diduga dilakukan untuk membersihkan pengaruh bupati sebelumnya dalam tubuh pemerintahan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Pencopotan ini pada akhirnya berujung pada gugatan yang dilayangkan oleh mantan sekda yang menjadi salah satu korban pencopotan.
Para kepala dinas yang dicopot tentu bukan orang sembarang, setidaknya mereka memiliki pengaruh secara sosial pada level distrik, kampung, maupun kesukuan.
Meskipun gugatan dikabulkan sepenuhnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, bupati tetap teguh pada keputusannya untuk mengganti seluruh jajarannya dengan orang-orang kepercayaannya dengan dalih hak prerogatif. Para kepala dinas yang dicopot tentu bukan orang sembarang, setidaknya mereka memiliki pengaruh secara sosial pada level distrik, kampung, maupun kesukuan.
Tindakan pencopotan tersebut dapat digiring kepada permasalahan primordialisme. Hal ini membuat kecurigaan terhadap konflik yang disulut oleh ketidakpuasan terhadap kondisi politik lokal menjadi amat berdasar.
Pembangunan Jalan Trans-Papua dapat dilihat sebagai simbol kemajuan pembangunan di Pegunungan Bintang. Pasalnya, daerah ini hanya bisa akses dengan penerbangan udara. Begitu pula dengan akses antar distrik. Dengan masa jabatan yang baru seumur jagung, pembangunan di era bupati yang baru dapat dianggap sebagai suatu harapan kemajuan bagi masyarakat Pegunungan Bintang.
Selain kemungkinan ancaman bagi proyek pembangunan nasional, aksi pembakaran alat berat dalam proyek Jalan Trans-Papua di Pegunungan Bintang dapat dilihat sebagai upaya ancaman bagi stabilitas pembangunan di level lokal. Jika hipotesis bahwa aksi ini ditunggangi oleh pihak yang tidak puas dengan kebijakan bupati sekarang adalah hal yang benar, memberikan aksi ini dapat dilihat sebagai upaya ancaman terhadap stabilitas atau justru upaya untuk membuka ruang negosiasi untuk mencapai kesepakatan tertentu.
Aksi pembakaran alat berat dalam proyek Jalan Trans-Papua di Pegunungan Bintang dapat dilihat sebagai upaya ancaman bagi stabilitas pembangunan di level lokal.
Mengurai konflik
Melihat kondisi-kondisi tersebut sebagai kemungkinan akar konflik yang tidak bisa diabaikan, pendekatan pemerintah pusat dalam melihat konflik yang sedang memanas di Pegunungan Bintang perlu untuk diperkaya. Sebagai upaya penyelesaian konflik, pemerintah perlu menyelidiki kemungkinan keterlibatan aktor-aktor politik lokal dan melakukan pemetaan konflik dengan tepat. Jika memang keterlibatan aktor-aktor politik lokal ini terbukti, pendekatan berbasis penegakkan hukum dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik.
Selain itu, jika memang terjadi ketidakpuasan terhadap hasil-hasil pembangunan di Pegunungan Bintang selama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu hadir untuk menyelidiki bagaimana uang rakyat selama ini digunakan. Baik pemerintahan sekarang maupun yang sebelumnya, dapat dijadikan obyek yang diselidiki oleh KPK.
Pendekatan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengurai konflik yang sedang terjadi di Pegunungan Bintang. Mengurai konflik yang berakar dari kepentingan politik ini perlu dilakukan segera sebelum meluas ke daerah-daerah lain atau lebih parahnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Muhammad Syaeful Mujab, Analis Politik dan Kebijakan Publik Mandala Research Institute)