S Prasetyo Utomo dan Harapan Bentuk Estetika Sastra Mutakhir
Harapan S Prasetyo tentang obsesi konfrontasi hegemoni kekuasaan dan identitas budaya bisa jadi sudah terwujud. Visi Lian Gouw melalui Dalang Publishing adalah membangun identitas sastra Indonesia.
Oleh
RANANG AJI SP
·6 menit baca
Kompas
Didie SW
Dalam salah satu paragraf di artikelnya yang berjudul ”Lian Gouw dan Publikasi Sastra Dunia” (Kompas.id, 31/10/2011), S Prasetyo Utomo menulis: ”Dalang Publishing LLC juga berobsesi pada konfrontasi hegemoni kekuasaan dan identitas budaya. Akan tetapi, Lian Gouw belum benar-benar memilih teks sastra Indonesia mutakhir yang dicipta dengan keadiluhungan estetika.”
Dalam pernyataan kritis yang dimaksudkan sebagai masukan itu, saya melihat ada beberapa hal yang perlu diluruskan karena mengandung bias, terutama pada makna tujuan Lian Gouw dalam frasa ’terobsesi hegemoni kekuasaan dan identitas’, dan kedua, frasa ’belum benar-benar memilih teks sastra Indonesia muktahir yang dicipta dengan keadiluhungan estetika’.
Namun, sebelumnya, tentu saja artikel ini tidak secara langsung mewakili Lian Gouw yang saat ini telah berusia 84 tahun dan masih sibuk mencari jalan untuk merealisasikan impiannya, yaitu membawa sastra Indonesia pada panggung dunia. Namun, artikel ini membawa dua tafsir atas, dan terutama dua frasa di atas, dan kedua, tafsir saya atas tujuan dan visi Lian Gouw.
Dalam sebuah kesempatan yang berharga pada awal tahun 2021, saya bertemu Lian Gouw beberapa kali melalui telepon dan Zoom untuk memperbincangkan kemungkinan Dalang Publishing memberikan penghargaan sastra bagi karya-karya yang telah diterjemahkan oleh Dalang Publishing.
Saya mengusulkan itu karena berpikir penting memberikan stimulus pada sastrawan Indonesia untuk berkarya melalui visi Dalang Publishing. Hal itu juga mengingat bahwa untuk sementara ini, di Indonesia, penghargaan sastra baru ada beberapa, seperti penghargaan Cerpen Pilihan Kompas, Kusala Aastra, penghargaan Sastra Badan Bahasa, dan disusul penghargaan ’Rasa’ Ayu Utami, dan penghargaan Nongkrong[dot]co Han Gagas.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Peraih Cerpen Pilihan Kompas 2013, Budi Darma (tengah), bersama 18 nomine menerima penghargaan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (27/6/2013).
Lian Gouw, pada saat itu dengan kemurniannya sebagai seorang patriot yang nasionalis, menyatakan sepakat dengan usulan itu. Hanya saja, sastrawan ramah itu mengatakan khawatir kesulitan mewujudkan karena masalah anggaran yang dinilainya mungkin akan terlalu besar. Sementara Dalang Publishing adalah penerbitan kecil, meskipun dengan niat besar—yang selama ini hanya menggunakan dana pribadi untuk produksi.
Lian menyebut angka lebih dari 10.000 dollar AS untuk setiap produksi buku yang diterjemahkan. Dus, Dalang Publishing baru mampu menerbitkan satu buku dalam setahun sejak tahun 2009. Dalang Publishing selama ini belum sempat mendapatkan bantuan dari mana pun, bahkan dari pemerintah yang membawa amanah Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014, di mana salah satu amanah itu membawa sastra Indonesia ke panggung dunia. Maka usulan itu ditunda.
Lian menyebut angka lebih dari 10.000 dollar AS untuk setiap produksi buku yang diterjemahkan.
Apakah itu menjawab harapan S Prasetyo tentang obsesi konfrontasi hegemoni kekuasaan dan identitas budaya? Mungkin tidak. Tetapi, secara prinsip, saya bisa menjelaskan. Pertama, mengapa Dalang Publishing membatasi dirinya pada apa yang bisa dilakukan melalui visi yang mereka tetapkan saat ini. Karena tentu saja itu adalah visi yang ditetapkan sebagai bentuk rasa nasionalisme.
Kedua, karena sesungguhnya dalam sastra, tema seperti ’konfrontasi hegemoni kekuasaan’ adalah hal lazim diangkat oleh para sastrawan dunia, baik itu Barat (Eropa) maupun Timur (Rusia) sejak masa lalu. Setidaknya Jean Paul Sartre, Marxim Gorky menggunakan itu, bahkan juga dilakukan oleh Charles Dickens di masa Victoria di Inggris.
Atau lebih jauh lagi bisa kita sebut nama yang jauh lebih tua seperti Francois Rabelais (abad ke-16) dan Miquel Carventes (abad ke-17). Karya-karya mereka membangun perlawanan terhadap hegemoni pikiran-pikiran status quo di zamannya melalui parodi dan satire.
Jean-Paul Sartre, misalnya, menyatakan bahwa salah satu tujuan sastra adalah menjadi saksi bagi proses dehumanisasi yang tengah terjadi (What’s Literature, 1947). Tentu saja itu adalah bagian dari yang dimaksud sebagai perlawanan terhadap hegemoni.
Makna ’hegemoni’, misalnya, oleh Antonio Gramsci dimaksudkan sebagai upaya menguasai orang lain melalui penguasaan pikiran atau dogma untuk membedakan dengan ’dominasi’ secara makna sosiologis. Makna politisnya menjadi lebih meluas, tidak saja melibatkan lembaga kekuasaan negara, tetapi juga pada lembaga bukan negara dan antarindividu. Meskipun secara khusus, hegemoni adalah istilah yang banyak diadopsi dalam wacana pascakolonialisme dan feminisme, seperti Edward Said dan Gaytri Spivak.
DIDIE SW
Didie SW
Membangun identitas sastra
Apakah tema itu menjadi sempit atau tidak relevan dengan kondisi mutakhir? Tentu saja tidak. Visi Lian Gouw yang terumuskan pada frasa itu adalah sebuah ’sikap’ untuk membangun identitas sastra Indonesia yang pada dasarnya belum menemukan kejelasan bentuk estetika yang otentik. Padahal, semangat ’identitas diri’ mampu mendorong bentuk estetika sastra Indonesia, seperti bentuk estetika ’realisme magis’ Amerika Latin. Sebuah keadaan tertentu yang apabila bisa dicapai akan mampu mengangkat wibawa sastra Indonesia di panggung dunia.
Identitas menjadi hal signifikan apabila tujuannya adalah menuju panggung dunia. Semua ini mengingat bahwa pada dasarnya sastra Indonesia sudah ketinggalan jauh dibandingkan dengan kiblat sastranya, yaitu Barat.
Saat negara republik ini belum ada, pada tahun 1920-an sastra modern sudah mencapai puncaknya dengan lahirnya bentuk-bentuk estetika seperti karya-karya James Joyce, Virginia Woolf, Jorge Luis Borges, William Faulkner yang dikenal melalui penggunaan teknik Stream of Consciousness oleh May Sinclair (1918). Bahkan, karya James Joyce berjudul Finnagans Wake (1939) saat itu kemudian sudah dinilai sebagai sastra pascamodern. Sementara sastra dan seni Indonesia setelah merdeka pada tahun 1945 sebagian baru mengenal sastra modern.
Sastra dan seni Indonesia setelah merdeka pada tahun 1945 sebagian baru mengenal sastra modern.
Pada tahun 1967, John Barth, sastrawan pascamodern Amerika, menulis esai berjudul Literature of Exhaustion yang mengeluhkan semua bentuk estetika sastra yang baik sudah ada, sudah ditemukan hingga membuat sastra mengalami kelelahan mencari bentuk estetika. Barth mengungkapkan kemasygulannya sekaligus kekagumannya atas semua bentuk tulisan Jorge Luis Borges.
Sastra mutakhir Indonesia saat ini (2000-an) bahkan baru mengalami euforia bentuk (estetika) sastra pascamodern dengan penggunaan teknik seperti pastiche, intertekstual, metafiksi, mitos, fantasi. Sebuah situasi yang sudah terjadi di sastra Barat ketika republik ini tengah berdiri.
Bahkan, model teknik metafiksi, yaitu sebuah bentuk fiksi yang melibatkan kesadaran pembaca bahwa apa yang dibaca adalah fiksi, sudah digunakan oleh Miguel de Cerventes melalui Don Quixote (1605) hingga John Barth pada tahun 1968 seperti karyanya, Lost in the Funhouse. James Joyce melalui Fannegans Wake menggunakan teknik pastiche dan Italo Calvino menggunakan pelbagai campuran dalam konteks sastra pascamodern, salah satunya Cosmicomics (1965).
Model sastra pasca modern ini dinilai oleh para akademisi dan kritikus sastra seperti Ihab Hassan, Gerald Graff, dan Fredic Jameson sebagai bentuk yang buruk dan hampa makna, kecuali beberapa karya seperti karya Italo Calvino dan John Barth sendiri, seperti dikutip Barth dalam esainya, Literature of Replenishment (1980).
Maka, demikianlah keadaannya, dan tentu saja harapan S Prasetyo Utomo agar Lian Gouw melalui Dalang Publishing ’memilih' teks sastra Indonesia mutakhir yang dicipta dengan ’keadiluhungan estetika’ mungkin terjawab (mungkin tidak), untuk tidak mengatakan membatalkan premis tersebut dengan argumen di atas. Karena tentu saja, Dalang Publishing, pertama, punya visi sendiri, kedua, apa yang disebut ’obsesi’ seperti di atas justru bisa menjadi jalan para sastrawan Indonesia memiliki tujuan yang jelas, dan berimplikasi pada lahirnya bentuk estetika sastra Indonesia yang otentik, dan mungkin adiluhung.