Jangan Ada Barter Penguatan DPD dengan Usulan PPHN dalam Amendemen Konstitusi
Usulan penguatan fungsi dan kewenangan DPD melalui amendemen konstitusi sejak tahun 2004 silam selalu kandas. Wacana itu kembali muncul saat MPR mengupayakan perubahan UUD 1945 untuk mengatur Pokok-pokok Haluan Negara.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mahmud Mattalitti pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Pidato Kenegaraan Presiden pada Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Kemerdekaan RI di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin (16/8/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menguatkan peran kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah merupakan isu lama yang dibahas dalam sistem ketatanegaraan di Tanah Air. Amendemen konstitusi menjadi satu-satunya cara untuk memperkuat lembaga perwakilan daerah tersebut. Namun, upaya untuk mendorong penguatan kelembagaan itu sebaiknya tidak menumpangi wacana amendemen untuk mengadakan Pokok-pokok Haluan Negara. Sebab, publik bisa jadi menangkap kesan barter antara dua kepentingan politik tersebut.
DPD merupakan amanah dari amendemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang disahkan pada 1 November 2021. Namun, DPD yang hadir untuk ”menggantikan” fraksi utusan daerah baru dipilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Sebanyak 128 anggota DPD hasil pemilu dilantik pada 1 Oktober 2004, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir DPD.
Kehadiran DPD 17 tahun lalu pada awalnya diusulkan untuk memperkuat sistem perwakilan dari unikameral (satu kamar) menjadi bikameral (dua kamar). Namun, kenyataannya, penerapan sistem bikameral hanya setengah hati. Kewenangan DPD sebagai kamar kedua dibuat tak sama kuat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kamar pertama.
Hal itu, salah satunya, terlihat dari jumlah anggota DPD yang ditetapkan dalam UUD 1945. Pada Pasal 22 C Ayat (2) amendemen ketiga UUD 1945 disebutkan, anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR.

Foto-foto anggota DPD terpasang di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (5/8). DPD hingga saat ini masih memperjuangkan perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 yang salah satunya tentang penguatan fungsi dan kewenangan lembaga DPD.
Fungsi dan kewenangan DPD di bidang legislasi juga dibuat berbeda. DPD memang diberi kewenangan untuk mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), tetapi usulan diajukan kepada DPR. Tak hanya itu, RUU yang diusulkan juga terbatas, yakni berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22 D).
DPD juga punya kewenangan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah bersama DPR. Namun, DPD tidak diberi hak dalam pengesahan RUU menjadi UU.
Kewenangan lain adalah melakukan pengawasan pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi dan pemerintahan daerah. Namun, DPD hanya bisa melaporkan hasil pengawasan kepada DPR sebagai pihak yang akan menindaklanjuti temuan dalam implementasi sebuah UU.
Penguatan DPD
Karena itulah, sejak periode pertama DPD, wacana amendemen konstitusi sudah mengemuka. Pada Juni 2006, Ketua DPD 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita bahkan menargetkan, amendemen konstitusi untuk memperkuat DPD harus sudah selesai sebelum periode jabatan berakhir pada tahun 2009. Penguatan DPD penting dilakukan agar sistem perwakilan bikameral bisa berjalan efektif. Namun, hingga periode jabatan DPD berakhir pada 2009, amendemen konstitusi tak kunjung terlaksana.

Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD
Kandasnya rencana amendemen konstitusi tak menyurutkan langkah DPD untuk memperjuangkan penguatan kewenangan lembaga itu. Gagasan amendemen kelima UUD 1945 kembali diusulkan DPD periode 2009-2014. Tak hanya penguatan DPD untuk efektivitas sistem bikameral, DPD juga mengusulkan materi lain dalam amendemen konstitusi. Dari konsep pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal, komisi nonnegara, hingga calon presiden perseorangan juga diusulkan. Namun, lagi-lagi gagasan amendemen itu kandas, tak sampai dibahas dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Belakangan, upaya untuk menguatkan kelembagaan DPD itu kembali muncul. Kali ini melalui bentuk dukungan terhadap rencana amendemen konstitusi untuk mengadakan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang merupakan rekomendasi dari MPR 2014-2019.
Dukungan DPD terhadap wacana amendemen konstitusi itu disampaikan oleh Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dalam sidang tahunan MPR, 16 Agustus 2021. Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna Luar Biasa Ke-3 DPD Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021 yang digelar 24 Juni lalu, DPD juga menyetujui hasil kajian Tim Kerja (Timja) Politik PPHN tentang usulan amendemen konstitusi. Timja PPHN ini menghasilkan pokok-pokok pikiran usul pengubahan pasal-pasal UUD 1945 secara terbatas yang akan diusulkan DPD.
Setidaknya ada dua usulan perubahan yang telah disetujui DPD. Pertama, pengubahan Pasal 3 UUD 1945, yakni menambahkan satu ayat baru, Ayat (4), yang berbunyi, ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan haluan negara atas usul Presiden setelah dibahas bersama Dewan Perwakilan Daerah”.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti (ketiga dari kiri) didampingi Wakil Ketua DPD Sultan Bachtiar, Nono Sampono, dan Mahyudin (dari kiri ke kanan) memimpin sidang paripurna untuk menentukan perwakilan unsur DPD yang akan duduk di kursi pimpinan MPR di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Kedua, menambahkan tiga ayat pada Pasal 23 UUD 1945, yakni Ayat (2), (3), dan (4). Ayat (2) diusulkan berbunyi, ”Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah sepanjang menyangkut pelaksanaan haluan negara dalam program tahunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara”.
Ayat (3) diusulkan berbunyi, ”Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing dapat menolak rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Presiden”. Adapun Ayat (4) diusulkan berbunyi, ”Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing, tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu”.
Perlu kami sampaikan di sini bahwa posisi DPD dalam memandang rencana amendemen konstitusi berada dalam koridor untuk kepentingan bangsa dan negara. Sudah barang tentu kepentingan daerah sebagai bagian dari tugas dan peran DPD sebagai wakil daerah.
La Nyalla dalam sidang paripurna peringatan Hari Ulang Tahun Ke-17 DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (1/10/2021), di Jakarta, mengatakan, wacana amendemen konstitusi harus menjadi peta jalan atau road map untuk memberi ruang bagi negara dan pemerintah agar mampu memperkuat kedaulatan bangsa. Tujuan utamanya, mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga : DPD Ingin Agregasi Kepentingan Daerah lewat Amendemen
”Perlu kami sampaikan di sini bahwa posisi DPD dalam memandang rencana amendemen konstitusi berada dalam koridor untuk kepentingan bangsa dan negara. Sudah barang tentu kepentingan daerah sebagai bagian dari tugas dan peran DPD sebagai wakil daerah,” katanya.
La Nyalla mengatakan, amendemen konstitusi harus bermuara pada Indonesia yang lebih baik. Upaya itu juga harus menjadi momentum bersama untuk melakukan refleksi dan koreksi atas arah perjalanan bangsa.

