Menakar Diskursus AUKUS
Sebagai pemegang presidensi G-20 pada tahun 2022 dan keketuaan ASEAN pada tahun 2023, menjadi titik krusial bagi Jakarta agar dapat membangun serta mengarahkan equilibrium geostrategic, geopolitik dan geoekonomi kawasan.
Pakta pertahanan trilateral antara Inggris, AS, dan Australia (AUKUS) saat ini menjadi topik diskursus terhangat dalam perkembangan geopolitik kawasan Indo-Pasifik. Perdebatan diskursus ini kian hangat karena memunculkan kekhwatiran akan perang dingin, yaitu melalui deterensi nuklir (nuclear deterrence).
Maka, dalam memahami kepentingan dan persoalan AUKUS terkini, diperlukan pemahaman pada spektrum sudut pandang yang luas. Pertama, mengemukanya AUKUS menjadi tolak sejarah baru dalam ketegangan Indo-Pasifik yang melibatkan Australia secara langsung dalam percaturan politik militer terhadap China yang merupakan kekuatan adidaya tunggal di Asia.
Kedua, di sisi lain, Australia tampaknya menetapkan posisinya sebagai ”The Guardians of the Pacific” (pelindung kawasan Pasifik) pada peta politik keamanan kawasan terkini. Ketiga, pembaruan terhadap identitas dan kepentingan citra pertahanan Australia menjadi dilema regional yang berkonsekuensi pada kepercayaan mitra-mitra strategisnya, khususnya tetangga terdekat, ASEAN,
Meskipun AUKUS merupakan wacana baru dalam perspektif cooperative security, kehadirannya telah mengguncang perairan Indo-Pasifik yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Narasi cooperative security ini bisa dipahami bukan sebagai upaya menghadang musuh tertentu, melainkan sebuah kerja sama militer sebagai upaya menghindari ancaman keamanan sebelum ancaman benar-benar terwujud.
Lantas, apa sesungguhnya AUKUS dan sejauh mana implikasinya ke stabilitas kawasan?
Perdebatan diskursus ini kian hangat karena memunculkan kekhwatiran akan perang dingin, yaitu melalui deterensi nuklir (nuclear deterrence).
Deterensi Indo-Pasifik
AUKUS merupakan kerja sama trilateral strategis yang mengedepankan inisiatif pertamanya dalam pengembangan kapal selam berteknologi nuklir (nuclear-powered attack submarine/SSN) di Adelaide (Australia). Pola kerja sama ini diharapkan akan meningkatkan pengembangan teknologi, keterlibatan para ilmuwan, cybersecurity, keamanan bawah laut dan pengembangan industri pertahanan dalam wacana menjaga perdamaian dan keamanan kawasan.
Ini adalah nada argumentasi yang disuarakan Canberra, Washington DC, dan London dalam kerangka pandangan terhadap marwah social justice (keadilan sosial) di kawasan Indo-Pasifik.
Namun, analisis umum bahwa kesepakatan kerja sama AUKUS ini justru merupakan upaya terbaru dalam menghidupkan kembali bayang-bayang ’perang dingin’ dalam dinamika geopolitik terkini. Hal ini memperkuat anggapan adanya upaya deterensi lebih lanjut terhadap China, sekalipun tak satu pun dari ketiga negara itu dengan tegas menyatakan atau membenarkan sudut pandang ini.
Baca : Beriringan Menjaga Indo-Pasifik
Di sisi lain, bakal hadirnya Australia dalam kelompok elite pemegang alutsista berkemampuan nuklir dapat sorotan dan tekanan tajam dari berbagai kelompok. Perancis, misalnya mengutarakan nota protes dan kekecewaan besar secara resmi. Ini tentu tak terlepas dari pembatalan kerja sama kapal selam secara sepihak oleh Canberra terhadap Madrid senilai 90 miliar dollar AS. ASEAN, termasuk Indonesia, turut prihatin atas dinamika terkini.
Akan tetapi, apakah hanya itu saja perdebatan yang ada?
Kesepakatan AUKUS terkait kapal selam bertenaga nuklir juga memunculkan gugatan terkait komitmen negara-bangsa terkait Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir). Meskipun Perdana Menteri Australia Scott Morrison dengan tegas menyatakan tak sedang membeli senjata nuklir ataupun mengembangkan kapabilitas nuklir untuk keperluan sipil, premis dan kekhawatiran yang diutarakan China bahwa nuklir jadi alat geopolitik makin nyata adanya.
Saking sensitifnya isu nuklir global, tak banyak negara memiliki kemampuan kapal selam bertenaga nuklir. Hingga kini hanya AS, Rusia, China, Inggris, Perancis dan India pemegang nuclear-powered attack submarine (kapal selam serang bertenaga nuklir/SSN) dan nuclear-powered ballistic missile submarines (kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir/SSBN).
Masuknya Australia dalam kelompok elite negara berkemampuan SSN yang secara logis dapat ditingkatkan menjadi SSBN, memiliki arti dari rencana sebatas penggunaan tenaga nuklir dengan metode persenjataan konvensional dapat berubah sewaktu-waktu dengan persenjataan nuklir. Hal inilah yang jadi kekhawatiran akan potensi meningkatnya perlombaan nuklir sebagaimana terjadi dahulu di masa Perang Dingin.
Lebih jauh lagi, wacana ekspor nuklir dan pembangunan infrastrukur pendukung strategis dapat diprediksi akan menjadi lokasi depot rantai pasok untuk pengisian ulang bagi aliansi negara-negara Barat dalam menjalankan misinya di kawasan Indo-Pasifik.
Uniknya, AUKUS akan berhasil membangun sebuah pangkalan isi ulang nuklir tepat di ’jantung’ kawasan Indo-Pasifik. Inilah yang menjadi dilema keamanan dikarenakan letak geografisnya, terlebih tak jauh dari Laut China Selatan (LCS), tepat di area tensi geopolitik abad ke-21 kini.
Lantas, akankah tensi geopolitik berkembang menjadi pertunjukan balance of power di kawasan Indo-Pasifik?
Menakar dinamika terkini
Dalam menakar dinamika terkini, dapat kita asumsikan ada dua pendekatan utama dalam menemukan titik ekuilibrium (keseimbangan) atas persaingan geopolitik kawasan yang terus meningkat.
Pertama, diplomasi multilateral, regional dan bilateral selalu menjadi pilihan utama dalam membangun kesepahaman sehingga roda perekonomian global dapat terus terjalin sebagaimana menjadi cita-cita pola kerja dan sifat liberalisme.
Para negara-bangsa telah menunjukkan kedewasaan dalam bekerja sama meskipun dilanda berbagai perbedaan pandangan secara politis maupun kepentingan nasional. Hal ini memberi harapan bahwa negara-bangsa masih saling membutuhkan dan terkait satu dengan lainnya dalam suatu ikatan rantai pasok global, sehingga peluang terjadinya perang dunia ketiga sangatlah kecil.
Kedua, deterensi menjadi opsi pencegahan dalam melindungi kepentingan diplomasi multilateral, regional, bilateral serta asas-asas kesepakatan hukum internasional dan HAM yang diakibatkan oleh kekhawatiran atas ancaman kedaulatan, baik teritorial darat ataupun laut, hingga freedom of navigation (kebebasan navigasi).
Ironisnya, jika ada aktor negara yang nekat, teori ini dapat mengakibatkan kehancuran yang sangat mematikan.
Adanya kesimbangan kekuatan militer konvensional dan modern inilah yang dapat di katakan akan menghindari perang berskala besar, sekalipun ’perang dingin’ perlombaan persenjataan sulit untuk dihindari, hingga terjadi kesepakatan reformis baru terhadap tatanan global. Ironisnya, jika ada aktor negara yang nekat, teori ini dapat mengakibatkan kehancuran yang sangat mematikan.
Maka, sangat relevan dan wajar bahwa mekanisme multilateral seperti PBB, G-20 dan APEC akan tetap berjalan dan terselenggara sebagaimana mestinya tanpa hambatan meskipun terjadinya eskalasi militer di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam kaitan dengan AUKUS, pemikiran ini menjadi sebuah premis yang realistis dalam memahami dan memaknai pola pandang atas urgensi program nuklir di kawasan Indo-Pasifik. Australia, baik secara mandiri maupun melalui The Quadrilateral Dialogue (Quad), telah menunjukkan keseriusannya selama beberapa tahun terakhir dalam konfrontasi langsung dengan China.
Baca juga : Kita dan AUKUS
Berbeda dengan India dan Jepang sebagai sesama mitra dalam Quad yang kerap bertahan dalam pandangan inklusivitas yang luas, Australia nampak tegas atas pendirian persepsi ancaman melalui berbagai aksi dan pernyataan. Maka, dapat kita asumsikan stabilnya pendirian Canberra inilah yang memberi kepercayaan dari AS dan Inggris terhadap akses nuklir melalui skema AUKUS.
Selanjutnya, dapat dikatakan letak geografis Australia inilah yang akan menjadi alat tekanan politik dalam memperjuangkan hukum dan norma-norma internasional maupun negosiasi antara Barat dan China beberapa tahun ke depan.
Jika ini menjadi skema yang terjalin, tentu akan membawa dampak ketegangan tinggi di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Asia Tenggara. Ketegangan hanya akan mampu diredakan melalui fasilitator netral yang tepat, tetapi memiliki kepentingan langsung terhadap proses perdamaian tersebut.
Dalam perkembangan dua tahun ke depan, dalam hal ini, Indonesia dipandang dapat memainkan peranan yang sangat strategis sebagai fasilitator perdamaian, inklusivitas dan non-agresi di kawasan Indo-Pasifik.
Sebagai pemegang presidensi G-20 pada 2022 dan keketuaan ASEAN pada 2023, menjadi titik krusial bagi Jakarta agar dapat membangun serta mengarahkan equilibrium geostrategic, geopolitik, dan geoekonomi dalam rangka menyatukan pandangan dan kepentingan seluruh pemangku kepentingan sehingga bisa melahirkan jaminan keamanan dan stabilitas bagi masa depan dunia.
Hal ini dapat tercapai, jika Jakarta dapat proaktif dalam terobosan-terobosan mutakhir sebagaimana pernah dilakukan di masa Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok.
(Abhiram Singh Yadav, Peneliti Politik Hubungan Internasional, Ketua Umum IKA-MHI Universitas Pelita Harapan)