Voltaire, Zadig dan Hikayat Kebijaksanaan
Secara keseluruhan, Zadig ou la Destinee adalah sebuah hikayat yang memikat dengan kisah-kisah singkat, namun menjerat. Ide cerita yang sederhana membuatnya mudah diikuti, namun sarat pesan-pesan filosofis.
Pada umumnya hikayat dimaknai sebagai cerita untuk mengundang semangat atau sekadar mengusir rasa penat. Tak mengherankan jika kamus serba tahu, Kamus Besar Bahasa Indonesia membatasi lingkup hikayat dengan karya sastra Melayu lama yang berwujud prosa dan berfungsi untuk melipur lara, membangkitkan semangat juang, atau sekadar memeriahkan suasana pesta.
Akan tetapi, ada yang berbeda dari hikayat yang disajikan oleh ahli filsafat cum sastrawan kenamaan Perancis, Francois Marie Arouet, atau yang biasa disapa Voltaire. Ia menghadirkan sebuah hikayat yang melampaui batas-batas dari hikayat itu sendiri.
Sebuah hikayat yang tak sekadar melipur lara, tetapi memeluk erat luka lalu menerimanya. Sebuah hikayat yang tak hanya membangkitkan semangat, bahkan mengembarakan jauh semangat itu menuju sesuatu yang disebut kebahagiaan. Sebuah hikayat yang tak cuma memeriahkan suasana pesta, sebab ia lebih ingin bercerita tentang mengapa semua ini ada.
Hikayat itu berjudul Zadig ou la Destinee yang telah diterjemahkan ke dalam versi Indonesia dengan judul Suratan Takdir.
Pengembaraan Zadig Mencari Kebahagiaan
Zadig ou la Destinee merupakan hikayat pertama Voltaire yang berhasil melambungkan namanya pada tahun 1747. Sejak saat itulah Voltaire menemui popularitasnya, hingga pada tahun 1960 di antara hikayatnya yang berjudul Candide ou I’Optimisme berhasil difilmkan.
Kemudian Zadig beralih mencari kebahagiaan dengan cara lain, mempelajari buku besar yang telah dibentangkan lebar-lebar di depan matanya, yaitu alam.
Sebenarnya, sebelum Zadig ou la Destinee Voltaire sempat menulis hikayat yang berjudul Le Voyage du Baron de Gaugan pada tahun 1739. Sayangnya naskah hikayat tersebut hilang tanpa jejak gegara tidak diterbitkan. Bisa saja Voyage du Baron de Gaugan lebih populer daripada Zadig ou la Destinee jika diterbitkan, namun—sebagaimana judulnya—hal itu sudah menjadi ’suratan takdir’ bagi Zadig maupun Voltaire.
Hikayat Zadig ou la Destinee berkisah tentang seorang pemuda kaya, saleh, pintar, dermawan, sekaligus tampan pada zaman Raja Moabdar di Babylonia yang melakukan pengembaraan dari satu tempat menuju tempat yang lain untuk merenungi filsafat hidup atau menemui hakikat dari kebahagiaan.
Pengembaraan itu bermula dari kegagalannya dalam urusan percintaan sebanyak dua kali. Pil pahit pernikahan pertama dengan seorang gadis yang bernama Samira, harus ditelan Zadig karena Samira memutuskan untuk meninggalkannya gegara matanya yang cacat, meskipun faktanya adalah Zadig mengorbakan matanya demi menyelamatkan Samira.
Garis takdir pernikahan kedua juga tak tak kalah tragis. Zadig menikah dengan Azora yang ternyata hendak memotong hidung suaminya sendiri, lalu seolah ujungnya sudah bisa ditebak, perpisahan.
Awalnya, Zadig mengira akan hidup berbahagia sebab ia sangat kaya dan berakhlak mulia sebagaimana dalam kutipan berikut ini,
”Zadig kaya sekali, oleh karena itu temannya banyak. Mengingat bahwa dia sehat, ramah, cara berpikirnya adil dan tidak memihak, hatinya tulus dan agung, dia merasa bahwa dapat berbahagia.” (hlm 13)
Baca juga : Satire Don Quijote
Zadig adalah role model lelaki sempurna, tanpa cela. Kaya raya, tampan memesona, dan berpola pikir bijaksana. Seolah Zadig akan memperoleh kebahagiaan dengan mudah, namun kenyataannya itu belum cukup untuk mendapatkan cinta dari Samira maupun Azora.
Kemudian Zadig beralih mencari kebahagiaan dengan cara lain, mempelajari buku besar yang telah dibentangkan lebar-lebar di depan matanya, yaitu alam. Lagi-lagi Zadig menemui kesialan gara-gara ketajaman renungannya dalam memaknai alam, seperti yang termaktub dalam kutipan berikut, ”Zadig melihat betapa berbahaya menjadi orang yang terlalu pintar…. Betapa sulitnya mencari kebahagiaan di dalam hidup ini.” (hlm 29).
Kepintaran Zadig mengundang banyak pendengki, hingga ia harus menghadapi hukuman mati dari Raja karena fitnah keji pendengki. Ajaibnya, Zadig bisa selamat dari hukuman mati sebab burung beo yang dimiliki Raja. Terbongkarlah sikap hina pendengki dan sikap mulia Zadig yang membuat Raja semakin menghormati Zadig.
Saat itulah Zadig mulai merasa tidak lagi sulit menemui kebahagiaan, padahal kebaikan Raja itu juga yang kembali menyeret Zadig ke dalam kubangan penderitaan. Zadig kembali berkelindan dengan kemalangan dan kesenangan, begitu seterusnya lewat kisah-kisah singkat cum sederhana yang terus mengikat rasa penaran untuk terus melanjutkannya. Hingga akhirnya, Zadig menyampaikan pertanyaan pamungkasnya: Mengapa harus ada kemalangan dan kesenangan dalam kehidupan?
