Jaringan internal Polri diretas kedua kalinya. Data pribadi personel Polri, seperti nama, pangkat, satuan kerja, golongan darah, surel, dan nomor telepon, diperjualbelikan di dunia maya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pekan lalu, untuk kesekian kali, situs lembaga negara berhasil dibobol peretas. Data rahasia negara pun diperjualbelikan bebas. Hal serupa tidak boleh terulang.
Situs yang dibobol bukan sembarangan. Jaringan internal Polri diretas kedua kalinya. Data pribadi personel Polri, seperti nama, pangkat, satuan kerja, golongan darah, surel, dan nomor telepon, diperjualbelikan di dunia maya. Berbagai pelanggaran yang pernah dilakukan terbuka dibocorkan.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri tengah mengusut kasus ini. Namun, pengusutan saja tidak cukup. Perlu ada upaya komprehensif untuk mengatasi masih lemahnya pengamanan situs dan data siber di negeri ini.
Tidak lama sebelumnya, akhir Oktober 2021, situs Pusat Malware Nasional Badan Siber dan Sandi Negara (Pusmanas BSSN) juga diretas dan diubah halaman mukanya. Catatan Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi, informatika, serta intelijen lebih mengejutkan. Hampir 50 persen situs pemerintah pernah diserang peretas.
Investigasi yang dilakukan Redaksi Kompas terkait dengan aksi peretasan yang laporannya diturunkan akhir Oktober lalu juga mendapati bukti-bukti yang menunjukkan keamanan situs-situs pemerintah masih sangat rendah. Standar keamanan situs pemerintah masih belum sama. Peretas hanya butuh waktu paling lama tiga jam untuk membobol situs berdomain go.id di daerah. Keamanan situs pemerintah masih dalam kisaran 4 dari skala 10.
Kesungguhan negara dalam mengatasi peretasan tecermin dari tertunda-tundanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, yang pernah dibahas pemerintah bersama DPR tahun 2019, masih terkatung-katung hingga saat ini.
Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi pun masih berkutat soal status badan pengawas. Pemerintah dan DPR masih berbeda pandangan. Sementara itu, peretasan terus terjadi dan data pribadi kian banyak bocor dan diperjualbelikan bebas di dunia maya.
Di tengah kurangnya tenaga ahli teknologi informasi keamanan siber, menghimpun dan membina para peretas di negeri ini untuk menguji keandalan pengamanan siber situs-situs pemerintah dan publik pun perlu dilakukan. Perlu dibangun pertahanan rakyat semesta di dunia siber. Rapuhnya keamanan siber di negeri ini tidak bisa terus dibiarkan karena dapat menggerus kepercayaan publik pada otoritas pemerintah dalam mengamankan data pribadi warga negara.
Ke depan, ketahanan digital menjadi isu kian strategis. Pandemi mengondisikan warga dunia bekerja dengan jaringan digital. Perjalanan lintas daerah, kawasan, dan negara mengharuskan contact tracing. Kondisi ini membuat semakin banyak data pribadi yang akan tersebar. Jaringan 5G yang semakin memperbesar akses, sebaliknya, berpotensi memunculkan serangan siber yang juga semakin besar. Dalam buku Cyber Wars, peretasan bahkan bisa menggoyang ekonomi dan politik sehingga menjadi senjata baru dalam perang.