Ketidaksetaraan Layanan dalam Penanganan Diabetes Tipe 1
Aplikasi yang komprehensif dan pelatihan saja tidak cukup. Kita juga harus memastikan ada pemerataan dalam distribusi alat kesehatan dan obat-obatan untuk anak-anak dan remaja dengan diabetes melitus tipe 1.
Oleh
AMAN B PULUNGAN
·4 menit baca
Seratus tahun sejak penemuan insulin, penanganan diabetes melitus tipe 1 (DMT1) pada anak di Indonesia masih jalan di tempat. Ketidakmerataan akses ke perawatan diabetes masih menjadi isu besar di Indonesia.
Pada 1921, tim peneliti Kanada menemukan molekul insulin dan menghasilkan terobosan dalam pengobatan diabetes. Dalam satu dekade terakhir, kita melihat terobosan yang mereka berikan menyelamatkan banyak nyawa penderita diabetes dan juga membantu anak-anak dan remaja dengan DMT1 hidup lebih baik dan sehat.
Seiring berjalannya waktu, insulin terus berinovasi, memberikan kesempatan anak- anak dan remaja dengan DMT1 menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan lebih nyaman. Namun terlepas dari manfaat yang diberikan oleh insulin, prognosis DMT1 di Indonesia hampir tak berubah.
Penanganan DMT1 pada anak-anak dan remaja di Indonesia masih mendapatkan rapor merah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, prevalensi DMT1 di Indonesia meningkat hingga tujuh kali lipat dari 3,88 per 100 juta penduduk pada 2000 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2010.
Selama 20 tahun terakhir, saya telah melihat dan terlibat dalam berbagai kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya DMT1. Ketika kampanye berjalan, kita bisa meningkatkan angka pasien DMT1 hingga 500 persen. Namun ketika kampanye berhenti, kita kembali jalan di tempat.
Tidak bisa dimungkiri dari yang kami lihat di lapangan, angka pasti prevalensi DMT1 bisa lebih tinggi dibandingkan dengan data yang sudah ada.
Hingga kini kita masih menjumpai anak yang meninggal akibat DMT1 disebabkan oleh underdiagnosis (pasien yang tidak terdiagnosis) dan misdiagnosis (pasien dengan hasil diagnosis salah). Tidak bisa dimungkiri dari yang kami lihat di lapangan, angka pasti prevalensi DMT1 bisa lebih tinggi dibandingkan dengan data yang sudah ada.
Selain underdiagnosis dan misdiagnosis, pengetahuan akan DMT1 di masyarakat pun masih kurang. Masih banyak orangtua yang menganggap penyakit DMT1 sebagai aib dan enggan memberikan insulin kepada anaknya.
Bahkan, seorang pasien saya dikucilkan di sekolah karena teman-temannya menganggap DMT1 sebagai penyakit menular. Pemahaman masyarakat mengenai DMT1 pun masih rancu, banyak yang menganggap DMT1 sebagai penyakit genetik, padahal DMT1 merupakan penyakit autoimun yang bisa dialami oleh siapa saja, termasuk bayi.
Dalam rangka memperingati Hari Diabetes Sedunia yang jatuh pada 14 November, saya ingin mengajak berbagai pihak untuk kembali membereskan pekerjaan rumah kita dalam menangani DMT1 di Indonesia, yaitu menyetarakan pelayanan diabetes di seluruh Indonesia.
”Access to Diabetes Care” atau akses ke perawatan diabetes merupakan tema untuk Hari Diabetes 2021-2023. Akses ke perawatan diabetes merupakan kunci penting mengendalikan DMT1 dan menyelamatkan penerus bangsa.
Program kemitraan
Saat ini jumlah dokter spesialis endrokinologi di Indonesia masih sangat terbatas dan layanannya terpusat di Pulau Jawa. Ketika saudara kita di luar Pulau Jawa ingin mendapatkan diagnosis dan pengobatan diabetes dari dokter spesialis endrokinologi, mereka mungkin terpaksa harus terbang ke Jakarta atau Singapura.
Pelayanan kesehatan di 514 kabupaten dan kota di 34 provinsi di Indonesia pun tak merata. Pasien di Papua tak bisa mendapatkan pelayanan yang sama seperti di Jakarta. Masalah pemerataan layanan kesehatan bukanlah hal yang sederhana. Untuk menyelesaikan masalah ini keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sangat diperlukan.
Bergabungnya Indonesia ke dalam program kemitraan global Changing Diabetes in Children (CDiC) pada Agustus merupakan langkah awal untuk membereskan masalah ini. Dengan misi utama untuk mencegah kematian anak akibat diabetes, Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Novo Nordisk, dan mitra global menargetkan program ini untuk menjangkau setidaknya 3.000 anak dan remaja dengan DMT1.
Melalui program kemitraan CDiC, kami mempunyai visi untuk membuat aplikasi yang akan mempunyai sistem registrasi, edukasi, rekomendasi, dan pengobatan dan monitoring. Saya yakin jika kita bisa membuat aplikasi yang komprehensif, Indonesia akan jadi negara pertama yang memiliki sistem yang tepat bagi anak- anak DMT1 dan membantu tiap aspek penanganannya.
Selain pendataan, program ini juga akan memberikan pelatihan terhadap tenaga kesehatan di sejumlah daerah sehingga ketika ada pasien yang datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD), mereka bisa terhindar dari misdiagnosis.
Aplikasi yang komprehensif dan pelatihan saja tidak cukup. Kita juga harus memastikan ada pemerataan dalam distribusi alat kesehatan dan obat-obatan untuk anak-anak dan remaja dengan DMT1. Pemerintah tentu mempunyai peran penting dalam hal ini.
Tiga hal ini juga harus didukung dengan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan DMT1 melalui media dan media sosial.
Untuk melindungi anak-anak dan remaja dari komplikasi yang disebabkan DMT1, orangtua harus bisa memahami gejala DMT1, seperti anak yang banyak makan dan minum, tetapi sering buang air kecil dan lemas, dan segera membawa anaknya untuk melakukan cek gula darah.
Harapan saya untuk DMT1 di Indonesia tidak banyak. Saya ingin anak-anak dan remaja dengan DMT1 di 514 kabupaten kota di Indonesia bisa mendapatkan pelayanan akses ke perawatan diabetes yang setara. Mari kita bersama-sama mendukung program kemitraan CDiC.
Aman B PulunganGuru Besar di FKUI-RSCM dan Executive Director International Pediatric Association