Ingat Idrus, Oh……Oh……Oh……!
Sengkarut sosial-politik zaman sekarang terlihat dalam hampir semua karya Idrus yang ditulis lebih kurang setengah abad lalu. Idrus berkisah tentang saling tikam, adu domba di kalangan penguasa ataupun rakyat biasa.
Sukabumi kota dingin. Tetapi, hari itu orang-orang hampir mati kepanasan. Mereka berdesakan di depan loket karcis kereta api. Yang tidak sabar memilih keluar antrean dan membeli dari belakang dengan membayar lebih.
Orang-orang dalam barisan memandang kesal anak muda kurus yang batuk-batuk. Ia meludah dan keluarlah cairan seperti susu kental bercampur warna merah menyerupai bendera Nippon. Lalat-lalat hitam segera menyerbu dahak yang jatuh bak manusia mengerubuti pisang goreng yang baru matang.
Suasana yang tak elok tersebut menjadi pembuka cerpen berjudul ”Oh……Oh……Oh……!” karya Idrus. Berlatar zaman pendudukan Jepang, cerpen-cerpen Idrus sinis, satiris, ironis, dan kadang diselingi humor gelap. Pelopor sastra prosa Indonesia modern angkatan 1945 ini menampilkan pengalaman keseharian rakyat jelata yang getir.
HB Jassin berpendapat, Idrus dan Chairil Anwar adalah pengarang-pengarang yang dilahirkan oleh zaman Jepang sekaligus pembaru prosa dan puisi Indonesia. Di mata kritikus kenamaan itu, Idrus mulai bosan dengan gaya romantik pada tulisan-tulisan sebelumnya, semisal cerpen ”Ave Maria”. Idrus mengambil jalan lain dan tiba pada ”kesederhanaan baru” untuk memotret kehidupan sehari-hari dengan teropong realistis humoristis (Jassin, 1978).
Baca juga : Pena Kedalaman Berpikir Sastrawan Budi Darma
Cerpen ”Oh……Oh……Oh……!” menggulirkan sebuah karikatur tentang kemiskinan fisik dan mental manusia. Begitu kereta api berangkat meninggalkan Stasiun Sukabumi, pelbagai insiden yang tidak sedap terjadi di gerbong kereta. Penumpang berkarcis mahal duduk tenang-tenang, sementara yang lain berjejalan di kelas tiga dan empat dengan bermacam persoalan. Kondektur marah-marah menagih ongkos para penumpang gelap.
Tiba di stasiun kecil, lima pemuda keibodan (barisan pembantu polisi) naik, memeriksa penumpang yang kedapatan membawa beras, merampasnya, dan turun lagi. Lalu, beras rampasan dibagi rata kelima pembantu polisi Jepang tadi.
Anak muda berkaki satu naik dari tangga kereta api hendak mengemis di Jakarta. Seorang perempuan belia terlihat bungkuk karena sekantong beras disembunyikan di balik pakaiannya. Agen polisi datang membujuk perempuan itu untuk menuang kantong berisi 5 liter beras ke dalam kantong beras milik sang agen agar aman dari rampasan keibodan.
Kereta melaju cepat menuju Bogor. Tangan pemuda berkaki sebelah tak kuat menahan pegangannya. Pengemis buntung itu pun tewas terpental. Kereta berhenti sebentar, mencatat kejadian itu, lalu berjalan lagi.
Di stasiun kecil berikutnya kondektur turun menemui seorang makelar aneka dagangan. Setelah menerima komisi penjualan batu akik, si kondektur cepat-cepat naik membawa salep penisilin yang bakal laris di Jakarta. Pemuda-pemuda ibu kota mulai terjangkiti penyakit kelamin. Kereta tiba di Stasiun Gambir. Seorang perempuan muda menangis tersedu-sedu di dekat pagar stasiun. Agen polisi yang mengamankan 5 liter berasnya tak terlihat lagi batang hidungnya.
Gaya penulisan Idrus yang terbuka dan blak-blakan membuat pembaca ikut geram atas ketidakadilan dan absurditas yang dialami tokoh-tokoh cerpennya.
Cerpen di atas berada dalam Corat-Coret di Bawah Tanah yang menghimpun kisah-kisah pedih semasa pendudukan Jepang. Kemelaratan dan kebiadaban saling berpelukan. Gaya penulisan Idrus yang terbuka dan blak-blakan membuat pembaca ikut geram atas ketidakadilan dan absurditas yang dialami tokoh-tokoh cerpennya. Ditulis pada usia dua puluhan, realisme Corat-Coret di Bawah Tanah memperlihatkan kematangan pengamatan pengarangnya ketika melontarkan otokritik atas perjalanan bangsa sendiri yang tergadai oleh penjajahan bangsa lain.
Tahun ini, tepatnya 22 September yang lalu, (Abdullah) Idrus genap berusia 100 tahun. Program Bahasa Indonesia di Australian National University (ANU) menyelenggarakan serangkaian acara untuk memperingati seabad kelahiran penulis yang lahir dan wafat di Padang, Sumatra Barat, setelah menetap di Australia sejak 1965.
Bekerja sama dengan KBRI Canberra dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Profesor I Wayan Arka menggagas acara ini. Direktur Program Bahasa Indonesia ANU ini bertemu dengan putra kedua Idrus, Rick (Slamet Riyadi), yang sama-sama tinggal di Canberra. Hari Indonesia 2021 diisi oleh webinar, lomba prosa, serta peluncuran Warung Pojok Bahasa dan Sastra Indonesia online.
Baca juga : Revitalisasi Bahasa Indonesia
Idrus Prize diberikan setiap tahun pada kompetisi menulis/membaca prosa internasional bagi pelajar Indonesia. Bukan tanpa alasan jika Hari Indonesia 2021 dibuka pada 28 Oktober 2021. Idrus menggoreskan penanya dalam bahasa Indonesia yang kelak dipakai sebagai bahasa pemersatu ratusan juta pemakai yang berlatar budaya dan bahasa daerah yang berbeda. Di balik kepahitan Idrus karena rencana studi dan kariernya terjegal oleh kedatangan Jepang, pelarangan penggunaan bahasa Belanda sebagai medium komunikasi dan edukasi pada zaman itu justru memperkuat kedudukan bahasa persatuan Indonesia (Cove, 2015).
Webinar bertajuk ”Idrus, Bahasa Sastra dan Pengajaran Bahasa Indonesia” ini menghadirkan Rick Idrus dan akademisi dari Indonesia dan Australia. Rick berbagi cerita tentang kenangan bersama sang ayah. Sekalipun fasih dan terbuka pada bahasa dan budaya asing, Idrus tetap mencintai budaya Minangkabau yang berpengaruh pada caranya berkisah. Bahasa yang lugas, terus-terang, dan tajam ini dipakai pula oleh Chairil Anwar, dan kedua sastrawan seangkatan itu, kata Rick, saling bertukar pengaruh.
Gaya bahasa Idrus dibahas selanjutnya oleh I Nyoman Darmaputra. Ketajaman pena Idrus, menurut Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Udayana, ini gayut dengan tema kezaliman penguasa, kebodohan komunal, kebohongan, dan perkara suram lainnya yang disampaikan Idrus secara gamblang. Guru Besar Emeritus ANU George Quinn menyorot pemakaian alegori yang berkanjang dalam karya sastra Indonesia modern, termasuk metafora yang secara mencolok dipakai oleh Idrus untuk mempertajam makna.
Idrus yang menolak berpihak pada ideologi apa pun berkisah tentang revolusi dengan cara yang tidak membuat nyaman penguasa dan lawannya, termasuk rakyat kecil. Tetapi, ia berbicara apa adanya: revolusi yang sedianya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan itu kadang justru menjadi kedok terjadinya kebatilan.
Dalam cerpen ”Jawa Baru”, misalnya, rakyat kekurangan beras. ”Tokyo letaknya di utara, …, tapi jika Tokyo memerlukan beras, menjadi dekat sekali kepada pulau Jawa,” tulis Idrus. Di Jawa baru ini rakyat mendapat seperlima liter beras, sementara orang-orang Jepang 5 liter per hari. Jurnalis memberitakan tentang kemakmuran bersama. Pemerintah Nippon diberitakan merasa terharu atas kesabaran dan ketulusan seluruh rakyat Pulau Jawa.
Main mata antara media dan penguasa juga terlihat pada cerpen Idrus yang ditulis dalam bahasa Melayu ”Riwayat Jatohnya Saorang Walikota”.
Main mata antara media dan penguasa juga terlihat pada cerpen Idrus yang ditulis dalam bahasa Melayu ”Riwayat Jatohnya Saorang Walikota”. Seorang wanita Inggris di sebuah kota kecil yang aman ditikam di siang hari bolong. Berita ini diputarbalik dan direkayasa berkali-kali sesuai perkembangan keadaan oleh dua surat kabar yang dikuasai partai-partai yang bersaing.
Perang berita tentang siapa dan mengapa penikaman terjadi terus berlangsung seru, sementara Nyonya Inggris meregang nyawa. Kematiannya bukan karena tikaman kata dokter yang merawatnya. Jalan-jalan yang tidak rata menghambat perjalanan pasien sehingga kehabisan darah. Dianggap tidak becus menangani peristiwa ini, partai-partai sepakat memilih walikota baru yang kebetulan dokter yang merawat Nyonya Inggris. Si penikam tetap tidak diketemukan, tetapi rakyat berhasil diyakinkan. Kota kecil akan kembali aman dan dijamin tak ada lagi nyonya-nyonya Inggris yang dibunuh di jalan-jalan yang akan diperbaiki. Sebuah humor hitam khas Idrus.
Sengkarut sosial-politik zaman sekarang terlihat dalam hampir semua karya Idrus yang ditulis kurang lebih setengah abad yang lalu. Fitnah, gosip, dan berita bohong bukan hal baru. Idrus berkisah tentang saling tikam, adu domba, tuding-menuding baik di kalangan penguasa maupun rakyat biasa.
Baca juga : Mengenang Geger Pecinan dan Pesan Persatuan…
Pandemi Covid-19 mulai beringsut. Sedikit terlambat untuk Indonesia yang di mata dunia lebih demokratis dan makmur ketimbang beberapa negara Asia Tenggara yang sudah lebih dulu melewati pandemi. Jika benar konservatisme agama, polarisasi religiopolitik, korupsi, dan klientelisme menjadi beberapa faktor penyebab penanganan pandemi kurang efektif (Mieztner, 2020), populisme dan anti-demokrasi akan bersorak gembira.
Pada titik inilah tulisan Idrus menemukan relevansinya. Cerpen “Jawa Baru” ditutup demikian: Kehidupan susah di Jakarta, di Surabaya, di Plered, di seluruh pulau Jawa. Semua orang menengadahkan tangan ke langit, minta rezeki dari Tuhan yang maha kuasa, seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga…Tuhankah yang salah?
Beras langka dan Idrus heran mengapa Tuhan disalahkan. Melihat zaman sekarang Idrus mungkin bertanya, ”Ini salah Tuhan juga?” Pandemi belum tuntas. Protokol kesehatan mulai diabaikan; bancaan bisnis alat kesehatan dan obat-obatan pelan-pelan mereda; baliho calon pemimpin mulai bermunculan. Oh……, oh……, oh……!
Novita Dewi, Guru Besar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta