Peringatan Ariel Heryanto, jangan-jangan di masa demokrasi Jokowi Pancasila diperlakukan sama dengan di waktu Orde Baru. Pancasila bukan sebuah ideologi, melainkan kebersamaan nilai-nilai yang mendasari persatuan bangsa.
Oleh
FRANZ MAGNIS-SUSENO
·4 menit baca
Peringatan Prof Ariel Heryanto (Kompas, 6/11/ 2021) agar Pancasila pada masa pasca-Orde Baru—ya, pada masa ”demokrasi Jokowi” sekarang—jangan dipergunakan sama seperti pada waktu Orde Baru pantas diperhatikan.
Ariel Heryanto menarik perhatian pada suatu kenyataan yang penting untuk tak salah paham terhadap Pancasila, yaitu bahwa Soekarno, pencetus Pancasila, tidak menganggap Pancasila sebagai semacam ideologi, tetapi sebagai payung di bawahnya segala macam ideologi seperti yang pada waktu itu terdapat di antara para nasionalis Indonesia dapat ditempatkan. Ideologi-ideologi yang diperjuangkan Soekarno sendiri—di bawah payung Pancasila—adalah sosialisme, antikapitalisme, antiimperialisme, dan sebagainya.
Dapat ditambahkan bahwa Pancasila justru ditetapkan sebagai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan kemanusiaan dasar yang dimiliki oleh segenap komunitas etnik, budaya, dan agama Nusantara.
Karena itu, semua komunitas yang cukup berbeda itu dapat bersatu dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan, itu yang paling menentukan, merasa diri menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia.
Berbeda dengan banyak negara pasca-penjajahan, baik di Asia maupun di Afrika, persatuan nasional Indonesia berhasil menjadi kenyataan karena jati diri ke-Indonesia-an tidak menyaingi, apalagi menindas, identitas setiap komunitas Nusantara, tetapi menjamin dan bahkan mengangkatnya.
Kelihatan juga, ada kaitan erat antara kebangsaan Indonesia dan Pancasila. Kemajemukan etnik, budaya, dan religius Nusantara bisa bersatu dalam kesadaran, bahkan dalam kebanggaan: Kami ini Indonesia.
Kesatuan identitas Indonesia itu menjadi mungkin karena komunitas-komunitas dengan identitas masing-masing yang cukup berbeda itu memiliki lima prinsip kesosialan bersama, lima prinsip Pancasila yang menjadi dasar kebersamaan mereka.
Di bawah kekuasaan Orde Baru, itu berubah. Pancasila mulai dipakai sebagai ideologi untuk menghantam ideologi-ideologi yang dirasakan sebagai ancaman. Ariel Heryanto menyebutkan komunisme dan Islamisme, dan bisa ditambah liberalisme.
Kemajemukan etnik, budaya, dan religius Nusantara bisa bersatu dalam kesadaran, bahkan dalam kebanggaan: Kami ini Indonesia.
Di sini tak perlu kita masuk ke pertanyaan apakah Pancasila dapat membenarkan larangan terhadap apa saja yang komunis (dalam Tap XXVI MPRS 1966). Menurut saya, sekurang-kurangnya Marxisme-Leninisme tidak dapat ditampung di bawah lima sila Pancasila.
Bisa dicatat, sesudah 20 tahun berkuasa, Soeharto sendiri menyadari bahwa memusuhi agama yang dianut oleh 87 persen bangsa Indonesia merupakan kesalahan, maka ia melakukan his Islamic turn. Apalagi, Islam mainstream di Indonesia tegas-tegas menyatakan diri menjadi bagian bangsa Indonesia yang kebersamaannya didasari oleh Pancasila.
Pancasila dan agama
Peringatan Ariel Heryanto—jangan-jangan pada masa demokrasi Jokowi, Pancasila diperlakukan sama dengan pada waktu Orde Baru—perlu diperhatikan. Pancasila bukan sebuah ideologi, melainkan kebersamaan nilai-nilai yang mendasari persatuan bangsa.
Beberapa hari lalu di media sosial diributkan video seorang ustaz yang marah-marah bertanya apa itu Pancasila dibandingkan Al Quran dan Hadits. Banyak komentar sangat kritis terhadap ustaz itu.
Akan tetapi, tentu saja, ustaz itu betul! Pancasila tak dapat dipersandingkan dengan ajaran agama. Tentu saja berlaku: ”Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5: 29).
Kita orang beragama tentu mendapat keterarahan dasar hidup kita dari ajaran agama yang kita anut. Kita sudah beragama sebelum pertama kali mendengar kata Pancasila.
Karena itu, Pancasila juga jangan mau dipropagandakan sebagai semacam ajaran kebijaksanaan hidup. Ajaran kebijaksanaan hidup adalah urusan kita masing-masing, dan bagi kebanyakan kita tentu berakar dalam agama.
Jadi, Pancasila bukan sesuatu seperti, misalnya, antroposofi Rudolf Steiner atau philosophia perennis Sayyed Hossein Nasr. Pancasila adalah tidak kurang dan tidak lebih dari lima sila yang disebut pada akhir Pembukaan UUD 1945.
Fungsi BPIP
Karena itu pun usaha untuk mengangkat kembali hal ”pemerasan Pancasila” adalah salah tangkap dan berbahaya. Seperti dijelaskan Ariel Heryanto, pandangan Soekarno terhadap Pancasila harus dimengerti secara inklusif.
Yang dimaksud Soekarno dalam prasaran 1 Juni 1945 dengan pemerasan Pancasila bukan: Kalau mau, Tri-sila, bahkan Eka-sila sudah cukup; melainkan: Mereka yang ”ideologi politiknya” berfokus pada sosio-nasionalisme dan sosio-ekonomi, atau yang mau menampung kesosialan bangsa Indonesia dalam gotong royong, tertampung di Pancasila.
Begitu Pancasila memberi kesan seakan-akan mau merelativasi keagamaan, Pancasila justru akan terancam. Sebaliknya, begitu orang beragama melihat: wah, bagus Pancasila ini, ternyata yang bagi kami penting terungkap dalam Pancasila; maka ia dengan senang memberi ruang kepada kebangsaan dalam hatinya dan ikut berusaha agar lima sila Pancasila menjadi kenyataan di Indonesia.
Karena itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hanya akan berperan positif apabila tegas-tegas mencegah jadi semacam Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) baru.
Tujuan BPIP tentu bukan berfilsafat tentang Pancasila, melainkan membantu agar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia semakin menjadi kenyataan.
Yang bertentangan dengan Pancasila, dan tidak boleh diberi ruang di Indonesia, adalah gerakan-gerakan politik yang mendasarkan diri pada suatu ideologi yang menyangkal kesamaan kedudukan segenap warga bangsa, dari segenap etnik, budaya, dan agama di Indonesia.
Dalam arti ini Pancasila memang merupakan kriteria apakah sebuah ideologi berhak diberi ruang di Indonesia. Itu bukannya sisa mental Orde Baru, melainkan kesepakatan bangsa Indonesia bahwa ”negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat… berdasar” pada lima prinsip yang kita sebut Pancasila itu.
Franz Magnis-Suseno,Guru Besar Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta