Publik Minta Pemerintah Transparan Terkait Kebijakan Tes PCR
Aturan tes PCR sebagai syarat perjalanan yang berubah-ubah tak hanya dipertanyakan, tetapi juga menimbulkan kecurigaan publik. Aparat penegak hukum diminta untuk menelusuri potensi penyelewengan pada kebijakan tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan transparan dan bersedia menjelaskan kepada publik terkait dengan aturan kewajiban tes usap reaksi berantai polimerase (PCR). Aturan yang berubah-ubah menimbulkan spekulasi adanya konflik kepentingan di balik kebijakan tersebut.
Pemerintah beberapa kali mengubah aturan terkait PCR, seperti harga sampai dengan penggunaannya dalam perjalanan udara dan darat. Bahkan, kewajiban PCR untuk perjalanan darat minimal 250 kilometer atau waktu tempuh empat jam dari dan ke Pulau Jawa-Bali, misalnya, berubah hanya dalam hitungan hari. Setelah mendapat kritik, ketentuan itu diganti dengan kewajiban tes antigen untuk perjalanan darat tanpa batasan jarak.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mempertanyakan korelasi antara banyaknya biaya yang dikeluarkan dan efektivitas penanganan Covid-19. Sebab, banyak biaya dalam upaya pencegahan penularan Covid-19 justru bebannya berbalik ke masyarakat.
”Ini jadi pertanyaan, apakah PCR ini menjadi barang publik atau miliki swasta? Di sini keanehannya. Pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan masyarakat menggunakan PCR dalam aktivitas dan berbagai perjalanan, tetapi masyarakat yang harus tanggung,” kata Roy dalam diskusi bertajuk ”Politik Bisnis Elit di PCR: Siapa Meraup Untung?” yang diselenggarakan secara daring oleh Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis, Jumat (5/11/2021).
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Koordinator Komite Pemantau Pemilihan Indonesia Jeirry Sumampow, Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, dan Ketua Visi Nusantara Maju Yusfitriadi.
Menurut Roy, pemerintah harus menjelaskan kepada publik berapa nilai ekonomi dari PCR dan apa dampaknya bagi penerimaan negara. Sebagai regulator, seharusnya pemerintah menyediakan barang publik dan penyelenggara negara tidak boleh masuk dalam proyek pengadaan.
Ia menegaskan, dugaan adanya penyelenggara negara yang terlibat dalam pengadaan PCR sudah masuk kategori korupsi karena adanya konflik kepentingan. Karena itu, penegak hukum semestinya bisa mulai menelusuri apakah penyelenggara negara mendapatkan keuntungan pribadi atau hanya memediasi pemerintah dalam pengadaan PCR. Kalaupun mediasi, seharusnya penyelenggara negara tersebut tidak boleh terlibat dalam penyediaan PCR.
Badiul Hadi menuturkan, lamanya pandemi Covid-19 sangat memungkinkan elite terlibat dalam proses bisnis terkait penanganan pandemi. Berapa pun besaran keuntungan yang diperoleh penyelenggara negara, hal itu sudah membuktikan bahwa mereka terlibat dalam bisnis tersebut. Hal itu menjadi keprihatinan karena mereka memperkaya diri dengan mengabaikan penderitaan masyarakat.
Ia juga berharap, pemerintah terbuka dan menyampaikan kepada masyarakat terkait perubahan harga PCR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan harus aktif mengawal kebijakan terkait dengan PCR.
Jeirry Sumampow memahami, tidak mudah menangani pandemi Covid-19. Namun, sudah menjadi tugas negara memfasilitasi dan mempermudah masyarakat. Seberapa efektif kebijakan pemerintah dalam mengatur kewajiban tes cepat hingga PCR harus dijelaskan kepada masyarakat. Perubahan harga PCR yang secara drastis juga telah menimbulkan pertanyaan di kalangan publik.
Bukan hanya itu, Jeirry menengarai, kebijakan yang berubah-ubah itu membuat publik curiga ada pejabat yang mengambil keuntungan pribadi dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Bahkan, publik bisa juga curiga bahwa keuntungan dari dikeluarkannya kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 digunakan untuk kepentingan politik.
Ray Rangkuti menegaskan, jika ada keterlibatan pejabat negara dalam pengadaan, kebijakan wajib PCR ini harus segera dihentikan. Sebab, pejabat negara harus menghindari konflik kepentingan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal ZA mengatakan, kebijakan wajib PCR atau antigen dikeluarkan untuk menerapkan prinsip kewaspadaan dan kehati-hatian dalam penerapan protokol kesehatan. Sebab, mobilitas masyarakat meningkat melalui moda transportasi umum. Kebijakan ini diambil juga untuk proses pengendalian dan antisipasi adanya potensi munculnya varian baru Covid-19 (Kompas.id, 29/10/2021).