Jebakan "Treadmill" dalam Penanganan Kekerasan
Kesalahan menetapkan pangkal persoalan menyebabkan penanganan masalah aksi kekerasan tak ubahnya treadmill, jalan di tempat. Persoalan bukan pada keberagaman, melainkan dialog yang tidak terbangun baik antarkelompok.
Dalam beberapa tahun terakhir, penanganan aksi kekerasan (khususnya kekerasan yang masuk dalam kategori intoleransi dan terorisme pada beberapa bagian) nyaris tidak mengalami kemajuan. Memang ada upaya-upaya yang dilakukan (di sana-sini banyak kegiatan atau inisiatif untuk menghadapi masalah kekerasan), tetapi problem-problem yang ada nyaris tidak mengalami pergeseran menjadi lebih baik, terlebih lagi terselesaikan.
Penanganan masalah aksi kekerasan tak ubahnya treadmill; ada pergerakan tetapi tak beranjak alias jalan di tempat. Ada satu hal yang bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melihat stagnasi penanganan masalah aksi kekerasan, yaitu keberadaan tokoh-tokoh ataupun organisasi yang nyaris tak berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam persoalan intoleransi dan ideologi transnasional, sejumlah nama kerap hadir di ruang publik sebagai ”tokoh bermasalah” dalam satu dasawarsa terakhir. Pun demikian dari sisi organisasi maupun kelembagaan, di mana organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan yang lainnya kerap menghiasi ruang publik sebagai organisasi bermasalah.
Baca Juga: Intoleransi yang Mencemaskan
Adalah benar bahwa beberapa ”tokoh bermasalah” telah dan sedang diproses secara hukum. Adalah benar bahwa FPI dan HTI telah dibubarkan. Namun, masalah yang identik dengan nama-nama dan organisasi-organisasi di atas (seperti intoleransi) tak berarti selesai.
Alih-alih, intoleransi tetap terjadi di sebagian masyarakat. Inilah yang penulis maksud dengan stagnasi penanganan masalah kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih lagi penahanan, pembubaran organisasi atau bahkan hukuman mati tak otomatis menyelesaikan masalah-masalah yang ada dimensi ideologinya seperti intoleransi dan terorisme.
Pertanyaannya adalah apa yang membuat penanganan masalah kekerasan terjebak dalam jebakan treadmill alias jalan di tempat? Dalam hemat penulis hal ini disebabkan oleh kesalahan menetapkan pangkal persoalan. Ibarat mengurai benang kusut, ujung pangkal yang ditarik justru membuat kekusutan yang ada semakin parah, alih-alih mengurainya.
Dalam persoalan intoleransi atau terorisme, contohnya, kita kerap menjadikan moderasi sebagai pangkal persoalan. Dalam logika seperti ini, terorisme atau intoleransi terjadi karena pelakunya dianggap tidak moderat dalam memahami agama. Maka moderasi beragama pun digencarkan sedemikian rupa untuk melawan terorisme atau intoleransi.
Padahal, intoleransi dan terorisme tidak selalu disebabkan oleh ada atau tidaknya paham moderat dalam diri pelakunya. Apabila ini logika berpikirnya, sejatinya intoleransi atau terorisme tak akan pernah dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan moderat. Padahal, sebagian pelaku intoleransi dan terorisme juga yang berasal dari kalangan moderat.
Intoleransi dan terorisme tidak selalu disebabkan oleh ada atau tidaknya paham moderat dalam diri pelakunya.
Di sisi lain, moderasi sebagai sebuah pemaknaan bukan tanpa masalah. Baik moderasi dimaknai sebagai posisi tertentu (posisi tengah) atau dimaknai sebagai pengurangan kekerasan.
Moderasi dalam pemaknaan posisi sangat abstrak dan tidak aplikatif di lapangan. Meminjam istilah yang digunakan oleh Najih Ibrahim, mantan petinggi Jamaah Islamiyah Mesir, moderasi tidak dalam pengertian posisi (tengah), melainkan dalam bentuk kehidupan umat berkeadilan, kebenaran dan kebaikan (Hurmatul Ghuluw fid Din wa Takfiril Muslimin, 2002: 76).
Sementara moderasi dalam pemaknaan pengurangan kekerasan sangat berbahaya, khususnya ketika disandingkan dengan kata ”agama” (moderasi beragama). Mengingat hal ini bisa bermakna (secara implisit) bahwa kekerasan bersumber dari agama atau agama sebagai sumber kekerasan. Dan tidak ada pihak mana pun yang setuju dengan pemaknaan ini, termasuk para pelaku intoleransi atau teroris itu sendiri.
Baca Juga: Moderasi Beragama
Adalah benar bahwa ada beberapa ajaran dalam Kitab Suci Al Quran (Islam) yang bisa dipahami secara kekerasan seperti jihad, mati syahid, dan yang lainnya. Sebagaimana juga (sebagai perbandingan) ada beberapa ketentuan dalam konstitusi yang bisa dipahami secara kekerasan seperti ketentuan tentang maklumat perang.
Namun, hal ini tidak bisa dijadikan pengantar untuk sampai pada kesimpulan pemaknaan bahwa kekerasan bersumber dari kitab suci atau konstitusi, terlebih lagi menjadikan kitab suci atau konstitusi sebagai sumber kekerasan mengingat ajaran-ajaran ataupun norma tersebut bersifat defensif yang diatur dengan ketentuan-ketentuan ketat. Keberadaan nilai-nilai defensif sangat penting untuk mengantisipasi kejahatan atau serangan dari pihak mana pun mengingat bumi ini tetaplah bumi manusia, bukan bumi malaikat.
Dalam konteks seperti ini, jelas terlihat pangkal persoalan dari terorisme maupun intoleransi adalah ”aksi kekerasan” atau ”aksi melawan hukum”, bukan posisinya yang di tengah atau di pinggir. Apabila ini inti persoalannya, sejatinya kita bisa mengurai benang kusut di atas dari pangkal yang ada; agar tidak ada orang yang melakukan aksi kekerasan atas nama agama, agar tidak ada orang yang melakukan ”aksi melawan hukum” atas nama agama.
Dengan kata lain, kampanye keberagamaan yang bersifat nirkekerasan harus terus digalakkan daripada kampanye moderasi beragama. Umat beragama bisa mengikuti aliran apa pun selama tidak menghalalkan aksi kekerasan.
Kampanye keberagamaan yang bersifat nirkekerasan harus terus digalakkan daripada kampanye moderasi beragama.
Hal kurang lebih sama terjadi dalam konteks perbedaan keyakinan atau pluralisme secara umum. Sebagian pihak menganggap bahwa aksi kekerasan atau diskriminasi terjadi karena kurangnya pemahaman tentang keberagaman atau pluralisme. Dengan logika seperti ini, pluralisme maupun keberagaman dijadikan sebagai ujung yang ditarik untuk mengurai benang kusut yang ada.
Padahal orang yang intoleran atau teroris sekalipun menyadari bahwa dalam banyak hal dirinya berbeda dengan yang lain, baik secara fisik, tempat lahir, atau pun hal-hal primordial lainnya. Walaupun mungkin, kaum intoleran atau para teroris tidak menyadari bahwa hubungan baik tetap harus dilakukan dengan mereka yang memiliki perbedaan secara kompleks sekalipun, baik dari sisi agama, suku, warna kulit, dan yang lainnya. Kalau meminjam konsep salah satu pembaharu Mesir, Muhammad Imarah, segala bentuk keberagaman harus dipahami dalam kerangka persatuan (itharul wihdah) sesuai level keberagaman yang ada (Al-Islam wat Ta’addudiyah, 1997: 5).
Dengan demikian, sejatinya ujung yang ditarik bukan soal keberagaman atau pluralisme, melainkan tentang dialog dengan mereka yang berbeda (kerangka persatuan dalam konsepnya Muhammad Imarah). Namun, karena yang dianggap sebagai pangkal persoalan adalah pluralisme dan kesadaran terkait keberagaman, maka yang banyak ditekankan justru tentang pluralisme dan keberagaman.
Baca Juga: Dialog dan Saling Kenal Bisa Menjadi Bibit Toleransi
Persoalan berikutnya adalah kampanye pluralisme dan keberagaman justru tak jarang dilakukan di kalangan kaum pluralis. Sementara mereka yang dianggap intoleran atau bahkan teroris tidak pernah mendapatkan kampanye pluralisme atau pun keberagaman, alih-alih berdialog secara positif dengan mereka.
Oleh karena itu, ke depan sangat dibutuhkan adanya langkah maju terkait penanganan masalah-masalah kekerasan yang ada, yaitu dari moderasi yang berorientasi pada posisi menjadi moderasi yang berorientasi pada aksi, yaitu aksi-aksi nirkekerasan dalam perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai yang disampaikan oleh Najih Ibrahim: keadilan, kebenaran dan kebaikan.
Di kalangan kelompok intoleran atau teroris, nilai-nilai di atas memiliki sensitivitas tinggi karena mereka acap beranggapan umat Islam dalam kondisi terdzalimi. Sementara kelompok-kelompok Muslim mainstream dianggap diam dan mengabaikan masalah kezaliman yang dialami umat. Dari sana para pelaku kekerasan (khususnya teroris) membangun basis moral perjuangannya sebagai pembela dan pejuang umat (mujahid, Bahasa Arab bermakna pejuang).
Moderasi dalam pemaknaan aksi perjuangan secara nirkekerasan sebagaimana di atas memiliki urgensi di dua wilayah sekaligus, yaitu wilayah pencegahan (basis utama kelompok Muslim arus utama) dan wilayah kontraradikalisasi-deradikalisasi yang menurut UU Nomor 5 Tahun 2018 (Pasal 43C dan 43D) dikhususkan untuk mereka yang rentan dan sudah terpapar paham radikal terorisme bersama keluarga maupun kelompoknya (baik berada di dalam lempada pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan).
Untuk di wilayah deradikalisasi maupun kontraradikalisasi urgensinya tentu sudah jelas. Sementara urgensi kampanye moderasi berbasis aksi nirkekerasan di wilayah pencegahan adalah untuk menahan suplai kader pelaku intoleransi maupun terorisme yang tak jarang berasal dari kantong-kantong basis kelompok Muslim arus utama.
Pun demikian terkait pluralisme dan keberagaman. Penanganan masalah ini harus digeser dari kampanye pluralisme ke kampanye dialog. Sebab, persoalan utamanya tidak terletak pada keberagamannya, melainkan terletak pada hubungan atau dialog yang tidak terbangun baik antarkelompok yang ada.
Oleh karena itu, menjadi penting adanya upaya untuk menjembatani komunikasi atau dialog antara elemen-elemen yang ada, terutama di antara kelompok yang tampak saling bertentangan. Hingga satu pihak dengan pihak lain tidak mengalami keterputusan atau perpecahan yang dalam Pancasila disebut dengan istilah Persatuan Indonesia. Maka semangat Indonesia dalam keberagaman bukan semata tentang keanekaragaman yang ada, melainkan dan terutama tentang upaya menyatukan dan menjembatani dialog antarsegenap elemen bangsa yang beragam.
Baca Juga: Peradaban Kasih Persaudaraan
Pergeseran seperti di atas akan membuat penanganan masalah kekerasan terbebas dari jebakan treadmill yang telah banyak memakan energi, baik yang bersifat materil ataupun nonmateril. Pergeseran ini membutuhkan energi dan komitmen kuat, terutama dari para pemangku kebijakan. Karena, sekali lagi, ini bukan tentang bergerak atau tidak, bukan juga tentang melakukan sesuatu atau tidak.
Selama ini banyak pihak telah melakukan aksi dan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Namun, gerakan yang ada acap berjalan di tempat. Sementara persoalan di luar sana acap tak tersentuh oleh gerakan dan kegiatan yang ada. Inilah khas jebakan treadmill.
(Hasibullah Satrawi, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah)