Menjadi Generalis ala Mas Menteri
Sejatinya perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti. Dilema generalis dan spesialis bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan. Karena keduanya bisa saling bertukar, sesuai kondisi perkembangan ilmu pengetahuan.
Mana yang lebih dibutuhkan, menjadi seorang spesialis atau generalis?
Pernyataan yang dilontarkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim di sebuah acara dialog yang diunggah kanal Youtube Universitas Sumatera Utara itu mengungkapkan beberapa hal.
Sebanyak 80 persen lulusan perguruan tinggi bekerja nonlinier dengan program studi yang diambil di bangku kuliah; penting untuk menguasai dua atau tiga bidang keilmuan, bukan mengikuti ego sektoral fakultas; menganjurkan mahasiswa untuk dapat mencicipi berbagai disiplin ilmu yang tersebar luas dalam ragam mata kuliah ketika S-1.
Ungkapan tersebut seolah mengonfirmasi lakon yang dimainkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim. Sebab, ia sendiri mempelajari multidisiplin ilmu, serta menempuh karier yang bisa disebut generalis.
Bahkan, ketika ditunjuk jadi menteri, tak sedikit yang bertanya-tanya bagaimana seorang pendiri decacorn akan memandu layar pendidikan Indonesia.
Dilema spesialis vs generalis
Konsep generalis dan spesialis sebenarnya telah lama menjadi perbincangan di dunia pendidikan dan belantara dunia kerja. Apakah spesialisasi dalam satu bidang saja cukup?
Tom Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise, mengungkapkan, menjadi seorang ahli atau pakar di bidang tertentu sangat esensial. Bahkan, hingga saat ini kita masih menjadi komunitas masyarakat spesialis yang mempelajari secara mendalam satu hal spesifik, berkarier di bidang itu, kemudian menjadi seorang ahli dengan upah sepadan.
Tom Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise, mengungkapkan, menjadi seorang ahli atau pakar di bidang tertentu sangat esensial.
Namun, muncul pertanyaan, apakah pola itu masih cocok di masa kini, apalagi masa depan?
Dari sini, lahir ide-ide tentang menjadi seorang generalis. Terutama karena tuntutan perkembangan yang bersifat fleksibel. Apa yang sebenarnya lebih dibutuhkan, mana yang lebih penting, bagaimana menghadapi tuntutan perubahan pola kerja yang lentur berasaskan kolaborasi dan interkoneksi sehingga menguasai satu bidang tertentu saja justru bisa menghambat perkembangan sebagai individu maupun profesional?
Berbagai analisis kemudian muncul untuk menentukan mana yang lebih tepat. Jika melihat poin penjabaran pada buku David Epstein berjudul Range: Why Generalist Triumph in a Specialist World, kita akan disuguhi contoh riil kehidupan para atlet yang dibimbing menjadi spesialis sejak kecil.
Kemudian bagaimana seorang generalis memenangi kompetisi tersebut. Mulai dari perkembangan diri yang pesat, lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan dan menyesuaikan diri, tanggap dengan berbagai isu sehingga lebih cepat dalam mengambil keputusan, serta memiliki fleksibilitas yang tinggi.
Baca juga : Meredefinisi Misi Perguruan Tinggi
Terlepas dari dilema tersebut, berbagai bidang pekerjaan di perusahaan masih membutuhkan posisi untuk generalis dan spesialis. Pekerjaan generalis dalam aplikasinya memiliki cakupan yang luas, disebut juga sebagai jack of all trades master of none.
Contoh bidang pekerjaannya seperti dokter umum, hubungan internasional yang mengkaji relasi beberapa negara, termasuk juga posisi pimpinan maupun penanggung jawab yang mengontrol dan mengevaluasi berbagai jenis pekerjaan berbeda di bawahnya.
Di sisi lain, spesialis membidangi satu bagian khusus, mengkajinya baik secara teoretis ataupun praktis sehingga disebut sebagai profesional.
Beberapa contoh pekerjaannya seperti dokter spesialis, software developer, hubungan internasional yang fokus menggali isu suatu negara, desainer, hingga tukang jahit di pabrik garmen. Para spesialis disebut juga sebagai master of one.
Pemuda generalis
Kembali pada pernyataan Nadiem, generasi muda yang masih duduk di bangku kuliah dan akan memulai karier, baiknya terbuka untuk mencicipi berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, generasi muda harus melihat dan mengambil setiap peluang yang ada.
Meskipun mereka mungkin saja memiliki idealisme tentang karier maupun bidang yang akan digeluti, penting untuk terjun menjajaki berbagai bidang sebagai permulaan sehingga memiliki medan pandang yang lebih luas.
Jika dibaca melalui kacamata tahap perkembangan psikologis manusia, pemilihan pendekatan menjadi generalis di usia ini cenderung tepat. Menurut teori perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, seorang pemuda yang beranjak dari usia remaja memiliki kapasitas kognitif yang terus berkembang menuju kematangan di usia dewasa, baik dari segi kreativitas, berpikir abstrak, penalaran deduktif, menciptakan hipotesis, hingga kemampuan problem solving.
Bahkan, kita sering mendengar adagium tentang ini. Selagi muda, cobalah berbagai hal dan gagal lah sebanyak mungkin, sehingga pengalaman itu akan menjadi pembimbing terbaik dalam menentukan langkah.
Tahap perkembangan relasi sosial pemuda juga tengah terbuka lebar.
Tahap perkembangan relasi sosial pemuda juga tengah terbuka lebar. Jurnal yang ditulis Charmichael Dkk (2015) berjudul In Your 20s it’s Quantity, in Your 30s it’s Quality, memaparkan, generasi usia 20-an adalah fase di mana mereka membangun jejaring sosial yang luas. Bahkan, tokoh perkembangan psikososial, Erik Erikson mengategorikan dualisme yang terjadi di fase ini adalah intimasi vs isolasi.
Yakni, di mana seseorang dapat terjebak pada perasaan terisolasi karena ketidakmampuan menumbuhkan relasi sosial yang luas, hangat, dan bermakna. Dengan kata lain, kekuatan yang dimiliki oleh generasi muda, adalah kekuatan jaringan.
Sehingga, pada masa ini, individu dapat disebut tengah berada dalam tahap eksplorasi dari berbagai segi, di mana ada kecenderungan untuk mudah terbuka pada orang lain, maupun kemampuan kognitif yang berkembang untuk mempelajari hal-hal baru.
Baca juga : Pendidikan Tinggi dan Perburuan Gelar
Spesialis yang matang
Ketika seorang pemuda generalis telah mencicipi berbagai bidang keilmuan maupun pekerjaan. Ia akan memiliki pengetahuan serta perspektif yang lebih luas. Sehingga bisa memilih dengan sadar dan pertimbangan yang matang tentang mana yang lebih tepat untuk selanjutnya dijadikan sebagai bidang spesialisasi.
Atau sering disebut sebagai passion yang benar-benar jadi pendorong untuk terus produktif dan menikmati pekerjaan, ”What is your true calling?”
Meskipun demikian, seorang generalis yang memilih menjadi spesialis di waktu dan kondisi yang tepat, juga dapat memutuskan untuk kembali mengeksplorasi berbagi hal baru ketika ia telah mencapai tahap depth knowledge.
Sebab, sejatinya perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti sehingga dilema generalis dan spesialis bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan. Karena keduanya bisa saling bertukar, sesuai kondisi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan.
(Sriwiyanti, Mahasiswa Master of Educational Psychology UniSZA, Malaysia)