Senator dari DI Yogyakarta, GKR Hemas, saat mengikuti sidang paripurna untuk menentukan perwakilan unsur DPD yang akan duduk di kursi pimpinan MPR di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019). DPD akan menunjuk satu nama yang akan dibawa pada Rapat Paripurna MPR. Sidang tersebut dipimpin Ketua DPD La Nyalla Mattalitti.
”Amendemen konstitusi juga harus memberi ruang penguatan peran kelembagaan DPD RI sebagai wakil daerah. Tanpa penguatan kelembagaan, akan sulit bagi DPD RI melakukan mekanisme double check atas rencana kebijakan nasional. Tanpa penguatan kelembagaan, akan sulit bagi DPD mempercepat agregasi kepentingan daerah, dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah,” ujar La Nyalla.
Pidato La Nyalla tersebut menegaskan kembali sikap DPD yang mendukung amendemen konstitusi. Sementara pada saat yang sama, wacana itu mengundang kontroversi dari publik. Beberapa kekhawatiran muncul mengiringi wacana itu, seperti perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode hingga penundaan Pemilu 2024.
Tunjukkan efektivitas
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menuturkan, desain konstitusional DPD memang perlu untuk diperbaiki sehingga peran-perannya menjadi lebih efektif. Sayangnya, selama 17 tahun ini, kewenangan yang sudah ada di tangan DPD pun dipandang belum mampu ditunjukkan secara baik kepada publik.

Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam diskusi daring ”17 Tahun DPD, Apa Kabar Kini?”, Jumat (1/10/2021).
”Apa yang muncul di hadapan publik ialah perebutan kepemimpinan, pimpinannya yang ditangkap oleh KPK, dan sekarang ini dukungan DPD terhadap amendemen konstitusi,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”17 Tahun DPD RI, Apa Kabar Kini?” yang diadakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Jumat, di Jakarta.
Menurut Bivitri, dukungan terhadap amendemen konstitusi saat ini tidak menemukan momentum yang tepat. Untuk menguatkan kewenangan DPD memang harus melalui amendemen konstitusi, tetapi saat ini relevansinya menjadi kurang lantaran DPD terkesan ”menumpang” pada isu amendemen konstitusi yang digagas partai politik di MPR.
”DPD jadi seperti mengambil momentum yang sangat tidak strategis. Citra DPD yang belum menunjukkan efektivitas perannya di satu sisi akan menjadi backfire bagi DPD sendiri. Kalau saya mengusulkan, sebaiknya DPD menjauh dari isu amendemen saat ini,” katanya.

Pengamat politik Ray Rangkuti dalam diskusi daring ”17 Tahun DPD, Apa Kabar Kini?”, Jumat (1/10/2021).
Kalaupun ingin mengusulkan amendemen konstitusi, lanjut Bivitri, DPD harus fokus pada desain konstitusional DPD dan kelembagannya sendiri. Akan tetapi, jangan lalu mengaitkan upaya penguatan kelembagaan DPD itu dengan wacana mengadakan PPHN yang saat ini digagas melalui amendemen konstitusi. DPD harus bisa memperjuangkan kepentingannya sendiri dan tidak dijadikan sarana kepentingan bagi pihak lain di Senayan untuk mencapai tujuannya.
”Sangat disayangkan, keterlibatan DPD dalam isu amendemen konstitusi untuk mengadakan PPHN ini seolah-olah dibarter dengan peningkatan kewenangan DPD,” ujarnya.
Baca juga : Risiko Bola Liar di Tengah Jalan Amendemen Konstitusi
Padahal, semua pihak pada dasarnya menyadari pentingnya kewenangan DPD dikuatkan. Hanya, isu itu harus berdiri sendiri sebagai satu kepentingan untuk peningkatan peran dan fungsi perwakilan DPD, bukan dengan maksud ditumpangi kepentingan lain.
Ray mengatakan, peluang DPD untuk memperjuangkan kepentingannya dalam penguatan kelembagaan dapat dicapai asalkan wacana itu tidak dicampurbaurkan dengan kepentingan lain, termasuk amendemen konstitusi untuk PPHN. ”Saat ini justru seharusnya menjadi momentum DPD untuk merebut simpati masyarakat dan mengelola kepercayaan masyarakat terhadap lembaga mereka karena masyarakat dalam tingkat kepercayaan yang rendah terhadap parpol dan DPR,” ujarnya.