Efek sosial budaya akibat pandemi Covid-19 membawa perubahan signifikan pada pola konsumsi, produksi, serta penjualan narkotika. Terjadi pergeseran pola konsumsi dan produksi, digitalisasi narkotika pun kian marak.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·4 menit baca
Gencarnya kampanye perang terhadap narkoba (war on drugs) yang diinisiasi Amerika Serikat sejak era 1980-an mengakibatkan perubahan signifikan pada peredaran narkotika di seluruh dunia. Kampanye yang didasari premis klasik: ”hancurkan pusat produksi, putuskan rantai suplai, maka peredaran narkotika akan menurun” (Suddath, 2009) tersebut ternyata ternyata justru berefek sebaliknya.
Contohnya, ladang ganja Kolombia yang dimusnahkan ternyata direlokasi ke Peru dan Bolivia, lengkap dengan fasilitas laboratorium dan para pekerjanya (The Economist, 2011). Di wilayah Amerika Latin, fenomena tersebut dilabeli sebagai ”efek kecoa”: jika Anda menyemprotkan insektisida pada satu dinding rumah, kecoa-kecoa di tempat tersebut mayoritas akan mati, tetapi akan muncul kemudian pada dinding lainnya (Mora, 1996).
Mengkuti perkembangan zaman, ”efek kecoa” pun bermutasi menjadi digitalisasi metode distribusi narkotika serta diversifikasi cara pembuatan dan kandungan prekursor narkotika. Tren ini ditandai dengan masifnya penggunaan situs gelap (darknet), transaksi terjadi di pasar cryptomarket dengan menggunakan aplikasi digital terenkripsi serta fragmentasi basis produksi dan distribusi (EMDCCA, 2019).
Merunut sejarah, transaksi digital narkotika telah bermula pada 1970-an ketika sekelompok mahasiswa Universitas Stanford bertukar mariyuana dengan koleganya di Massachuset Institute of Technology via Arpanet (Martin, 2014). Mulanya ini hanya berbentuk forum-forum mailing list pada surface web berupa jaringan yang tak terenkripsi dan dapat diakses lewat mesin pencari tradisional, seperti Google.
Akibat sering digerebek oleh aparat hukum di Eropa dan AS, forum-forum tersebut bermutasi menjadi dark/deep web yang belum terenskripsi, tetapi bisa diakses via alamat URL spesifik (Dragut, Meng Yu, 2012). Dipicu kehadiran aplikasi ilegal The Onion Router (TOR) dan Bitcoin pada paruh akhir 2009, jaringan kriminal tersebut semakin berkembang menjadi darknet.
Darknet adalah sebuah infrastruktur jaringan terenkripsi yang hanya dapat diakses melalui aplikasi khusus yang tak tersedia pada layanan distribusi umum, seperti Google Play, serta menggunakan metode pembayaran cryptocurrency (Mansfield, 2010). Aplikasi TOR menyediakan layanan pesan elektronik anonim melalui situs web terenkripsi dengan keamanan berlapis (mirip lapisan bawang/onion) sehingga para pengguna tak dapat mengetahui alamat IP Address dan posisi/lokasi satu sama lain (Dredge, 2013).
Efek pandemi Covid-19
Tak dapat dimungkiri, efek sosial budaya akibat pandemi Covid-19 (pembatasan aktivitas masyarakat, menjaga jarak, serta seruan bekerja dari rumah) membawa perubahan signifikan pada pola konsumsi, produksi, serta penjualan (marketing) narkotika. Di beberapa negara, narkotika jenis stimulant seperti sabu yang mendominasi selama ini, pelan-pelan memudar terganti dengan narkotika jenis relaksan (Grebely, 2020).
Fenomena yang sama juga terjadi di Italia, ketika konsumsi stimulant MDMA (ekstasi) menurun dan tergantikan oleh narkotika turunan benzodiazepine serta alkohol (Gili et al, 2021). Penguncian wilayah (Lockdown) total yang diberlakukan Pemerintah China di 10 kota provinsi Wuhan mengakibatkan pergeseran konsumsi narkotika dari stimulant methamphetamine ke alkohol dan pil-pil penenang (Sun et al, 2020).
Di negara kita, 808,67 kilogram sabu yang berhasil disita pada periode Januari-Maret 2021, hanya meningkat 70,19 persen ketimbang triwulan yang sama pada 2020. Sementara jumlah ganja meningkat fantastis 143,64 persen dibandingkan dengan triwulan 2020 (Data BNN, 2021).
Anomali tersebut diduga merupakan efek berdiam di rumah serta hilangnya tekanan untuk mengonsumsi stimulant di kalangan pekerja (Liu et al, 2020). Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang terjadi pada puncak gelombang pertama pandemi Covid-19 akhir 2020 juga memberi andil signifikan pada perubahan pola peredaran narkotika. Tingkat stres yang tinggi akibat di-PHK disertai beban ekonomi yang makin berat di masa pandemi (sebab pendapatan berkurang) ditengarai menyebabkan melonjaknya pemakaian narkoba hingga dua kali lipat dibanding masa sebelum pandemi (Natalia & Humaedi, 2020).
Perubahan mencolok juga terjadi pada pola pemasaran barang laknat tersebut. Pandemi Covid-19 yang ”memaksa” orang-orang untuk berdiam di rumah, membuat penyalahguna berpaling pada layanan digital yang lebih mudah diakses. Laporan terbaru Badan PBB untuk Kejahatan Narkotika UNODC mencatat terjadi kenaikan transaksi narkotika daring hingga 40 persen di kawasan Asia Tenggara pada medio April 2020-2021.
Laporan Badan Narkotika Eropa (EMCCDA) terbaru juga menguatkan perubahan tersebut. Sebelumnya, narkotika dipasarkan melalui jalur birokrasi konvensional, dari bandar besar (high echelon) ke bandar lokal (middle echelon) lalu ke pengedar jalanan (street/low level echelon). Pada masa pandemi, ia dipasarkan langsung ke penyalahguna via surface web seperti Instagram (Tribunnews, 10/6/21).
Pola produksi narkotika pun tak lagi mengandalkan pabrik konvensional, seperti laboratorium-laboratorium sintesa kimia di daerah terpencil. Akibat pembatasan aktivitas, pihak produsen hanya memesan prekursor (bahan kimia pembuat narkotika) pada darknet, dikirim melalui jasa pengiriman internasional lalu diolah di rumah hingga siap dipasarkan. Pola home industry ini terlihat jelas pada pengungkapan kasus rumah produksi cannabinoid sintetik oleh BNN di Makassar dan Tangerang beberapa waktu lalu (Tempo, 11/9/21).
Tren digitalisasi narkotika ini semakin menghawatirkan melihat perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut sudah ketinggalan jaman (UU Narkotika dan UU ITE). Idealnya, dua UU yang tengah dibahas DPR (Prolegnas 2021) tersebut perlu diselaraskan terlebih dahulu agar tak timbul celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kriminal narkotika.
(Muhammad Hatta, Dokter di Badan Narkotika Nasional)