Oleh dunia maskulin, kata “pelacur” terus dipertahankan hanya karena kata inilah yang dianggap ampuh untuk menjatuhkan martabat perempuan serendah-rendahnya. Ini bentuk kekerasan simbolik yang selama ini dibiarkan.
Oleh
ANINDITA S THAYF
·3 menit baca
Penggunaan kata pelacur dan segala padanannya untuk menyerang perempuan memperlihatkan masih kuatnya dominasi maskulin di negeri kita. Prasangka ini bukan hadir tanpa dasar, melainkan terbaca jelas lewat pemakaian bahasa yang digunakan si penyerang, termasuk penggunaan kata “pelacur”. Sebuah kata yang tercipta khusus untuk perempuan, dan seolah sengaja ‘dilestarikan’ dengan cara sedemikian rupa sebagai senjata khusus untuk (menundukkan/membungkam) perempuan.
Sebagai bagian dari kelompok yang didominasi, perempuan rentan mengalami kekerasan, baik fisik maupun simbolik. Berbeda dari kekerasan fisik, kekerasan simbolik cukup sulit dikenali, bahkan seringkali tidak disadari oleh korbannya.
Menurut Bourdieu, pada dasarnya kekerasan simbolik dilakukan dengan cara-cara yang melibatkan pengetahuan dan komunikasi, termasuk bahasa. Dalam hal bahasa, kekerasan simbolik dilakukan dengan sejumlah cara, entah berwujud penghinaan yang lugas hingga pujian atau pengakuan beraroma pelecehan atau pendiskriminasian yang samar.
Kata “pelacur”, beserta padanannya, yaitu “lonte”, “sundal” hingga penyebutan yang lebih halus, “kupu-kupu malam”, lebih sering digunakan sebagai umpatan ketimbang sekadar kata benda. Sejak kelahirannya, kata ini bahkan tidak lepas dari sejumlah makna yang dipeyoratifkan, yang disematkan padanya. Ia tidak hanya merujuk pada sebuah profesi, tetapi juga menyiratkan pembagian sosial sekaligus ketidaksetaraan.
Fakta bahwa umpatan seksis ini telah digunakan sejak lama menghasilkan sebuah kondisi yang sangat tidak adil, sekaligus dianggap tepat secara sosial oleh masyarakat, sehubungan dengan eksistensi perempuan. Entah itu benar-benar mencerminkan perilakunya atau tidak, sifat-sifat negatif sangat mudah dilekatkan pada diri seorang perempuan yang dicaci sebagai pelacur.
Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki bagian tubuh yang bersifat publik dan bersifat pribadi. Jika bagian tubuh yang bersifat publik bebas ditunjukkan, maka bagian tubuh yang bersifat pribadi justru sebaliknya. Ia harus ditutupi dan disembunyikan atas nama kehormatan, misalnya, bagian tengah tubuh dan selangkang.
Konstruksi ini, tentu saja, dibangun berdasarkan prinsip maskulin, terutama untuk perempuan. Bahwa perempuan harus memandang selangkangnya sebagai pusat kehormatan. Pun, berdasarkan prinsip oposisi antarseks, bahwa pusat selangkang perempuan berkarakter buruk hanya karena ia lawan dari phallus laki-laki yang perkasa.
Pada kondisi tertentu, penekanan atas karakter buruk ini sangat sering terjadi dan mengejewantah lewat kata-kata makian, seperti kata “pelacur”. Jadilah selangkang perempuan senjata andalan yang kerap digunakan laki-laki untuk merendahkan nilai seorang perempuan hanya karena satu alasan.
Laki-laki merasa bahwa dialah yang telah memberikan nilai lebih itu kepada perempuan maka haknya pula untuk menurunkan atau mencabutnya. Dalam tatanan dunia maskulin, selalu ada pembenaran atas apa pun yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan.
Tubuh perempuan adalah produk sosial yang selalu terancam oleh obyektifikasi.
Tubuh perempuan adalah produk sosial yang selalu terancam oleh obyektifikasi. Di bawah pengawasan masyarakat yang patriarkal, tubuh perempuan juga terus dibebani aturan-aturan yang ketat dan mudah dihakimi jika perempuan melakukan pelanggaran.
Sifat dualisme pun melekat padanya. Perempuan dianggap suci sekaligus kotor. Dia ditinggikan, tetapi juga bisa direndahkan sesuai keperluan.
Efek dari dominasi maskulin ini memunculkan sikap submisif yang merupakan sebentuk kekerasan simbolik yang terbiarkan. Ini seolah terjadi demi pelestarian ketidaksetaraan jender dan pengukuhan atas konstruksi sosial tubuh perempuan yang semena-mena.
Selain untuk merendahkannya, pengolok-olokan secara seksual, ini juga bertujuan untuk mengukuhkan bahwa terdapat kebenaran pada pandangan laki-laki atas perempuan, apa pun itu.
Maka menghukumnya dengan hukum dominasi maskulin, yang bekerja dengan cara mempertontonkan keburukan perempuan, dianggap wajar. Itulah mengapa, oleh dunia maskulin, kata “pelacur” terus dipertahankan hanya karena kata inilah yang dianggap ampuh untuk menjatuhkan martabat perempuan serendah-rendahnya.
Melawan pendominasian memang tidak mudah. Para pemilik suara otoritas sering kali hanya menyediakan dua pilihan: mengalah atau mengikuti arus. Namun, sejak bahasa tidak hanya menjadi jembatan komunikasi, tetapi juga memegang peranan penting bagi identitas kita, maka perjuangan untuk memperbaiki bahasa tidak akan pernah sia-sia, apalagi jika dilakukan lewat sebuah upaya sosial bersama-sama. Mari memulainya dengan satu kata ini.