Bonus Demografi serta Perlindungan Perempuan dan Anak
Perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dikedepankan dalam program pembangunan nasional. Peran perempuan, terutama, sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia di suatu negara.
Oleh
ANDRE NOTOHAMIJOYO
·4 menit baca
Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat dalam pembangunan, khususnya terkait sumber daya manusia. Kualitas SDM yang rendah menjadi tantangan khusus untuk segera diselesaikan.
Pembangunan SDM wajib menjadi prioritas saat ini karena hal tersebut menjadi fondasi dalam pembangunan secara menyeluruh. Negara-negara Skandinavia menjadi contoh bagaimana pembangunan SDM yang bagus dan terencana dengan baik dapat mendongkrak pembangunan ekonomi yang bagus, adil, dan berkelanjutan.
Peran perempuan sangat penting dalam pembangunan SDM di suatu negara. Tidak hanya menyangkut kesetaraan jender, tetapi juga menyangkut pendidikan, pengembangan karakter, dan kecukupan gizi dari anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dikedepankan dalam program pembangunan nasional.
Indonesia diperkirakan mendapatkan bonus demografi tahun 2020 hingga 2036. Bonus demografi merupakan suatu keadaan atau kondisi di mana komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif.
Adapun penduduk usia produktif adalah penduduk yang berada pada rentang usia 15 tahun hingga 64 tahun. Mayoritas penduduk usia produktif tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan besar untuk dapat menjadi penggerak pembangunan nasional (Notohamijoyo: 2020). Untuk mengoptimalkan manfaat bonus demografi, diperlukan strategi pembangunan yang tepat dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Pemerintah Indonesia baru saja selesai mengikuti Sidang Dialog Konstruktif dengan Komite CEDAW PBB pada 28-29 Oktober 2021. CEDAW atau The Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations against Women Committee adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Konvensi tersebut merupakan satu-satunya perjanjian hak asasi manusia yang menegaskan hak-hak reproduksi perempuan dan menempatkan budaya dan tradisi sebagai kekuatan berpengaruh dalam kesetaraan jender dan juga peran keluarga. Konvensi tersebut juga menjadi acuan bagi semua negara pihak yang meratifikasi untuk mengambil langkah-langkah yang tepat terhadap segala bentuk perdagangan dan eksploitasi perempuan (www.un.org/womenwatch/cedaw).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Melalui ratifikasi tersebut, Pemerintah Indonesia berkewajiban melakukan upaya untuk menjamin pemenuhan hak-hak perempuan. Berbagai kebijakan dan program Pemerintah baik pusat maupun daerah harus dapat menjamin pemenuhan hak-hak perempuan tersebut.
Di dalam pertemuan tersebut dibahas laporan periodik beserta implementasi CEDAW di Indonesia. Berbagai isu terkini yang menjadi perhatian Komite CEDAW juga dibahas seperti diskriminasi terhadap perempuan, implementasi peraturan nasional, peraturan daerah, peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan politik, isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkawinan di bawah umur, akses kehidupan sosial, akses pendidikan, akses pekerjaan, pekerja migran, kesetaraan jender, kebijakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik sosial dan lain-lain. Komite CEDAW mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan pemenuhan hak-hak perempuan meskipun masih ada beberapa catatan yang perlu ditindaklanjuti.
Hal yang harus menjadi perhatian utama adalah perlunya pemahaman yang lengkap dari seluruh kementerian/lembaga (K/L) terhadap isu-isu perlindungan perempuan dan anak. Isu-isu tersebut seringkali tidak dipahami dengan baik sehingga mengakibatkan kekeliruan dalam implementasinya. Kementerian/lembaga sering kali terjebak dengan opini keterbatasan anggaran dan ego sektoral. Di sinilah perlunya pemahaman yang menyeluruh dan terintegrasi.
Salah satu contohnya adalah penanganan isu tengkes (stunting). Stunting merupakan keadaan kekurangan gizi yang dialami oleh anak usia di bawah lima tahun (balita). Stunting menyebabkan kegagalan tumbuh kembang seorang anak. Penyebab langsungnya adalah asupan zat gizi dan infeksi.
Seorang anak yang tengkes akan mengalami hambatan perkembangan kognitif baik di sekolah hingga pendidikan lanjutan.
Seorang anak yang tengkes akan mengalami hambatan perkembangan kognitif baik di sekolah hingga pendidikan lanjutan. Pengaruh paling signifikan terjadi saat beranjak dewasa di mana timbul berbagai gangguan kesehatan seperti penyakit diabetes mellitus tipe II, jantung dan lainnya. Pada 2019, anak balita di Indonesia yang mengalami tengkes menunjukkan angka sebesar 27,67 persen atau 7 juta anak (Kemenkes: 2019).
Tengkes bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku koordinator namun juga lintas K/L. Tanpa penanganan yang terintegrasi, Indonesia akan kehilangan momentum bonus demografi.
Tengkes harus dipahami merupakan hasil dari siklus pola makan dan pola asuh yang tidak mempertimbangkan kesehatan tubuh. Pola makan dan pola asuh harus mempertimbangkan asupan makanan yang berimbang baik gizi maupun ragamnya sejak usia dini. Adapun bagi perempuan yang telah berkeluarga dan berencana memiliki anak, perbaikan pola makan dan pola asuh harus menjadi prioritas. 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sejak saat masih berupa janin harus terpenuhi kebutuhan gizinya.
Pendidikan, penyuluhan, informasi, pendampingan hingga distribusi asupan makanan bergizi harus dilakukan lintas K/L secara berkesinambungan termasuk di daerah rawan bencana dan rawan konflik. Kementerian yang terkait di bidang pangan seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk BUMN seperti PT Pelni dan PT Perindo harus turut dilibatkan. Kolaborasi atau gotong royong lintas K/L tersebut tidak hanya akan dapat menanggulangi masalah tengkes, tetapi juga akan mendorong pemenuhan hak perempuan dan anak secara lebih menyeluruh dan tepat sasaran.
(Andre Notohamijoyo, Delegasi RI untuk Sidang Dialog Konstruktif dengan Komite CEDAW PBB)