Kita menggarisbawahi pernyataan Kepala Polri. Keteladanan pemimpin menjadi penting. Selain memberi teladan, pemimpin juga mengayomi, sekaligus mengawasi, dan mengembangkan karier anak buahnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengirimkan pesan keras dan tegas kepada jajarannya. Ia mengingatkan perlunya keteladanan seorang pemimpin.
Pernyataan Kepala Polri dalam penutupan pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021), itu tegas dan bisa juga keras. Peringatan itu tentunya untuk merespons dinamika internal di tubuh kepolisian.
Dalam dua minggu terakhir, sejumlah video viral mempertontonkan perilaku anggota Polri yang tidak profesional, cenderung arogan, menimbulkan sentimen negatif dari masyarakat. Cerita negatif soal polisi menimbulkan tanya publik: ada apa dengan polisi kita?
Mengutip peribahasa, Kepala Polri mengatakan, ”Ikan busuk mulai dari kepala.” Dengan kata lain, masalah internal di kepolisian terjadi karena pemimpinnya bermasalah atau tidak bisa menjadi teladan bagi anak buahnya.
Kita menggarisbawahi pernyataan Kepala Polri. Keteladanan pemimpin menjadi penting. Selain memberi teladan, pemimpin juga mengayomi, sekaligus mengawasi, dan mengembangkan karier anak buahnya. Berbicara soal pemimpin di lingkungan kepolisian, berbicara soal hierarki mulai dari kepala Polri, kepala polda, kepala polres, hingga kepala polsek yang mempunyai tanggung jawab mengayomi masyarakat dan mengawasi anggotanya.
Selain perilaku buruk yang viral, diyakini banyak anggota Polri yang beyond call of duties. Bekerja melebihi panggilan tugas. Mereka yang juga telah berkontribusi baik untuk masyarakat dan Polri tentunya juga harus mendapatkan apresiasi. Tetap harus ada penghargaan bagi yang berprestasi dan hukuman terhadap yang berperilaku tercela.
Dunia memang telah berubah. Komunikasi di era digital telah membuat semua orang bisa menjadi pemberi kabar. Perilaku kekerasan oleh Polri, yang mungkin juga terjadi pada masa lalu, kini tak mungkin lagi bisa ditutupi. Semuanya, cepat atau lambat, akan terbuka. Politik viral menjadi politik penekan. Dunia komunikasi yang berubah ini harus diantisipasi oleh Polri. Pernyataan monolog atau satu arah tidak lagi mencukupi. Butuh komunikasi dialogis untuk membangun kesepahaman.
Perilaku kekerasan oleh Polri, yang mungkin juga terjadi pada masa lalu, kini tak mungkin lagi bisa ditutupi.
Sebuah peristiwa tentu ada konteksnya. Ada latar belakang, agar publik memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Sebuah peristiwa tanpa diberi konteks akan menjadi santapan publik. Publik bisa memberi konteks sesuai dengan persepsinya masing-masing. Di sinilah komunikasi bisa kian semrawut karena sebuah peristiwa kadang lepas dari konteksnya. Hal itu semua bisa memengaruhi persepsi publik.
Sikap emosional anggota Polri, termasuk pimpinan Polri, di daerah layak diteliti penyebabnya. Apakah lama pendidikan anggota Polri di berbagai lembaga pendidikan masih dirasakan kurang? Sejauh mana isu soal hak asasi manusia sudah tertanam di dalam sanubari anggota Polri agar cita-cita lahirnya polisi yang humanis dan dicintai rakyatnya bisa segera terwujud.