Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan
Tidak bisa lagi ada dikotomi ekonomi dan ekologi. Keduanya harus seimbang dan berjalan beriringan. Pembangunan harus tetap berjalan, tetapi lingkungan harus juga tetap lestari. Ini suatu keniscayaan.
Oleh
DELLY FERDIAN
·5 menit baca
Tidak lagi zamannya mempertentangkan mana yang harus diprioritaskan antara ekonomi atau ekologi. Pasalnya, jika keduanya terus dikambinghitamkan, solusi terbaik tidak akan pernah ketemu karena ekonomi akan selalu dianggap lebih penting dan ekonomi dipandang sebelah mata.
Tidak bisa lagi ada dikotomi antara ekonomi dan ekologi karena keduanya seharusnya seimbang dan berjalan beriringan. Pembangunan harus tetap berjalan, tetapi lingkungan harus juga tetap lestari. Tidak tepat apabila ada pihak yang memaksa untuk menghentikan pembangunan dengan alasan deforestasi atau juga emisi karbon. Namun, juga tidak tepat jika dalam pembangunan tidak memperhitungkan atau mengorbankan keduanya.
Oleh karena itu, penting untuk selalu menekankan sisi lingkungan atau aspek ekologi dalam setiap aktivitas pembangunan dan perekonomian. Inilah alasan untuk bahwa konsep pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan harus diwujudkan. Lantas, apa itu pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan?
Saat ini, ekonomi yang masih sangat eksploitatif kepada sumber daya alam sudah tidak lagi relevan, ini cara lama yang sudah usang. Oleh karena itu, transformasi besar harus segera dilakukan demi mencapai keseimbangan agar kerusakan pada alam dapat dihentikan, tetapi juga memberikan daya dorong pada perekonomian. Transformasi tersebut dapat diartikan sebagai konsep pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.
Dalam konteks ekonomi hijau, makin rendah angka deforestasi (penggundulan hutan) dan kerusakan lingkungan yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi makin berkualitas. Kualitas ekonomi sangat bergantung pada kualitas ekologi. Jika terjadi kerusakan pada ekosistem, dampaknya akan signifikan pada kehidupan yang akhirnya juga mengancam perekonomian.
Pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan bukan berarti melarang untuk menebang satu pohon, sebagaimana konsep zero deforestation, bahwa deforestasi bukan berarti kehilangan satu pohon, melainkan kehilangan ekosistem hutan dalam bentuk kawasan dengan memperhitungkan dan mendorong perbaikan atau reforestasi apabila terjadi kerusakan.
Contohnya dalam kasus pembangunan jalan. Dalam konteks perekonomian, membangun jalan adalah salah satu langkah untuk mendorong pertumbuhan karena terbukanya akses dan mengurangi biaya dari aktivitas ekonomi. Untuk membangun jalan, kawasan hutan harus dikorbankan, tetapi dengan catatan perlu upaya untuk merehabilitasi kembali dengan memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut. Itulah konsep dari zero deforestation atau pembangunan tanpa merusak lingkungan.
Kebijakan ekologi
Sejalan dengan konsep ini, konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945, juga menjamin kelestarian lingkungan demi kelangsungan hidup lebih baik. UUD 1945 menyebut bahwa mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga gencar menyuarakan konsep pembangunan yang berpihak kepada lingkungan melalui konsep Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tinggi akibat laju pertumbuhan penduduk dan percepatan pembangunan yang begitu pesat. Memperhatikan kapasitas ekologi seperti daya dukung dan daya tampung adalah keniscayaan dalam pembangunan.
Memperhatikan kapasitas ekologi seperti daya dukung dan daya tampung adalah keniscayaan dalam pembangunan.
Bappenas bahkan mengenalkan konsep pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan pembangunan rendah karbon. Pembangunan rendah karbon adalah kebijakan pembangunan yang program dan pelaksanaannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi gas rumah kaca.
Konstitusi dan beberapa kebijakan tersebut tentu sangat tepat dengan konsep pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Inilah Indonesia yang sesungguhnya.
Mendorong keseimbangan
Namun, faktanya, kebijakan tidak selalu diikuti dengan konsistensi serta komitmen yang kuat sehingga kerusakan yang mengorbankan kepentingan lingkungan, hutan, dan alam masih saja terjadi.
Contohnya terkait dengan pembangunan dan deforestasi. Berdasarkan data luas izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) atau tukar menukar kawasan hutan (TMKH) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL) KLHK, pada periode 2014-2020 terdapat 117.106 hektar lahan yang digunakan sebagai tambang.
Sementara, penggunaan lahan untuk kawasan nontambang berupa jalan tol, jalan umum, jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, migas, dan geotermal hanya 14.410 hektar atau tidak sampai 10 persen dari total penggunaan lahan untuk pembangunan fasilitas nontambang (Kompas, 4/11/2021). Fakta ini jelas menggambarkan ketidakkonsistenan dan minimnya komitmen hijau dalam pembangunan.
Bukan hanya itu, Yayasan Madani Berkelanjutan juga menemukan ancaman besar terhadap tutupan hutan. Pada Januari 2021, setidaknya ditemukan 1,5 juta hektar hutan alam di dalam alokasi area of interest food estate di empat provinsi, yakni Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Kemudian, terdapat sekitar 3,5 juta hektar hutan alam di dalam izin sawit eksisting (izin sawit yang sudah diberikan dan terdata oleh Yayasan Madani). Di sisi lain, Yayasan Madani juga mencatat kebutuhan lahan untuk memenuhi transisi pengembangan energi biofuel sebesar 4 juta hektar. Lebih jauh lagi ditemukan sekitar 3,2 juta hektar hutan alam dalam izin hutan tanaman industri (HTI)—dan akan terus bertambah jika tidak ada safeguards tegas bagi pengembangan hutan tanaman agar tidak dilakukan di wilayah yang berhutan alam dan lahan gambut.
Dalam agenda pembangunan yang besar itu, memperhitungkan aspek keadilan atas lingkungan, hutan, dan alam harus menjadi prioritas.
Keinginan kuat pemerintah untuk melakukan pembangunan yang masif di seluruh Nusantara tentu patut diapresiasi. Niat baik tentu akan selalu didukung. Namun, dalam agenda pembangunan yang besar itu, memperhitungkan aspek keadilan atas lingkungan, hutan, dan alam harus menjadi prioritas.
Tidak ada pihak yang menginginkan pembangunan Indonesia terhenti di tengah jalan dengan alasan emisi karbon atau deforestasi. Namun, rakyat juga sangat menginginkan kedua hal itu dijadikan patokan dalam pembangunan sehingga terwujudlah pembangunan yang menyeimbangkan antara ekonomi dan ekologi. Bukankah kita sangat mendambakan ekonomi yang kuat dan tahan banting tetapi juga ramah terhadap lingkungan?
Delly Ferdian, Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta