Amnesti Bukan Solusi
Selain pembaruan mekanisme, penegasan unsur ”illegal content” menjadi signifikan agar tidak menjadi multitafsir dan ambigu sehingga tidak lagi diperlukan keppres-keppres amnesti ITE lain. Pembaruan UU ITE keniscayaan.
Common sense often make a good law
William O Douglas
Ungkapan mantan Hakim Agung Amerika Serikat ini sangat tepat jika digunakan untuk membahas kontroversi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia.
Jika semuanya berdebat tentang asas, pasal, dan bahkan praktik penegakan hukum ITE, mungkin sebaiknya kita menggunakan common sense atau akal sehat terlebih dahulu.
Namun tidak sederhana. Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh, sempat masuk jeruji besi hanya karena mengungkapkan ”matinya akal sehat”. Syaiful Mahdi telah melalui pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi di Mahkamah Agung untuk dinyatakan bersalah melakukan penghinaan melalui media elektronik dengan sanksi 3 bulan penjara.
Beruntung, dengan berbagai masukkan dari berbagai pihak kepada Presiden Joko Widodo, akhirnya Presiden berdasarkan pertimbangan dari DPR mengeluarkan keputusan presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Ini amnesti kedua yang dikeluarkan Jokowi selama masa pemerintahannya dan kedua amnesti tersebut sama-sama terkait UU ITE.
Pertama untuk Baiq Nuril di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan kedua untuk Saiful Mahdi di Aceh. Kedua amnesti tersebut tak menghentikan penegakan UU ITE terhadap kasus-kasus serupa. Stella di Surabaya, Jawa Timur, sedang dalam proses hukum karena keluhannya terhadap suatu produk kecantikan dan seorang dosen di Makassar juga sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kritik yang disampaikan kepada pimpinan. Masih terdapat banyak kasus lainnya yang menjadi momok UU ITE.
Ini amnesti kedua yang dikeluarkan Jokowi selama masa pemerintahannya dan kedua amnesti tersebut sama-sama terkait UU ITE.
Tulisan ini coba mengkaji eksistensi UU ITE dan bagaimana relevansi penegakan hukumnya dalam perkembangan demokrasi saat ini. Menurut Convention on Cyber Crime—perjanjian internasional Uni Eropa—ada sembilan kejahatan siber yang masuk ke dalam empat kategori kejahatan, yakni 1) pelanggaran terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer (offences against confidentiality, integrity, and availability of computer data and systems); 2) pelanggaran terkait komputer (computer-related offences); 3) pelanggaran terkait konten (content-related offences); dan 4) pelanggaran terkait larangan (offences related to infringements).
Tak sesuai tujuan
Jika diperhatikan, berdasarkan kategori itu, Indonesia, setidaknya dalam UU ITE, mengatur tiga kategori, yakni 1, 2, dan 3. Kategori 1 dan 2 memiliki kesamaan di mana kejahatannya berkaitan dengan sistem dan komputer sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan baru yang telah berkembang. Perbedaannya, kategori 3 berkaitan dengan konten, di mana pada dasarnya ini adalah kejahatan konvensional, tetapi dilakukan dengan teknologi.
UU ITE seharusnya lahir untuk fokus kepada kategori 1 dan 2. Namun, cukup disayangkan dalam praktik, kategori 3 lebih banyak diterapkan. Kategori 3 diatur pada Pasal 27, 28, dan 29 di UU ITE. Pasal 27 adalah kejahatan terkait konten (illegal content). Terdapat empat konten yang dilarang didistribusikan melalui media elektronik, yakni asusila (Ayat 1), perjudian (Ayat 2), penghinaan dan pencemaran nama baik (Ayat 3), dan pemerasan (Ayat 4). Sementara Pasal 28 berkaitan dengan hoaks dan SARA.
Dalam praktiknya, pemidanaan terhadap pasal-pasal berkaitan dengan konten ini jauh lebih banyak dari perkara perkara ITE lainnya, seperti intersepsi ilegal dan kejahatan terkait komputerisasi lainnya. Dalam Kertas Kebijakan Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi UU ITE, disampaikan bahwa sejak 2016 sampai dengan Februari 2020 terdapat 744 perkara yang berujung pemidanaan terhadap netizen.
Pada 2020 di era pandemi, terdapat 620 kasus, meningkat 1.000 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 60 kasus. Dari keseluruhan kasus, hanya 1 persen yang dijatuhi pidana bebas. Data ini menunjukkan bahwa pemidanaan menggunakan UU ITE ini telah tak sejalan dengan tujuan UU ITE.
Pasal 4 UU ITE menggariskan bahwa tujuan dibentuknya UU ITE adalah untuk memberikan kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan teknologi informasi serta mengoptimalkan penggunaan teknologi dan informasi. Namun, jika pemidanaan sudah melebihi kebutuhan keamanan, maka sudah tidak lagi sejalan dengan UU ITE. Juga jika kemudian setiap pengguna teknologi informasi menjadi tidak aman dalam menggunakan teknologi informasi.
Ketidaknyamanan warga bisa terlihat juga dalam penurunan indeks demokrasi Indonesia. The Economist Inteligent Unit memaparkan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun sedikit dari 6,44 menjadi 6,3 atau sedikit di atas rata-rata indeks demokrasi dunia 5,3.
Baca juga: Penerbitan Amnesti Saiful Mahdi Diapresiasi, Kasus Serupa Jangan Terulang
Indeks demokrasi tertinggi diraih Norwegia dengan nilai 9,81. Indonesia masuk ke dalam kategori demokrasi tidak sempurna. Lokataru Foundation menyatakan indeks demokrasi ini dipengaruhi UU ITE yang terkesan sebagai alat penegakan hukum yang bersifat represif. Dua amnesti yang dikeluarkan Presiden Jokowi juga menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak sejalan dengan tujuan UU ITE tersebut.
Amnesti merupakan kewenangan Presiden yang diberikan konstitusi untuk menghapuskan seluruh akibat pemidanaan terhadap seorang terpidana.
Dalam masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan dua amnesti menggunakan dua keputusan presiden dan keduanya adalah terkait kasus ITE.
Amnesti ini menunjukkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang di pengadilan harus dikesampingkan. Dalam memberikan amnesti ini, Presiden harus mendapatkan pertimbangan DPR. Kemudian, Presiden dibantu Sekretariat Negara mengeluarkan surat keputusan.
Perlu pembaruan UU ITE
Kasus Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang berujung amnesti seharusnya menunjukkan bahwa penegakan UU ITE tidak lagi sejalan dengan tujuannya. Kasus Saiful Mahdi dimulai dari suatu grup Whatsapp (WA) internal Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, tetapi berakhir dengan melibatkan Presiden, DPR, dan berbagai lini penegakan hukum.
Amnesti ini diberikan sangat spesifik terhadap terpidana tertentu sehingga tidak tepat jika dijadikan solusi terhadap penegakan ITE.
Amnesti ini diberikan sangat spesifik terhadap terpidana tertentu sehingga tidak tepat jika dijadikan solusi terhadap penegakan ITE. Unsur-unsur delik di dalam UU ITE perlu dilakukan pembaharuan untuk lebih mencapai tujuan UU ITE. Pemerintah menciptakan solusi dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi Pasal tertentu UU ITE.
Namun, SKB ITE ini hanya akan menjadi solusi jangka pendek. Dalam SKB ITE ini, bahkan dipertegas bahwa ”penghinaan” dalam Pasal 27 Ayat (3) bukan merupakan opini, kritik, dan pendapat. Hal tersebut menunjukkan subyektivitas menafsirkan penghinaan. Sejauh apa suatu perkataan dinilai sebagai penghinaan atau sebatas opini.
Seperti halnya pengaduan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan terhadap aktivis Haris Azhar atas videonya di Youtube yang menuding Luhut terlibat aktivitas ekonomi tertentu. Dalam pembelaannya di media, Haris mengatakan video itu didasarkan pada hasil kajian singkat. Sejauh apa kajian singkat itu bisa dijadikan dasar pidana? Sekalipun perkara ini masih dalam tahap mediasi di antara para pihak, kelanjutan kasus ini akan jadi landmark decision dalam implementasi UU ITE dengan pedoman SKB ITE-nya ini.
Berdasarkan kompleksitas amnesti, UU ITE, dan SKB ITE tersebut, pembaruan terhadap UU ITE ini menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa pembaruan perlu diberlakukan. Dalam hukum pidana kontemporer, Eddy Hiariej (2015) dalam bukunya, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, maka ultimum remidium adalah prinsip yang harus diutamakan.
Dalam UU ITE sebagai hukum pidana administratif, maka UU ITE seharusnya menggunakan prinsip ultimum remidium secara tegas. Selain sebagai delik aduan dalam Pasal 27 Ayat (3), untuk keseluruhan pasal mengenai konten ilegal dalam UU ITE, seharusnya diberikan mekanisme hukum lain sebelum dilakukan proses pemidanaan. Mekanisme hukum tersebut bisa berupa mediasi antara pelaku dan korban atau berupa sanksi administratif, seperti penghapusan konten atau akun media sosial.
Selain pembaruan mekanisme, penegasan unsur illegal content menjadi signifikan agar tidak menjadi multitafsir dan ambigu sehingga tidak lagi diperlukan keppres-keppres amnesti ITE lainnya. Dalam hukum pidana, asas legalitas mewajibkan bahwa unsur delik harus tegas (lex strictra) dan jelas (lex certa) (Eddy Hiariej, 2015). Saat ini masih ada perdebatan mengenai unsur ”kesusilaan”, ”penghinaan”, ”ujaran kebencian”, ”antargolongan”, dan berbagai unsur lainnya dalam UU ITE.
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada