Perguruan Tinggi Kedinasan Pertanian dapat menjadi solusi untuk mengatasi minimnya minat lulusan SMA/sederajat untuk memilih program studi pertanian dan peternakan yang ditawarkan perguruan tinggi negeri selama ini.
Oleh
ACENG HIDAYAT
·7 menit baca
Dalam yang berjudul ”Kerenisasi” Perguruan Tinggi Pertanian (Kompas.id, 20/10/2021) saya memaparkan persoalan kurangnya animo lulusan SMA sederajat memilih program studi pertanian dan peternakan yang ditawarkan perguruan tinggi negeri beserta implikasinya. Saya menawarkan solusi, yaitu pemerintah memandatkan kepada perguruan tinggi pertanian agar prodi pertanian dan peternakan hanya menerima calon-calon mahasiswa khusus yang mendapatkan penugasan dari pemerintah, BUMN pertanian, dan perusahaan swasta pertanian papan atas dengan didukung beasiswa penuh. Prodi yang dibuka pun berbeda dengan prodi pertanian lazimnya, yaitu menerapkan pendekatan terpadu lintas disiplin agar lulusannya memiliki pengetahuan pertanian yang komprehensif dan siap diterapkan.
Namun, setelah ditelaah ulang, solusi yang saya tawarkan tersebut berpotensi mendapatkan penolakan, terutama dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan dari internal perguruan tinggi negeri (PTN). Ini karena Kemendikbudristek dan PTN terikat dengan pakem pembukaan-penutupan prodi. Selain itu, para pengelola prodi pertanian pun banyak yang sulit move on. Pasalnya, mereka sudah terikat mindset tentang prodi pertanian yang diwariskan sejak zaman baheula.
Lewat tulisan ini, saya menawarkan solusi lain, yaitu Perguruan Tinggi Kedinasan Pertanian (PTKP) yang dikelola Kementerian Pertanian (Kementan). Ini sejalan dengan kebijakan Kementan meluncurkan Politeknik Enjiniring Pertanian Indonesia (PEPI) pada 21 Oktober 2021, yang berlokasi di Tangerang, Banten.
Saya menyambut baik peluncuran PEPI, dan berharap PEPI dipersiapkan menjadi mesin produksi dan penyuplai sumber daya insani pertanian andal. Namun, setelah melihat program studi yang ditawarkan: Teknik Mekanisasi Pertanian, Tata Air Pertanian, dan Teknologi Hasil Pertanian, bukan prodi yang dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan sumber daya insan pertanian yang mendesak.
Sebagaimana saya sampaikan dalam artikel berjudul ”’Kerenisasi’ Perguruan Tinggi Pertanian”, prodi yang mendesak mendapatkan penguatan adalah prodi pertanian dan peternakan. Kedua prodi tersebut terkait dengan lemahnya sektor produksi pertanian. Indikasinya, kemampuan negara kita mencukupi kebutuhan produk pertanian, khususnya pangan relatif masih rendah. Kita masih mengimpor daging sapi dan produk hortikultura. Begitu juga komoditas beras, jagung, bawang, dan sebagainya.
Sumber daya insan pertanian yang dimaksud bukan hanya petani, melainkan juga dosen, peneliti, dan pengusaha. Maka, perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementanlah menjadi solusi. Tentu, jika ia menawarkan model pendidikan yang menarik lulusan SMA/sederajat untuk memilihnya. Oleh karena itu, saya mengusulkan model PTKP ideal, baik dari segi kurikulum, metode pembelajaran, maupun insentifnya.
Kurikulum PTKP
PTKP ideal harus menawarkan kurikulum berbeda dari umumnya PTP dalam enam bidang. Pertama, pengembangan teknologi dan sains pertanian yang terpadu sesuai dengan sifat ilmunya. Keterpaduan dalam satu rumpun ilmu pertanian dan antara rumpun ilmu pertanian dan peternakan.
Pemisahan keilmuan pertanian ke dalam beberapa prodi seperti ilmu tanah, hama penyakit, landskap, budidaya, dan sosial ekonomi secara ketat yang berkembang di berbagai PTP menyebabkan sarjana pertanian tidak memiliki ilmu pengetahuan utuh. Mereka hanya memiliki kompetensi teknis parsial sesuai mandat prodinya. Selain itu, pemisahan keilmuan tersebut mencederai sifat ilmu pertanian yang bersifat saling terkait dengan ekosistem pertanian.
Pun demikian, antara rumpun ilmu pertanian dan peternakan, sejatinya tak terpisahkan. Memadukan keduanya akan mampu menghasilkan sistem produksi pertanian dan peternakan yang berkelanjutan dan efisien karena mereka mengikuti pola ekonomi sirkular yang tak menyisakan energi dan sumberdaya terbuang.
Pun demikian, antara rumpun ilmu pertanian dan peternakan, sejatinya tak terpisahkan.
Kedua, kewirausahaan. Mahasiswa PTKP mesti mendapatkan pengetahuan kewirausahaan yang utuh, melalui kurikulum kewirausahaan yang membentuk mentalitas mahasiwanya menjadi seorang pengusaha, berani memulai usaha, dan memahami etika berusaha. Kalaupun akhirnya lulusan PTKP tidak menjadi pengusaha, tetapi mereka tetap memiliki mentalitas pengusaha, antara lain kreatif, berani mengambil risiko, pandai membangun jejaring dan memanfaatkannya untuk kepentingan pengembangan pertanian.
Ketiga, sikap/perilaku dan nilai. Mahasiswa PTKP mesti mendapatkan pengetahuan adab dan keberadaban. Mereka harus bisa bersikap dan berperilaku sesuai etika, norma, dan nilai-nilai sosial budaya Indonesia. Karena itu, pengetahuan dan penerapan nilai-nilai budaya dan keberadaban Indonesia menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dengan kurikulum ini, yaitu kurikulum yang mampu menggali nilai-nilai luhur adiluhung dan menanamkannya sebagai sikap dan perilaku dalam keseharian.
Keempat, pengembangan diri. Kurikum PTKP harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Kurikulum mestinya menjadikan mahasiswa memiliki kepercayaan diri, mampu berkomunikasi dengan baik, mengembangkan jejaring (networking), pembelajar cepat dan adaptif, serta resilien terhadap perubahan.
Kelima, kesadaran dan komitmen terhadap lingkungan dan sosial. Kurikulum PTKP harus disiapkan dan dirancang agar mahsiswa memiliki kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap lingkungan dan sosial. Mereka harus disiapkan menjadi pemimpin yang memiliki visi dan mampu mengedukasi warga dunia tentang pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, mereka pun harus menjadi orang yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Alumni PTKP adalah orang-orang yang siap menjadi pemimpin Indonesia masa depan.
Keenam, teknologi cerdas. Mahsiswa PTKP juga perlu dibekali kemampuan mengembangkan teknologi cerdas (smart technology). Baik berbasis digital, teknik fisika atau rekayasa genetika. Namun, teknologi yang dikembangkan tetap harus membumi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pertanian Indonesia. Bukan disiapkan menjadi operator atau teknisi teknologi cerdas impor yang saat ini marak dan menjadi kebangaan di berbagai PTP.
PTKP ini merupakan pendidikan vokasi empat tahun. Alumninya mendapat gelar sarjana sains terapan. Kurikulum PTKP dirancang 30 persen atau 40 persen teori dan 60 persen atau 70 persen praktik agar dapat menghasilkan sarjana sains terapan sesuai diharapkan.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan pemecahan masalah, pengalaman, dan rencana usaha untuk menumbuhkan dan membentuk jiwa kewirausahaan mahasiswa.
Mahasiswa sejak tahun pertama menyiapkan rencana usaha. Pada tahun kedua, rencana usaha tersebut harus sudah matang. Untuk itu, PTKP harus siap dengan skema bantuan pembiayaan, dan menyediakan lahan produksi yang dapat disewa oleh mahasiswa sesuai dengan kebutuhan.
Pada tahun ketiga, usaha tersebut dievaluasi. Jika ditemukan masalah, mahasiswa dengan bimbingan dosen menganalisis atas permasalahan tersebut dan memperbaikinya. Pada tahun keempat, usaha harus sudah jalan dan menghasilkan keuntungan. Keuntungan tersebut dibagi antara mahasiswa dan PTKP, dengan proporsi sesuai kesepakatan atau aturan main yang ditetapkan PTKP. Umpamanya, 70 persen untuk mahasiswa dan 30 persen untuk PTKP sebagai cadangan dana bergulir.
PTKP akan mendapat sambutan dan animo besar dari para lulusan SMA/sederajat jika ia menyediakan insentif sebagaimana ditawarkan oleh PT Kedinasan lainnya. Sebut saja, Sekolah Tinggi Akuntasi dan Administrasi Negara (STAN). Dari dulu STAN diminati oleh siswa-siswi terbaik dari sekolah-sekolah unggulan. Daya saingnya sangat tinggi. Masuknya sangat sulit dan bergengsi. Karena STAN menawarkan insentif yang menarik.
Lalu, apa insentif yang PTKP dapat tawarkan? Pertama, bebas biaya pendidikan. Kementan dapat mengembangkan kerja sama dengan semua pemerintah kabupaten/kota yang jumlahnya 416. Tiap kabupaten dapat mengirimkan calon mahasiswa terbaiknya minimal satu orang setiap tahun dengan jaminan pembiayaan penuh dari pemerintah daerah. Sehingga tiap tahun PTKP mendapatkan calon mahasiswa 416 orang. Mereka adalah calon mahasiswa dengan kualifikasi yang sangat baik. Hasil seleksi yang superketat.
Tiap kabupaten dapat mengirimkan calon mahasiswa terbaiknya minimal satu orang setiap tahun dengan jaminan pembiayaan penuh dari pemerintah daerah.
Kedua, asrama mahasiswa dan mes dosen. Keberadaan asrama dan mes dosen dalam area kampus sangat penting dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Mahasiswa dan dosen dapat menjalin komunikasi dan konsultasi yang intensif, seperti kiai dan santri dalam proses pendidikan pesantren sehingga proses pendidikan dan pembelajaran dapat maksimal.
Ketiga, bantuan biaya hidup (living cost). Selain asrama dan bantuan biaya pendidikan, PTKP pun mesti menyediakan bantuan biaya hidup yang wajar dan manusiawi.
Keempat, jaminan kerja. PTKP harus dapat menjamin pekerjaan yang baik bagi lulusannya. Maka, perlu ada skema ikatan dinas dengan pemerintah pemerintah, pemerintah daerah, atau dengan lembaga-lembaga riset terapan yang berada di bawah koordinasi Kementan. Bisa juga ikatan dinas dengan perusahaan pertanian atau BUMN pertanian. Tergantung dengan siapa mahasiwa berkontrak pada saat diterima sebagai mahasiswa PTKP.
Belajar dari The Earth University
Salah satu perguruan tinggi kelas dunia yang menerapkan model pendidikan seperti yang saya uraikan adalah The Earth University (TE) di Kosta Rika, Amerika Tengah. TEU adalah perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh para profesor pertanian dari beberapa universitas pertanian di AS yang merasa tidak puas dengan pendidikan pertanian yang dikembangkan di universitasnya.
Saat ini, setiap tahun TEU hanya menerima sekitar 100 mahasiswa dari berbagai negara. Tentu dengan beasiswa penuh dari negara pengirimnya. Dengan seleksi yang sangat ketat pula. Kendati pun TEU tidak terdengar dalam ingar bingar perangkingan perguruan tinggi kelas dunia, tetapi ia telah berhasil mencetak kader dan pejuang pertanian di sejumlah negara.
Pada tahun 2016, saya berkesempatan mengunjungi TEU. Berdialog langsung dengan pimpinannya, dosen, dan mahasiswa. Serta menyaksikan langsung bagaimana proses pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan. Sungguh ideal dan mengagumkan.
Pada saat kami ke sana, TEU sedang persiapan peluncuran program studi S-2 mengenai ’Pangan, Gaya Hidup (life style) dan Kesehatan. Sebuah terobosan baru yang memandang kesehatan dari perspektif pangan dan gaya hidup atau one health program. Maka dari itu, TEU berkomitmen hanya memproduksi dan mengajarkan cara memproduksi pangan sehat dan menyehatkan.
Dengan begitu, penulis yakin PTKP akan menjadi perguruan kedinasan yang elite, bergengsi, dan dibanjiri peminat. Dari PTKP akan lahir para pejuang pertanian militan. Yang siap memajukan petani dan pertanian Indonesia. Petani dan pertanian yang berbudaya dan beradab.
(Aceng Hidayat, Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, FEM IPB University)