Teodicea Leibniz dan Voltaire yang menolak fanatisme
Satu hal yang memang menarik sejak awal dari hikayat Zadig ou la Destinee, yaitu rangkaian gagasan filsafat dalam alur ceritanya. Mulai dari sindiran Voltaire terhadap para ’musuhnya’ yang menyelaraskan cara hidup dengan kesehatan secara berlebihan, hingga gagasan Gottfried Wilhelm Leibniz tentang Teodicea.
Di bagian menjelang akhir cerita, Zadig bertemu dengan sekelompok wanita yang sedang mencari kadal yang menurut pengakuan salah satu di antara mereka, kadal itu digunakan untuk menyembuhkan sakit yang diderita majikan mereka. Wanita itu juga menambahkan bahwa anjuran itu diperoleh dari dokter yang sangat dipercaya oleh majikannya.
Kadal itu sangat langka dan hanya bisa ditangkap oleh tangan seorang wanita. Mendengar hal yang sangat tidak masuk akal tersebut, Zadig memutuskan untuk menemui majikan para wanita itu untuk menariknya dari jalan yang ’sesat’ dengan meminta imbalan berupa pembebasan salah satu budak perempuan si majikan sebagaimana dalam kutipan berikut ini, ”Ketahuilah bahwa kadal yang Tuan cari-cari itu tidak ada di dunia ini dan bahwa kita dapat menjaga kesehatan dengan hidup bersahaja dan latihan olahraga. Ilmu yang menyelaraskan cara hidup yang berlebihan dengan kesehatan adalah ilmu yang sama konyolnya dengan percobaan untuk membuat batu-batuan dari bahan kimia.” (hlm 149).
Ungkapan Zadig di atas merepresentasikan sudut pandang Voltaire yang menjunjung tinggi rasionalisme dalam masalah teologi. Seperti yang diungkapkan William Sweet (2004) dalam The Philosophy of History: A Re-Examination bahwa Voltaire memandang proses pembuka kemajuan sejarah adalah peralihan dari takhayul ke akal.
Percaya dengan kadal yang direbus dengan air mawar akan menyembuhkan penyakit adalah suatu hal yang sangat konyol bagi penganut rasionalisme, sebab kesehatan diperoleh dengan cara hidup bersahaja dan olahraga yang cukup.
Sementara pada bagian kisah yang lain, Voltaire tampak juga sependapat dengan gagasan Gottfried Wilhelm Leibniz dalam masalah nasib manusia. Leibniz (1873) dalam Discourse on Metaphysics Correspondence with Arnauld and Monadology menyebutkan bahwa Tuhan mengatur kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Leibniz menyebutnya dengan istilah Teodicea yang berarti pembenaran Tuhan.
Kemalangan dibutuhkan oleh manusia untuk melahirkan kebaikan-kebaikan yang baru.
Keberadaan baik dan buruk adalah bukti kesempurnaan Tuhan, sebagaimana dalam kutipan berikut ini, ”’Wah’ kata Zadig, ’Jadi kejahatan dan kemalangan itu rupanya diperlukan, dan kemalangan itu menimpa orang-orang baik!’
’Orang-orang jahat tidak pernah berbahagia. Mereka gunanya untuk menguji sejumlah kecil orang baik yang tersebar di atas bumi, dan tidak ada keburukan yang tidak melahirkan kebaikan’.” (hlm 171-172)
Pada akhirnya, Zadig harus memahami bahwa kemalangan dan kesenangan adalah dua sisi tak terpisahkan yang menjadi suratan takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dugaan manusia tentang kemalangan sebagai sesuatu yang buruk adalah keliru, sebab kemalangan yang dialami manusia hanyalah bagian yang terkecil dari keseluruhan takdir. Kemalangan dibutuhkan oleh manusia untuk melahirkan kebaikan-kebaikan yang baru. Begitu juga penderitaan-penderitaan yang didera Zadig. Lalu, akankah Zadig menemui hakikat kebahagiaan di ujung ceritanya?
Sebuah kekurangan ringan
Secara keseluruhan, Zadig ou la Destinee adalah sebuah hikayat yang memikat dengan kisah-kisah singkat, tetapi menjerat. Ide cerita yang sederhana membuatnya mudah diikuti, namun pesan-pesan filosofis di dalamnya lah yang memaksa untuk dibolak-balik berkali-kali.
Sebagai bahan bacaan yang singkat dan padat, agaknya kesalahan-kesalahan ketik tidak perlu terjadi. Sayangnya itu masih kerap terjadi beberapa kali, seperti kata [mempelari] yang seharusnya [mempelajari] atau dengan ’lebih’ baku menjadi [memelajari] pada halaman 23; lalu kata [rnereka] yang seharusnya [mereka] pada halaman 36; kemudian kata [tabu] yang seharusnya [tahu] pada halaman 38; juga kata [lehih] yang seharusnya [lebih] pada halaman 80; dan terakhir kata [kamhing] yang seharusnya [kambing] pada halaman 24.
Akhir kata, ini hanya kekurangan ringan yang mudah saja tertutupi dengan kandungan cerita serta pesan filsafat yang menawan tentang ketuhanan.
(Akhmad Idris, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya)
Data Buku
Judul: Suratan Takdir (Terjemahan dari Zadig ou la Destinee)
Penulis: Voltaire
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
Cetakan: Maret 2021
Tebal : 186 halaman
ISBN: 978-623-94812-6-1