Butet, Merayakan Karunia Bernama Kehidupan
Perjalanan Butet kini menapaki usia 60 tahun yang ia syukuri. Ia tidak pernah muluk-muluk tentang usia. Perayaan 60 tahun ia maknai sebagai upaya keluar dari sikap ketidakberdayaan.
”Urip Mung Mampir Ngguyu”, hidup hanya untuk mampir tertawa. Itu judul buku yang menandai usia 60 Tahun Butet Kartaredjasa. Akan tetapi, pada peluncuran buku di Sangkring Art Space, Yogyakarta, Minggu, 21 November 2021, itu Butet justru menangis.
Ada air mata pula pada sejumlah karya dalam pameran seni rupa ”60 Tahun Menawar Isyarat” yang juga digelar dalam rangka perayaan tersebut. Namun, riuh pula gelak tawa pada rangkaian ritual hari jadi itu. Tawa dan tangis mewarnai usia 60 yang oleh Butet disebut sebagai angka wingit: angka yang penuh keajaiban dan kewaspadaan.
Penyair Joko Pinurbo naik ke panggung kecil di galeri Sangkring Art Space di Nitiprayan, Yogyakarta. Butet duduk di kursi, sekitar 2 meter dari sang penyair.
Sebelum membacakan puisi, Jokpin mengaku gemetar. Lalu, ia memberi pengantar singkat tentang puisi berjudul ”Kursi Mas Butet”. ”Ini berlaku untuk siapa pun yang mungkin suatu saat untuk menikmati kursi roda….”
Kita simak:
Kursi Mas Butet
Kursi roda mencintaiku lebih dari
Aku menyayangi sehat dan sakitku
Jika aku nderek kersaning kursi roda,
Itu bukan karena mimpiku sudah kelar,
melainkan karena percaya sabda roda
bahwa hidup memang berputar.
Yogyakarta, 21 November 2021
Joko Pinurbo
Setelah Jokpin menyudahi puisi ringkas itu, Butet bertepuk tangan bersama riuhnya tepuk sorak tetamu. Dari bahasa tubuhnya, tampak Butet mengapresiasi dan menghayati benar karya sahabatnya itu.
Biasanya ia akan berkata dengan ”sabda” khasnya yang berakhir dengan ”...wok”. Akan tetapi, kali itu, Butet diam. Butet di usia 60 tahun seperti percaya pada ”sabda roda” dalam puisi Jokpin, ”bahwa hidup memang berputar”. Dan Butet di usia 60 sedang berada di salah satu bagian dari putaran itu, seperti ia tuturkan di panggung.
”Angka 60 tahun membuat saya gentar. Dan, betul-betul, di angka 60, saya mengalami ketidakberdayaan seperti yang saya alami sejak bulan Juni, yang membuat saya cemas. Saya seperti kehilangan kepercayaan diri. Saya seperti kehilangan harapan. Saya tidak bisa bercanda. Juni, Juli, paling berat Agustus-September itu saya ndak tauk mau ngapain hidup saya,” kata Butet di panggung dan tetamu pun cep klakep, diam seribu kata.
Baca juga : Menawar Isyarat untuk 60 Tahun Butet
Butet meneruskan ceritanya, setelah bertemu kawan-kawan, ia termotivasi untuk bangkit. Ia menjalani fisioterapi dan kini sudah dapat berjalan. ”Ini energi dari kawan-kawan para perupa, para penulis yang menyemangati hidup saya. Saya berterima kasih pada teman-teman yang merayakan semangat, dan merayakan kelanjutan hidup saya…,” kata Butet yang disambut tepuk riuh tetamu.
Pemandu acara aktor Susilo Nugroho dengan gaya agak berseloroh menyebut apa yang disampaikan Butet itu lebih bagus dari monolog Butet. Akan tetapi, apa yang terjadi di panggung itu adalah realitas kehidupan yang sedang dilakoni Butet.
Dia membuat dan membacakan semacam permenungan dalam puisi ”Tuhan Kusimpan”. Puisi itu digubah menjadi lagu oleh Leonardo Agus Wahyudi Manirko dan digarap dengan bagus oleh Orkes Sinten Remen, yang didirikan Djadug Ferianto (almarhum).
Penyanyi Sinten Remen Silir Pujiwati membawakan lagu itu dengan sangat mengena. Seiring alunan lagu, Butet pun menangis. Salah seorang putrinya mengulurkan tisu pengusap air mata. Mungkin puisi itu bagian dari apa yang oleh Butet disebut sebagai ”fantasi spiritual”.
Tuhan Kusimpan
Aku ingin menyimpan Tuhan
Di lubuk yang terdalam
Karena Dia malu terlihat sombong
Juga pamer kebenaran
Aku ingin sembunyikan Tuhan
Di timbunan sampah kecongkakan
Supaya suaranya jadi bisik sunyi
Di sepi abadi
Ya aku ingin menyimpan Tuhan
Supaya udara tak kotor penuh jerit kebencian
Mimbar-mimbar siarkan ayat-ayat
Penuh inspirasi kesejukan
Biarlah keheningan yang bicara
Kita tak kan berhenti anyam persaudaraan
Tanpa curiga tanpa prasangka
Kita cuma manusia hanya bisa memuliakan kehidupan
Ya aku ingin menyimpan Tuhan
Di dalam teguh iman
Dalam rengkuh persaudaraan dan kemanusiaan
Ya aku ingin menyimpan Tuhan
”Sabda Roda”
Puisi, buku, dan pameran seni rupa menjadi perayaan semangat dan kelanjutan hidup Butet. Buku Urip Mung Mampir Ngguyu 60 Tahun Butet Kartaredjasa ditulis oleh sejumlah penulis, seperti Agus Noor, Goenawan Mohamad, Landung Simatupang, N Riantiarno, dan Mohamad Sobary.
Pameran seni rupa 60 Tahun ”Menawar Isyarat” di Sangkring Art Space yang digelar oleh kelompok Suka Pari Suka berlangsung hingga 11 Januari 2022 dan menampilkan 60 karya dari 60 perupa dengan ukuran 60 sentimeter x 60 sentimeter. Genap usia Butet menjadi peristiwa budaya, sebuah keguyuban guyup dalam merawat kehidupan bersama.
Kawan-kawan Butet dalam buku terbitan Buku Mojok itu mencatat ”sabda roda” atau berputarnya hidup. Dalam perputaran itu, urip bukan hanya ”mampir ngguyu”, melainkan juga mampir menangis. Seperti terlihat di panggung.
Baca juga : Dukungan Basuki Hadimuljono bagi Butet Kartaredjasa
Juga seperti dicatat Agus Noor dalam pengantar buku, Butet menangis berkepanjangan dengan suara serak dan parau di hadapan jenazah adiknya, Djaduk Ferianto, yang meninggal November 2019.
Agus juga menulis tentang ketangguhan Butet di panggung meski kondisi fisiknya tidak memungkinkan lagi untuk bertahan saat pentas ”Lidah Pingsan” di Purna Budaya, Yogyakarta, 1997.
Dalam ketidakberdayaannya, Butet masih bisa berucap, ”Saya aktor yang kalah,” yang oleh penonton dianggap sebagai akting. Agus Noor mencatatnya sebagai bagian dari tanggung jawab moral Butet sebagai seniman.
Panggung kehidupan
Kesenimanan, keaktoran, dan perjuangan Butet ditulis oleh sesama aktor, yaitu Landung Simatupang dan Susilo Nugroho. Juga dicatat oleh Sita Aripurnami lewat kenangan dengan sang ayah, Umar Kayam.
Susilo, sahabat Butet di Teater Gandrik, masih ingat dengan sepeda motor butut letheg (kotor dan kumal) yang digunakan Butet pada era 1980-an.
”Jelasnya, memang Butet itu dulu miskin. Beda jauh dengan penampilan bapaknya. Ke mana-mana naik mobil padepokan….”
Dalam beberapa percakapan, Butet dan juga Djaduk memang digembleng oleh bapaknya, seniman Bagong Kussudiardjo, untuk menjadi seniman matang mandiri. Dalam pendapat Susilo, pendidikan keras dari Pak Bagong itu berhasil.
Baca juga : Gembira Melepas Djaduk
Aktor Landung Simatupang mengenal kemampuan Butet sejak Butet tampil dalam festival teater. Ketika SMP, Butet tergabung dalam kelompok teater dari wilayah Singosaren, kawasan tempat tinggal keluarga Bagong Kussudiardjo pada masa itu.
Menurut Landung, teater dari Singosaren itu termasuk yang tampil mengesankan. Landung juga mengamati penampilan Butet dalam festival teater tingkat sekolah menengah atas. Saat itu, Butet tampil bersama kelompok teater sekolahnya, yaitu Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), dan dia terpilih sebagai aktor terbaik.
”Bagi saya, salah satu segi kepribadian yang mengesankan dari Butet adalah kemauannya untuk belajar dan selalu belajar,” kata Landung dalam tulisannya.
Landung mencatat, Butet setidaknya belajar dari tokoh-tokoh teater, seperti Merit Hendra, Fajar Suharno, dan Genthong Haryono Seno Ali.
Sita Aripurnami mengenang ketika Butet diajak ”dolan” oleh Umar Kayam yang di Yogya disapa sebagai Pak Kayam atau UK. Umar Kayam bersahabat dengan Bagong Kussudiardjo. Suatu kali Pak Bagong ”laporan” kepada UK tentang anaknya.
”Ben Butet dolan karo aku wae—biarlah Butet main dengan saya saja,” kata Umar Kayam seperti ditulis Sita.
Peristiwa budaya yang didukung oleh sahabat-sahabat diharapkan Butet menjadi titik tumpu untuk lebih waspada dan berhati-hati menjaga karunia bernama kehidupan.
Dalam rangka ”dolan” itulah mungkin Butet banyak belajar dari Pak Ageng, sebutan lain Umar Kayam. ”Ayah saya selalu merasa bangga dengan kepiawaian Butet melakukan monolog. Beliau merasa punya andil untuk hal itu, sementara saya percaya bahwa Butet memang berbakat,” tulis Sita.
Perjalanan Butet kini menapak di usia 60 yang ia syukuri. Ia tidak pernah muluk-muluk tentang usia. Perayaan 60 Tahun ia maknai sebagai upaya keluar dari sikap ketidakberdayaan.
Pameran seni rupa dan penerbitan buku ia jadikan stimulus kreativitas. Sebagai api semangat yang menyulut motivasi dan kegairahan perjuangan menuju sehat. Peristiwa budaya yang didukung oleh sahabat-sahabat diharapkan Butet menjadi titik tumpu untuk lebih waspada dan berhati-hati menjaga karunia bernama kehidupan.