Pelaksanaan tugas pejabat publik di negara butuh sosok pejabat yang bisa jadi contoh baik dengan lebih mementingkan kepentingan negara (rakyat) daripada kepentingan pribadinya.
Oleh
HENDRY JULIAN NOOR
·5 menit baca
Secara sosial, telah jadi pengetahuan umum bahwa manusia amat sangat lekat dengan kepentingan. Adapun konflik kepentingan adalah salah satu isu klasik dalam pelaksanaan tugas pejabat publik, termasuk di Indonesia.
Belakangan masalah konflik kepentingan kembali mengemuka di lingkar kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo, khususnya terkait kebijakan penerapan tes PCR sebagai syarat dalam transportasi penerbangan. Tulisan a quo tak membahas itu spesifik, tetapi mencoba memberikan konsep dalam pergesekan antara konflik kepentingan dan pejabat publik.
Definisi pejabat publik
Pejabat publik memiliki definisi yang sangat luas. Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC, 2003) mendefinisikannya.
Pertama, setiap orang yang memegang kewenangan pada bidang legislatif, eksekutif, administratif, atau yudisial dari suatu negara pihak, baik yang diangkat secara ditunjuk atau dipilih, baik permanen atau sementara, baik dibayar atau tidak dibayar.
Kedua, orang lain yang melakukan fungsi publik, termasuk untuk agen publik atau perusahaan publik, atau menyediakan layanan publik.
Ketiga, orang lain yang didefinisikan sebagai ”pejabat publik” dalam hukum nasional negara pihak. Pada definisi ini, UNCAC menyerahkan ke negara pihak, siapa saja yang didefinisikan sebagai pejabat publik.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan pejabat publik sebagai seseorang yang memegang atau diinvestasikan dengan urusan publik; seseorang yang dipilih atau ditunjuk untuk menjalankan sebagian kekuasaan kedaulatan pemerintah.
Secara sosial, telah jadi pengetahuan umum bahwa manusia amat sangat lekat dengan kepentingan.
Jika disederhanakan, setidaknya dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kewenangan publik untuk mengeluarkan kebijakan dan/atau keputusan yang dapat berdampak kepada masyarakat sebagai ”konsumen” dari kebijakan dan/atau keputusan tersebut.
Konflik kepentingan disadur dari terminologi conflict of interest, keadaan ketika ada kepentingan pribadi yang dapat memandu keputusan seseorang yang pada dasarnya diharapkan dapat berlaku independen, tak memihak, atau tak bias (Davis dan Stark, 2001:4).
OECD (2005:13) mendefinisikan sebagai konflik pada diri seorang pejabat publik dalam pelaksanaan tugas publiknya dengan kepentingan pribadinya, yang kepentingan pribadi itu dapat secara tak wajar memengaruhi kinerja tugas dan tanggung jawab resmi mereka.
Jadi, konflik kepentingan adalah situasi ketika seseorang mengejar kepentingan pribadi (karena posisinya) dengan kepentingan publik, ketika ia memiliki kewenangan dan kewajiban karena posisinya.
Elemen dasar yang membentuk situasinya, pertama, posisi yang memenuhi syarat secara hukum. Kedua, dua kepentingan yang berbeda dalam kontras aktual atau potensial. Ketiga, apa yang disebut ”kewenangan (melekat hak dan kewajiban)”.
Dengan definisi demikian, konflik kepentingan pada dasarnya tak memedulikan apa yang ”sebenarnya terjadi” dalam pikiran pejabat, tetapi ”apa yang mungkin terjadi” (Trost dan Gash, 2008), yang harus dapat diperhitungkan olehnya.
Konflik kepentingan di Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan didefinisikan sebagai kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga bisa memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukan.
Jadi, pemahaman dan penghindaran terhadap konflik kepentingan adalah dalam rangka membatasi keuntungan pribadi dari jabatan publik yang diemban. Ini harus menjadi asas bagi setiap pejabat publik.
Asas menjadi pegangan jika hubungannya dengan sistem dan konsep hukum itu memadai (Hart, 2012:264). Dilengkapi Dworkin (1978: 51 dan 44), sikap yang harus dilakukan terhadap asas adalah memperlakukannya sebagai sesuatu yang mengikat sebagai hukum dan harus dipertimbangkan karena merupakan persyaratan keadilan atau nilai moralitas lainnya.
Berdasarkan ini, penulis beranggapan nonkonflik kepentingan harus jadi salah satu asas yang dipatuhi pejabat publik. Faktanya? Masih banyak pejabat publik tak memahami itu. Penulis, misalnya, menemukan salah satu pejabat legislatif di suatu daerah yang menjalankan usaha tertentu yang perlu izin. Pertanyaannya, ke mana izin itu diajukan? Bukankah kekuasaan eksekutif yang berwenang memberikan perizinan?
Pertanyaan lanjutannya, siapakah yang mengawasi kekuasaan eksekutif itu? Bukankah dirinya sebagai legislatif? Apakah sama sekali tak boleh berbisnis untuk kepentingannya? Menurut penulis boleh, asal di luar wilayah yang jadi kewenangannya sebagai pejabat legislatif. Sekali lagi, agar tak terjadi konflik kepentingan.
Ini hanya satu contoh kecil yang penulis yakini masih sangat banyak terjadi dalam pelaksanaan tugas pejabat publik dengan berbagai macam konflik kepentingan lain. Dengan kata lain, masih cukup banyak terlihat motivasi seseorang menjadi pejabat publik adalah untuk mempermudah urusan bisnisnya atau setidaknya orang atau kelompok yang ada hubungan dengannya.
Pertanyaan lanjutannya, siapakah yang mengawasi kekuasaan eksekutif itu?
Hal itu tak dilarang secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dengan berdasar pada asas nonkonflik kepentingan, pejabat publik harus menyadari sepenuhnya bahwa berpotensi terjadi pergesekan kepentingan pribadi dengan kewenangan yang dimilikinya.
Pejabat publik idealnya sudah tak lagi memikirkan apa yang jadi kepentingan pribadinya, tetapi hanya memikirkan bagaimana kewenangannya dapat mewujudkan bonum publicum, kesejahteraan umum, yang tak lain dan tak bukan adalah kesejahteraan rakyat.
Etika pejabat publik
Penulis sependapat dengan Ghufron (Kompas.com, 12/11/2020), menjadi pejabat publik itu bukan untuk menambah harta kekayaan, melainkan untuk melayani. Konsep ini mungkin terlalu idealis dan sulit dalam implementasinya. Akan tetapi, bukankah sesuatu yang sulit untuk dilakukan bukan berarti tak mungkin dilakukan?
Pelaksanaan asas nonkonflik kepentingan akan sangat bergantung pada etika pejabat publik. Etika adalah refleksi atas baik/buruk atau benar/salah, yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar (Kant, 1797). Dengan demikian, etika pejabat publik apabila mengalami konflik kepentingan harus memilih: amanah yang diberikan negara kepadanya ataukah melaksanakan kepentingannya.
Pelaksanaan tugas pejabat publik di negara butuh sosok pejabat yang bisa jadi contoh baik dengan lebih mementingkan kepentingan negara (rakyat) daripada kepentingan pribadinya dan/atau tak mengorbankan kepentingan negara (rakyat) yang berbenturan dengan kepentingannya.
Hendry Julian Noor, Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM