Ruang Semesta sebagai Laboratorium dan Arah Evolusi Kemanusiaan
Setiap bagian dari langit ditemui dua buah unsur penting dalam keseimbangan penentuan arah evolusi. Satu di antara yang mutlak harus diperhatikan ialah keseimbangan dinamika dan pembentukan energi.
Obyek astronomi terentang dalam jarak yang berjauhan sehingga cahaya dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik memerlukan waktu puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu tahun atau lebih untuk mencapai detector cahaya di Bumi. Itulah yang diunggah oleh para pencari kebenaran di langit sejalan dengan penegakan disiplin ilmu pengetahuan yang menghendaki bukti, data kebenaran.
Dari pengamatan itu timbul anggapan kesemestaan dan lahir sebuah hipotesis bahwa distribusi materi di alam semesta sama di mana-mana. Astronomi mengadopsi bahwa distribusi materi merata dan teratur di semua penjuru arah alam semesta.
Salah satu hasil yang terpenting dalam abad pasca-revolusinya Kopernikus (abad ke-15 dan ke-16) ialah perubahan zat dalam alam semesta disebabkan oleh evolusi. Pencatatan lainnya ialah Matahari, sebagai bintang dikitari oleh beberapa buah planet, yang membentuk tata surya kita. Bentuk dan wujud lain tata surya belum dikenal. Begitu pula terjadinya tata surya seolah-olah merupakan unik, tiada lain. Namun, tatkala orang mencari ”bumi” lain yang berpenghidupan, timbul kesulitan menerangkan terjadinya tata surya lain, selain kepunyaan kita sendiri.
Baca juga : Empat ”Bumi Baru” Paling Menjanjikan di Tata Surya
Telaah alam semesta baru, yang mempelajari 1,3 juta quasar, yakni ”black holes” supra berat, yang diselimuti oleh materi bercahaya menunjukkan hasil lain. Hasil tersebut memperlihatkan materi tidak terdistribusikan secara simetri.
Pada zaman Kopernikus (abad ke-15 dan ke-16) tatkala lahir pengertian evolusi pun terjadi dalam jagat raya, yakni perubahan yang membentuk aneka ragam jasad langit. Evolusi itulah, yang menciptakan perubahan, yang membuat penampakan jasad berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Tatkala lahir pengertian evolusi alam raya, kosmogoni (cabang ilmu astronomi yang menerangkan sangkan paraning dumadi planet, ”anak-anak” Matahari) telah menjadi bagian keilmuan yang hidup di sela-sela cabang ilmu bintang yang lain, seolah sudah mapan.
Penemuan terbaru (tahun 2020) memang tidak akan mengubah pengertian evolusi yang berlangsung dalam alam semesta, tetapi diperlukan pengertian baru untuk meninjau makna ”Letusan Besar” (Big Bang), terutama kapan terjadi letusan dahsyat itu dan apa yang terjadi setelah itu. Telah lama dikenal bahwa letusan besar adalah awal terjadinya alam semesta.
Kosmogoni telah hidup lebih lama sebagai cabang ilmu astronomi yang hendak menyajikan awal terjadinya benda angkasa, termasuk planet. Pengertian ”permulaan” pada kosmogoni tidak pernah mencapai arti yang absolut, karena jangka waktu yang sangat terbatas untuk menelusur kembali seluruh kejadian yang pernah berlaku.
Karena itu, arti ”permulaan” dalam kosmogoni selalu mempunyai pengertian relatif, dalam arti, setiap keadaan yang dianggap sebagai tanda awal yang memadai dan sederhana untuk dapat dihubungkan dengan kejadian dan peristiwa yang pada waktu ini masih berlaku. Logika menerangkan peristiwa fisik yang dirunut. Boleh dikatakan kosmogoni di masa lampau kadang kala terlalu spekulatif karena lebih mudah menerangkan kejadian terbentuknya struktur dalam jagat raya.
Baca juga : Saat Bintang-bintang Seukuran Matahari Memakan Planetnya
Pengamatan menunjukkan bahwa setiap bagian dari langit ditemui dua buah unsur penting dalam keseimbangan penentuan arah evolusi. Satu di antara yang mutlak harus diperhatikan ialah keseimbangan dinamika dan pembentukan energi.
Dalam wilayah pemikiran, di mana terdapat model untuk membentuk wajah kosmos kini terhampar data yang jauh lebih luas dan mendetail daripada sebelumnya. Contoh yang sangat mudah dilihat ialah mulai dengan lapisan atmosfer bumi kita, yang dapat ditempuh dengan kecepatan cahaya dalam seperatus sekon itu, sampai kepada tatanan galaksi yang terjauh yang dapat diamati di pinggir alam semesta tampak.
Perubahan selalu terjadi dan terdapat petunjuk bahwa distribusi materi tidak simetri, yang mengagetkan ialah materi itu tidak terdistribusikan secara merata. Padahal, kemerataan jumlah materi itu telah dipergunakan untuk menerangkan kejadian dalam semesta secara evolusioner.
Di antara batas meraksasa, menurut pengalaman hidup keseharian manusia, didapati di alam semesta gundukan materi yang ekstrem pula. Bahkan, ada di ruang antar bintang wilayah dengan tekanan yang lebih rendah daripada ruang hampa yang sampai sekarang dapat dibuat di bumi; juga didapati materi dengan suhu yang hampir mendekati titik nol absolut.
Pengelompokan
Di dalam rengkuhan bintang yang padat, orang mendapatkan tekanan materi itu hampir 1.000 kali lebih mampat daripada tekanan materi zat yang terdapat di bumi. Di dalam bintang yang panas, orang mendapatkan temperatur yang belum pernah dihasilkan dalam laboratoria di bumi walau dengan aksi termonuklir sekalipun.
Dalam keadaan itulah seorang astronom harus bekerja memikirkan bagaimana kelakuan materi yang ada di Bumi. Di medan penyelidikan yang luas membentang itulah terdapat bintang-bintang dengan aneka ragam identitas dan ukuran serta ragam besar, massa, dan aneka susunan kimiawinya.
Dalam keadaan itulah seorang astronom harus bekerja memikirkan bagaimana kelakuan materi yang ada di Bumi.
Seperti halnya serba hidup di permukaan Bumi, tetumbuhan dan aneka hewani yang ada di bumi, bahkan semua serba hidup, dapat digolongkan ke dalam spesies, ke dalam familie. Begitu pula dengan perwujudan dan renik bintang-planet, yang bertebaran dalam ruang angkasa dapat dikelompokkan ke dalam kelas organisasi dan strukturnya.
Mengelompokkan memang sebuah pekerjaan yang tidak terlalu sulit dikerjakan, tetapi menerangkan dengan cermat kelakuan dan sifat materi yang terimpit tekanan dan suhu yang ekstrem, dalam evolusinya, benar merupakan pekerjaan yang sulit. Apalagi tidak bisa diverifikasi dalam sebuah laboratorium jodyana.
Dengan bantuan berbagai ukuran teropongnya, dengan batas kemampuan yang berbeda dan kekhasannya, para penyelidik alam semesta harus menjelajahi pelosok langit dan meneliti, serta menggolongkan ”fosil-fosil langit” ke dalam kelasnya masing-masing, untuk memperoleh pengertian bulat tentang hukum angkasa dan susunan berbagai varietas tadi. Pengamatan itu mencoba mencari keadaan yang mungkin dapat dianggap sebagai pangkal dari segala yang teramati atau yang terbentang di alam semesta dan, yang terpenting, mencoba mengerti bagaimana masa depan sejarah materi yang tersebar di seluruh pelosok dan di sudut langit.
Sementara itu, pekerjaan yang tidak kurang berat dan memerlukan ketekunan ialah mencari dan mengerti proses alami yang sedang berlaku di depan matanya. Perkataan ”sedang” di sini mengandung konsep selang waktu, kala, yang panjang terentang karena peristiwa mutasi dan transmutasi elemen materi dan langit sebenarnya adalah proses-proses kosmos berlanggam lambat memerlukan waktu ribuan sampai milyunan tahun dari satu fase keadaan ke fase sesudahnya.
Foton, sinar dari kabut Andromeda yang mencapai retina mata pada suatu saat, bukanlah berkas cahaya yang terbentuk dan menerpa retina kala itu, tetapi pencerminan kejadian 150 juta yang lalu tatkala sinar itu mulai meninggalkan atau baru terbentuk di Andromeda (150 juta adalah jarak Andromeda dengan Bumi). Foton dari kabut pilin itu adalah sidik jari dari peristiwa 150 juta tahun sebelumnya ketika foton meninggalkan kabut itu, telah mengembara dalam kosmos sepanjang 150 juta tahun.
Foton dari kabut pilin itu adalah sidik jari dari peristiwa 150 juta tahun sebelumnya ketika foton meninggalkan kabut itu, telah mengembara dalam kosmos sepanjang 150 juta tahun.
Begitu pula dari bagian lain alam semesta, para astronom memperoleh gambaran dari kejadian-kejadian yang berbeda-beda waktunya, tetapi mereka dapat dikatakan seolah-olah melihat deretan ”slides” dari pemandangan jagat di masa silam dalam berbagai episode. Kewajiban para astronom, yang dalam batas pengertian tertentu, dapat dianggap sebagai kaum evolutionist, untuk menyusun ”slides” menjadi film sinematografi yang hidup dalam kekinian dan berkesinambungan sempurna. Pada saat ini, walaupun kemajuan telah banyak dicapai, film itu belum sempurna, dalam arti, banyak hal yang masih bersifat ensiklopedis.
Pada permulaan artikel ini telah disebutkan bahwa salah satu hasil yang terpenting dalam astronomi ialah pertumbuhan pengertian tentang ”pertumbuhan” yang dapat diartikan bahwa sebenarnya evolusi dalam kosmos itu ada, tetapi para ahli belum dapat merangkai semua fase dan menyatukan seluruh proses menjadi satu pengertian utuh dalam satu bingkai gambar evolusioner. Hal seperti ini terjadi juga tatkala para ahli kehidupan memperdebatkan evolusi spesies di Bumi kita.
Baca juga : Galaksi Pusaran Air nan Menawan
Banyak hal dapat diterangkan, tetapi pendapat dan wawasan astronom evolusioner dapat dikatakan sebagai wawasan paleontolog yang memberi warna menentukan untuk peristiwa di Bumi. Kerja sama antardisiplin (ahli materi adi, partikel elementer, serta pertukaran tenaga dan massa) diperlukan untuk menyoroti suatu penemuan agar letaknya di dalam bagan evolusi menjadi unik. Dewasa ini banyak exoplanet, planet di luar tata surya kita, menambah kekayaan masalah dan, seharusnya, membantu menggugah semangat untuk mempertautkan ide pembentukan planet dengan serba kehidupan.
Sebenarnya telah berkali-kali astronomi menghadapi fase kritik ketika penyelidikan itu mulai berlangsung. Kita ingat kepada periode akhir abad gelap di Eropa, zaman Kopernikus-Kepler-Newton, yang pertama kali menyatukan elemen fundamental, dan hukum gravitasi dalam keilmuan serba benda. Daripadanya astronomi memperoleh landasan kuat untuk beranjak dan melepaskan dirinya dari konsep lama yang mengungkung.
Bambang Hidayat, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia