Dengan membicarakan ziarah, Quinn tampaknya ingin menarik pembicaraan kewilayah yang lebih luas dan sensitif, ke-Indonesiaan kita dalam kacamata peneliti dan liyan.
Oleh
MUFTI WIBOWO
·4 menit baca
Sepuluh bab yang terapit oleh prolog dengan epilog dalam Wali Berandal Tanah Jawa saya baca tuntas pertengahan tahun ini. Buku setebal lebih dari 500 halaman ini disajikan secara renyah dengan gaya kombinasi deskripsi dan narasi yang saling berkelindan dengan sudut pandang George Quinn sebagai pelancong alih-alih sebagai peneliti. Dengan begitu, kekayaan data-data empiriknya tidak tampak sebagai fosil di museum yang dingin lagi menbosankan.
Dengan hangat, Quinn bertutur sebagai mana teman ngopi yang membuat pembaca merasa sedang duduk berhadapan dan mendengar ia bertutur secara langsung. Tak heran bila buku ini kemudian diganjar sebagai karya nonfiksi terbaik 2020 Act Writers Centre, Canberra.
Kata kunci untuk memahami upaya-upaya George Quinn membicarakan objek-objek ziarah di (hampir) seluruh penjuru Jawa dan Madura terletak pada bagian prolog dan epilog. Di sana, kita dengan gamblang bisa melihat di mana sang penulis memosisikan dirinya.
Ziarah digambarkan sebagai tradisi yang berakar kuat di tanah Jawa sejak masa Hindu-Buddha dan hidup dengan caranya yang otentik hingga hari ini. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kita bisa mendapati jejak-jejak perjalanan ziarah Quinn ke makam dan atau petilasan sosok wingit macam raja-raja Jawa, Wali Sanga, Mbah Priok, makam perempuan-perempuan wingit di Madura, hingga Mbah Marijan dan Gus Dur.
Tradisi ziarah itu berhasil beradaptasi dengan berbagai zaman, puncaknya adalah “diislamkan”. Bagi Quinn, itu kemudian menjadi ironi. Ia menarik kepada fenomena kemunculan gerakan pemurnian Islam menghadap-hadapkannya dengan praktik berislam di Jawa yang sangat akomodatif terhadap tradisi tua Jawa itu.
Penting untuk saya garis bawahi bahwa praktik ziarah tidak hanya dilakukan kaum santri yang dominan, tetapi juga kelompok abangan. Quinn memberikan fakta menarik bahwa praktik ziarah-Jawa ini juga dilakukan oleh mereka yang bukan Jawa dan atau Islam. Sebaliknya, Quinn menemukan cukup bukti bahwa objek ziarah tidak melulu mereka yang memiliki latar belakang Islam dan atau Jawa.
Dengan sedikit berlebihan, saya menyebut ziarah menjadi titik temu, yang melebur batas primordial. Dalam pengertian yang lebih canggih, mungkin, kita bisa membaca ziarah sebagai ritual yang bersifat sinkretis.
Ada garis imajiner yang menjadi penghubung atau simpul yang ingin dikemukakan Quinn bahwa orang-orang wingit yang makamnya atau petilasannya dijadikan objek ziarah adalah mereka yang semasa hidup dipandang memiliki (meminjam istilah Ben Anderson) kesekten atau kekuasaan.
Lebih dari itu, Quinn menyusupkan sejumlah data yang menyebut mereka memiliki sisi paradoks yang bertentangan dengan dua faktor yang melegitimasi mereka menjadi “wali”. Dengan kacamata berwarna gelap itu, Quinn menggambarkan mereka pernah menjadi, misal berandal dan pembunuh, pesakitan, hingga orientasi seks non-dominan.
Dengan pintu masuk itu, kita bisa menemukan argumentasi atas pemilihan judul yang terkesan provokatif pada sampul buku. Lebih dari itu semua, hal minor tokoh wingit itu adalah satu puzzle saja dari sisi kemanusiaan mereka. Pada akhirnya, kesekten atau kekuasaan (politik) lebih bersifat otoritatif.
Pada sisi lain, Quinn menggambarkan ada sebuah distorsi, sebagai nilai laten, yaitu upaya kapitalisasi objek-objek ziarah demi motif ekonomi semata-mata, dan ini direstui otoritas. Dengan cara yang menyesalkan (kalau tak bisa disebut menggugat), Quinn menyebut pelembagaan terus-menerus pusat ziarah tertentu berhubungan dengan dijadikannya objek itu sebagai alat transaki untuk kepentingan politik dan ekonomi bagi segelintir orang.
Sebagai seorang Jawa dan Islam yang masih melakukan praktik ziarah, saya membaca Wali Berandal Tanah Jawa sebagai satu perspektif ilmiah untuk membaca cakrawala Jawa dan Islam yang begitu luas dan kaya.
Dengan membicarakan ziarah, Quinn tampaknya ingin menarik pembicaraan ke wilayah yang lebih luas dan sensitif, ke-Indonesiaan kita dalam kacamata peneliti dan liyan. Mungkin saja, karena Indonesia belum pernah memiliki presiden dari luar Jawa dan non-Islam.
Mufti Wibowo lahir dan tinggal di Purbalingga. Penulis buku “Catatan Pengantar TIdur”.