Untuk memaksimalkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, penting mengakomodasi suara daerah secara lebih maksimal dan efektif. Maka dari itu, perluasan kewenangan DPD diperlukan.
Oleh
AZEEM MARHENDRA AMEDI
·5 menit baca
Beredarnya Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disusun oleh Dewan Perwakilan Daerah atau DPD menjadi bukti keseriusan para politisi mendorong agenda perubahan UUD 1945 agar dapat terealisasi. Meski terdapat kesamaan visi dan misi, yakni untuk memberlakukan kewenangan pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPD rupanya memiliki misi tersendiri, yakni menata kelembagaan mereka.
Beberapa usulan mengenai penataan kewenangan DPD dimasukkan dalam naskah akademik tersebut. Usulan-usulan tersebut, antara lain memperluas kewenangan untuk dapat membahas PPHN yang berkaitan dengan pemerintahan daerah serta hubungan pusat dan daerah, ikut dalam pembahasan dan dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Usulan tersebut dapat dikatakan cukup memberikan peran yang krusial bagi representasi daerah dalam menyuarakan aspirasi mereka dalam kebijakan pusat yang berpengaruh langsung hingga tingkat regional. Namun, masih ada beberapa persoalan yang perlu dipertimbangkan dan jangan sampai terlewat dalam diskursus amendemen UUD 1945.
Poin pertama yang perlu dikritisi adalah luputnya pembahasan pengisian jabatan anggota DPD. Selama ini, anggota DPD dipilih melalui proses pemilu. Hal demikian adalah anomali dari sistem perwakilan daerah, sebab wakil-wakil daerah malah dipilih melalui mekanisme politik.
DPD yang berfungsi sebagai senator seharusnya dipilih melalui perangkat pemerintahan daerah itu sendiri. Sebab, jika DPD dipilih langsung oleh rakyat, tidak akan ada bedanya dengan representasi politik yang ada di DPR.
Ketakutan soal adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pemilihan perwakilan daerah layaknya saat era Orde Baru dengan utusan daerahnya sudah bisa ditanggulangi dan dicegah. Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi, pilihan daerah ada pada tangan pemerintahan daerah itu sendiri, berbeda ketika utusan daerah saat itu ditentukan oleh pemerintah pusat.
Hadirnya lembaga antirasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga akan memastikan seleksi calon anggota DPD bebas dari KKN. Semua hanya kembali kepada pilihan legislator untuk memikirkan ulang pengisian jabatan DPD sesuai dengan bagaimana senator seharusnya dipilih.
Persoalan DPD ini selalu dikaitkan dengan bagaimana Senat di Amerika Serikat dibentuk dan melaksanakan kewenangannya.
Persoalan DPD ini selalu dikaitkan dengan bagaimana Senat di Amerika Serikat dibentuk dan melaksanakan kewenangannya. Senat di AS merupakan perwakilan negara bagian dan dipilih melalui proses electoral college, berbeda dengan sistem pemilihan umum langsung kita yang menggunakan sistem proporsional.
Hanya, yang menjadi mirip adalah bagaimana DPD mewakili dari provinsi asal masing-masing, layaknya bagaimana Senat mewakili setiap negara bagian sehingga tidak proporsional dengan jumlah penduduk. Oleh karena itu, pemilihan dilakukan oleh perangkat pemerintahan daerah dapat menjadi mekanisme yang tepat sebagai implementasi representasi daerah yang maksimal dan berbeda dari mekanisme politik pada pemilihan langsung.
Perluasan kewenangan
Kedua, hal yang perlu dikritisi dalam penataan kelembagaan DPD adalah dari sisi kewenangannya. Dalam kajian mereka, DPD memang memiliki kedudukan setara dengan DPR, tetapi kewenangannya tidak demikian.
Menurut rencana, DPD hanya dikuatkan dalam pembahasan PPHN dan RUU APBN, tetapi tidak dengan kewenangan mereka dalam pembahasan RUU lainnya. Padahal, aspirasi daerah dipandang sangat krusial dalam pembahasan RUU, sebab pelaksanaan sebuah UU bisa saja dilakukan hingga ke tahap pemerintahan daerah.
Perlunya perluasan kewenangan DPD dalam memberi persetujuan dalam tahap pembahasan RUU yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, sumber daya alam, perimbangan keuangan pusat-daerah, dan hubungan pusat-daerah bisa menjadi solusi dalam rangka meningkatkan akomodasi suara daerah.
Perluasan kewenangan ini begitu penting mengingat hampir semua materi muatan UU dilaksanakan dengan peraturan pelaksana hingga di tingkat peraturan daerah (perda). Terutama di sektor-sektor krusial seperti pendidikan, di mana peran pemda cukup besar sebab mereka berwenang menata pendidikan di daerah karena termasuk ke dalam urusan pemerintahan wajib.
Hanya pemda yang memahami situasi di daerah dan perwakilan dari perangkat pemerintahan daerah itulah yang dapat mengakomodasi aspirasi tersebut untuk dibawa, dibahas, dan disetujui di tingkat pusat. Berdasar hal tersebut perluasan kewenangan untuk DPD agar dapat memberikan persetujuan pada RUU yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, sumber daya alam, perimbangan keuangan pusat-daerah, dan hubungan pusat-daerah sangat perlu untuk memaksimalkan pelaksanaan di tingkat daerah dan memenuhi kebutuhan hukum daerah-daerah itu sendiri.
DPD tidak akan mencampuri undang-undang yang tidak berkaitan dengan kedaerahan.
Apabila terdapat kekhawatiran soal adanya deadlock dan government shutdown akibat DPR dan DPD yang sama kuat dalam memiliki kewenangan legislasi, sejatinya kekhawatiran itu telah dijawab oleh UUD 1945 dan rencana DPD pada Naskah Akademik mereka. DPD tidak akan mencampuri undang-undang yang tidak berkaitan dengan kedaerahan. Selain itu apabila mengikuti rencana dari DPD, meski DPD dapat menolak RUU APBN, APBN tahun sebelumnya menjadi solusi untuk menghindari adanya deadlock.
Jika dalam konteks pembahasan RUU lain, perluasan kewenangan DPD bukan dimaksudkan untuk mengulur waktu pembahasan RUU hingga DPD setuju, tetapi sebagai penyeimbang representasi politik dengan representasi daerah sehingga UU dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan daerah pula.
Usul mengenai perluasan kewenangan inilah yang dapat menjadi kunci menuju strong bicameralism. Selama ini, Indonesia menganut soft bicameralism di mana DPR memiliki kewenangan yang lebih kuat dalam hal legislasi dan kontrol, sementara DPD hanya diikutkan dalam pembahasan dan mengajukan RUU yang berkaitan dengan kedaerahan.
Padahal, demi memaksimalkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, mengakomodasi suara daerah secara lebih maksimal dan efektif juga penting. Dari itu, perluasan kewenangan DPD diperlukan dalam hal menyatakan persetujuan atau tidak dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan kedaerahan.
Pemaparan tersebut menjadi bentuk pertimbangan atau gentle reminder kepada para legislator, terkhusus DPD. Usulan mereka dalam menguatkan lembaga mereka sendiri jangan setengah-setengah sehingga DPD benar-benar ada pada derajat yang sama dengan DPR.
Penguatan daerah dapat dilakukan dari pusat, untuk mendukung dipenuhinya kebutuhan daerah dan memaksimalkan pelaksanaan kebijakan nasional pada tingkat regional. Dengan demikian, desentralisasi terealisasi dengan baik sebab daerah diperkuat kedudukannya di dalam ketatanegaraan.
(Azeem Marhendra Amedi, Peneliti Magang pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia)