Indonesia akan mempertahankan surga yang tersisa dari hutan dan lautan, bukan demi COP 26, melainkan demi masa depan generasi mendatang. Mereka layak mendapatkan lingkungan dan ekosistem yang sehat.
Oleh
BUSTAR MAITAR
·5 menit baca
Kompas
Didie SW
Semua paham dan percaya bahwa krisis iklim kini bukan isapan jempol belaka. Krisis iklim kini menjadi isu nyata yang bahkan mulai dibicarakan oleh semua kalangan masyarakat. Karena dampaknya pun dirasakan oleh semua.
Untunglah dengan ancaman krisis yang makin nyata, masyarakat dunia kian menyadari artinya kerja sama dan kolaborasi untuk segera mengatasi krisis iklim ini, bukan sekadar isu perubahan iklim. Konferensi para pihak ke-26 (COP 26) berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November ini. Lebih dari 100 negara akan mengirimkan delegasinya untuk membangun kesepakatan bersama demi menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Empat kesepakatan
Konon COP 26 ini akan mencoba meraih empat kesepakatan penting. Pertama, menyelamatkan bumi dengan emisi nol karbon demi mencegah suhu bumi agar tidak naik di atas 1,5 derajat celsius. Kedua, konferensi ini berusaha untuk melindungi masyarakat dan habitat alam yang terdampak.
Ketiga, mobilisasi pendanaan dari negara maju ke negara berkembang untuk menanggulangi perubahan iklim. Keempat, berkolaborasi untuk melakukan percepatan kerja sama antarpihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil.
Meskipun penghasil batubara, kini kesadaran untuk berpindah ke energi bersih dan energi hijau sudah dan sedang diupayakan oleh para pembuat kebijakan.
Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri, kontribusi Indonesia sebagai pemilik kepulauan, hutan, dan lautan yang luas telah dibuktikan dengan aksi nyata. Pemerintah bekerja bersama para pemangku kepentingan berusaha menahan laju deforestasi, yang kini trennya menurun.
Meskipun penghasil batubara, kini kesadaran untuk berpindah ke energi bersih dan energi hijau sudah dan sedang diupayakan oleh para pembuat kebijakan. Minimal hal ini sudah mulai dimasukkan dalam kebijakan-kebijakan strategis untuk mengerem emisi karbon dari energi kotor dari industri dan transportasi, misalnya.
Mengacu tujuan kedua dari agenda COP 26 ini, Pemerintah Indonesia bersama para pemangku kepentingan juga sudah mulai tersadar untuk segera mengurangi emisi dengan memberikan perlindungan dan restorasi ekosistem. Contoh nyata yang terakhir adalah soal kebijakan untuk merestorasi mangrove. Luasan mangrove yang rusak dan akan direhabilitasi ada 637.625 hektar dari total 3,3 juta hektar mangrove yang kita miliki.
Kerusakan 19,20 persen ini akan direhabilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (14,07 persen), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (75,78 persen), dan sisanya 10,15 persen akan ditangani secara kolaboratif oleh Kementerian Kemaritiman dan Investasi, kementerian/lembaga, CSR sektor swasta, dan lembaga swadaya masyarakat.
Belum lagi soal perlindungan masyarakat adat. Para pegiat lingkungan dan masyarakat madani yang bekerja sama dengan pemerintah daerah kini sedang gencar melakukan pemberdayaan masyarakat agar mereka memiliki kemandirian dan ketahanan pangan di tengah krisis iklim. Mereka didorong untuk mempertahankan kedaulatan terhadap sumber daya alam dan pangan yang dimiliki.
Ini sebagai langkah nyata mitigasi agar masyarakat yang terdampak krisis iklim akan tetap bisa bertahan dengan kekuatan dan sumber daya yang mereka miliki, tanpa harus mengorbankan alam, hutan, dan laut. Meskipun upaya ini juga mendapat banyak tantangan dari upaya-upaya bisnis eksploitatif baik di sektor kehutanan dan kelautan.
Komitmen pendanaan
Mungkin tantangan terberat selanjutnya mencapai tujuan COP 26 yang keempat, yaitu mobilisasi pendanaan dari negara maju terkait dengan iklim. Sejatinya ini sudah digaungkan sebagai komitmen bersama hasil COP 25 di Madrid, Spanyol, di mana negara maju berjanji mengalokasikan 100 miliar dollar AS mulai 2020 untuk urusan iklim. Namun, sampai 2021 negara maju baru menyisihkan 79 miliar dollar AS yang sebagian bukan hibah, melainkan utang yang harus dikembalikan.
Dana dari negara maju tersebut diperlukan negara seperti Indonesia yang masih memiliki keragaman hayati tinggi dengan hutan tropis dan lautan yang masih menjanjikan ini untuk menanggulangi perubahan iklim. Dana itu juga bisa menjadi kompensasi atas ulah negara maju yang berkontribusi terhadap masifnya emisi karbon yang kini memicu krisis iklim.
Diharapkan negara maju penghasil emisi mau membayar kompensasi dalam mekanisme pasar karbon yang seolah untuk menebus dosa mereka terhadap bumi. Namun, untuk mencapai kesepakatan ini mungkin bukan perkara mudah karena berurusan dengan duit besar. Pergeseran ekonomi klasik dan business-as-usual tidak serta-merta akan tunduk pada konsep ekonomi hijau.
Agenda kelima dari COP 26 adalah untuk membuat semacam buku panduan bersama berdasarkan Perjanjian Paris (Paris Rulebook) agar dapat diimplementasikan oleh semua pihak. Ketika kesepakatan kerja sama dan kolaborasi ini tercapai, maka diharapkan akan ada aksi nyata yang mengakselerasi sikap dan aksi untuk menanggulangi krisis iklim ini bersama-sama.
Kaum muda inilah yang kini menjadi ujung tombak strategis untuk bergerak dan melakukan aksi untuk turut menjaga iklim.
Tentu upaya ini harus melibatkan kerja sama yang solid pemerintah, sektor swasta dan seluruh elemen masyarakat yang mau bergerak bersama-sama. Indonesia sudah memulai kolaborasi antarpemangku kepentingan ini dan berjalan sesuai jalur meski masih ada riak-riak di sana-sini.
Anak muda tidak bisa dikesampingkan perannya. Kaum muda inilah yang kini menjadi ujung tombak strategis untuk bergerak dan melakukan aksi untuk turut menjaga iklim.
Data BPS 2020 menunjukkan bahwa generasi Z yang sekarang berusia 8-23 tahun ada 29,94 persen dan generasi milenial yang berusia 24-39 tahun ada 25,87 persen. Dominasi kaum muda ini merupakan aset strategis dengan peran strategis untuk beraksi dan bersaksi tentang krisis iklim. Mereka layak dibekali dengan ideologi lingkungan untuk berdiplomasi di bidang lingkungan.
Mungkin layak kita renungkan kata-kata Mahatma Gandhi bahwa apa yang kita lakukan terhadap hutan di dunia ini cerminan tentang apa yang sedang kita lakukan terhadap diri kita sendiri dan sesama.
Lingkupnya tidak hanya hutan saja, tetapi ekosistem dan lingkungan di bumi ini yang harus kita tangani dengan inisiatif-inisiatif strategis agar krisis iklim ini akhirnya bisa diredakan, bahkan dihentikan jika mungkin. Jika kita beradat terhadap lingkungan, kita pun akan beradat juga terhadap orang lain dan diri sendiri.
ARSIP PRIBADI
Bustar Maitar
Dalam hal ini, Indonesia memiliki modal kuat dengan contoh nyata (living example) tentang aksi yang sudah dimulai untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim ini. Indonesia akan mempertahankan surga yang tersisa dari hutan dan lautan, bukan demi COP 26, melainkan demi masa depan generasi mendatang. Mereka layak mendapatkan lingkungan dan ekosistem yang sehat kembali sebagai surga kehidupan yang jatuh di bumi.