Dalam setiap bencana, sering kali dengan mudah kita mengatakan bahwa itu karena faktor alam seperti hujan deras, angin kencang, gelombang tinggi, pemanasan global. Padahal, ulah manusia mempunyai andil besar.
Oleh
WAHYUDI CITROSISWOYO
·4 menit baca
Barbetje moet hangen: Si Babbie harus digantung! Dialog dalam drama yang ditulis Multatuli lebih dari seabad yang lalu itu kini menjelma menjadi paradoks yang benar-benar drama di negeri ini. Si Babbie harus digantung. Tak masalah walau Babbie adalah pihak yang menjadi korban. Tak peduli bahwa sebenarnya Babbie adalah korban pemerkosaan.
Si Babbie adalah alam yang terluka, yang tak diberi kesempatan untuk sembuh dengan imunitasnya sendiri. Jangankan diberi serum untuk meningkatkan ketahanannya, tetapi justru diperkosa. Lebih dramatik lagi, dituduh sebagai biang bencana yang menimpa manusia.
Saat terjadi bencana, yang sering dilakukan pertama kali adalah mencari kambing hitam, oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab sekalipun.
Haruskah alam bertanggung jawab?
Saat terjadi bencana, yang sering dilakukan pertama kali adalah mencari kambing hitam, oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab sekalipun. Siapa yang salah, siapa yang bertanggung jawab, dan akhirnya siapa yang harus dihukum! Seolah mendapatkan kredit poin jika menemukan kambing hitam. Tak peduli salah sangka, salah tuduh, dan salah vonis sekalipun.
Kecelakaan, musibah, hingga bencana yang terjadi, mulai dari laut, di pesisir, di kota, sampai di gunung, seolah-olah sudah ada daftar yang harus bertanggung jawab. Kecelakaan di laut yang salah cuaca buruk, badai dan gelombang tinggi. Kerusakan dan mundurnya garis pantai di pesisir yang bertanggung jawab air pasang, kenaikan muka air laut, dan pemanasan global. Banjir di kota, banjir bandang dan tanah longsor di pegunungan, yang dituduh hujan lebat dan cuaca ekstrem. Kekeringan panjang yang dituduh cuaca ekstrem dan pemanasan global.
Memang, frekuensi kejadian dan besaran curah hujan, banjir, tanah longsor terus meningkat pada beberapa dekade terakhir. Data bencana Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) pada 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa 98 persen kejadian dikatakan sebagai bencana hidrometeorologi, sebagai dampak dari perubahan iklim.
Namun, apakah alam harus bertanggung jawab atas kejadian yang banyak menelan korban jiwa, lingkungan, dan kehilangan harta benda manusia tersebut? Seharusnya tidak harus. Tidak dapat dimungkiri memang, lambat tetapi pasti temperatur bumi terus meningkat. Ini yang memberikan konsekuensi perubahan pola hidrometeorologi.
Kondisi hidrometeorologi—temperatur udara, angin, dan curah hujan—dengan besaran tertentu akan kembali terjadi pada periode tertentu. Meningkatnya besaran dan frekuensi parameter tersebut tidak seharusnya diikuti dengan meningkatnya ancaman banjir, banjir bandang, tanah longsor, kerusakan dan mundurya garis pantai yang menimbulkan bencana.
Apa yang terjadi saat ini? Mungkin banyak khalayak yang belum mengenal gumuk (sand dune, bukit pasir di pantai), tetapi sudah sulit untuk menemukannya saat ini. Banyak hutan mangrove dan rawa pantai telah dikonversi menjadi permukiman dan peruntukan yang lain.
Cerita yang sama terjadi di daerah tangkapan air. Rusaknya hutan di daerah hulu sungai tak hanya meningkatkan frekuensi banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, tetapi juga mengancam kelestarian sumber daya air. Peringatan adanya ancaman ini sejak lama telah disampaikan.
Publikasi tahun 2005 menunjukkan bahwa lahan yang tertutup vegetasi di Pulau Jawa hanya 21 persen dari total area, yang berarti jauh dari minimal kebutuhan 30 persen untuk menjaga kelestarian sumber daya air. Di daerah tangkapan air sungai Bengawan Solo, hanya tersisa 10 persen yang masih ditumbuhi hutan.
Konsekuensinya, terjadi sedimentasi luar biasa yang telah menurunkan kapasitas efektif waduk sampai 62 persen. Kerusakan di daerah tangkapan Sungai Brantas, menurunkan kapasitas efektif reservoir menjadi 72 persen.
Hal serupa terjadi di hampir seluruh daerah aliran sungai utama di Indonesia. Kekebalan alam telah dijarah, bahkan diperkosa. Ironisnya, alam harus bertanggung jawab.
Kembalikan imunitas alam
Pada dasarnya alam telah memiliki ”imunitas” terhadap berbagai ancaman sehingga dengan mekanismenya sendiri mampu mengurangi level risiko alamiah tertentu. Gumuk dan mangrove dapat menahan tinggi gelombang pasang dan terjangan badai, bahkan mampu mengurangi run up tsunami. Genangan banjir dan banjir pasang di pesisir bisa ditampung di daerah rawa pantai.
Risiko kekeringan, banjir, banjir bandang, tanah longsor, pendangkalan sungai dan waduk oleh sedimentasi dapat dikurangi bahkan dihindari dengan vegetasi, terutama hutan di daerah tangkapan. Hutan di daerah tangkapan air juga berfungsi menjaga kelestarian sumber daya air.
Mitigasi struktural melalui pembangunan talud sungai dan pantai, pendalaman alur dan normalisasi sungai, pembuatan sudetan, dan pemasangan pompa pengering memang diperlukan untuk mengurangi dampak luapan banjir. Akan tetapi, upaya tersebut akan sia-sia terutama dalam jangka panjang jika kerusakan daerah tangkapan air dan pesisir tetap dibiarkan.
Jika luasan tutupan hutan masih jauh dari kebutuhan minimal untuk siklus hidrologi, konversi lahan mangrove di pesisir terus dibiarkan, banjir bandang dan tanah longsor akan terus terjadi, kekeringan dan banjir akan tetap melanda, dan genangan air laut terus meransek ke daratan. Bahkan, dengan frekuensi dan besaran yang semakin meningkat.
Cuaca ekstrem hanya pemicu. Bencana hidrometeorologi tidak akan terjadi jika pra-kondisi dapat dikurangi dan dihilangkan. Maka kembalikan fungsi hutan di hulu sebagai area tangkapan air dan mangrove serta rawa pantai dan gumuk di pantai sebagai pertahanan alami pesisir.
(Wahyudi Citrosiswoyo, Dosen Departemen Teknik Kelautan ITS Surabaya; Peneliti Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS; Ketua Pusat Studi Kebumian dan Bencana ITS Tahun 2007-2011)