Aktivis Perempuan Desak Kapolsek yang Eksploitasi Anak Tahanan di Sulteng Dipecat
Dugaan persetubuhan yang dilakukan seorang kepala polsek di Sulteng dengan seorang perempuan, anak tahanan, dinilai sebagai bentuk eksploitasi seksual karena pelaku memanfaatkan posisinya atas korban.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Aktivis perlindungan perempuan mendesak agar ID, seorang kepala kepolisian sektor di Sulawesi Tengah, dipecat dari keanggotaannya sebagai polisi. Dugaan persetubuhan yang dilakukannya dengan memanfaatkan posisinya dengan janji membebaskan ayah korban merupakan bentuk eksploitasi seksual. Itu merupakan perilaku bejat yang mencoreng institusi kepolisian sebagai pengayom masyarakat.
Demikian disampaikan Ketua Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) Soraya Sultan terkait persetubuhan yang dilakukan Kapolsek Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Inspektur Satu ID dengan anak seorang tahanan.
”Perilaku bejat Kapolsek ini jauh bertentangan dengan komitmen Kepala Polri yang berupaya wujudkan Polri yang lebih bersahabat, pengayom, dan pemberi rasa adil kepada masyarakat,” ujarnya di Palu, Sulteng, Senin (18/10/2021).
Soraya menyatakan, apa yang dilakukan ID adalah pola eksploitasi seksual. Ia memanfaatkan situasi dan ketakberdayaan korban untuk kepuasan seksualnya. Patut diduga pola ini sudah sering dilakukan.
Pada awal Oktober ini, ID bersetubuh dengan S (20), warga Parigi, Kabupaten Parigi Moutong. Menurut penasihat hukum korban, Akbar, kejadian bermula saat korban mengunjungi ayahnya yang ditahan karena diduga mencuri sapi. Dari situ, ID melihat korban dan mulai menggodanya, baik secara langsung maupun melalui aplikasi percakapan (chatting).
”Kemudian, pada satu kesempatan, korban diajak Kapolsek ke suatu ruangan. Korban diajak untuk tidur dan dijanjikan ayahnya akan dibebaskan,” ujar Akbar.
Awalnya, lanjut Akbar, korban tidak mau. Pelaku juga menawari korban uang, tetapi korban tetap tidak mau. ”Memang korban tidak mau. Namun, Kapolsek selalu chat korban untuk tanya tawarannya,” katanya.
Menurut Akbar, korban tak pernah mengiyakan untuk bersetubuh. Korban berpikir hanya untuk jalan-jalan. Mereka lalu janjian ke salah satu hotel di Parigi. Pada saat kejadian itu, korban juga masih mengelak atau tidak mau bersetubuh. Bahkan, menurut keterangan korban, ada unsur pemaksaan. Korban tidak mau melakukan hubungan seksual, tetapi Kapolsek memaksanya.
Setelah kejadian, lanjutnya, janji untuk membebaskan ayah korban tak kunjung dipenuhi. Bahkan, ada kecenderungan ID mau mengulang lagi perbuatannya melalui percakapan di aplikasi percakapan. Namun, korban tak mau lagi. Bujukan terus dilakukan ID.
Akbar menyatakan, setelah kejadian itu, korban melapor kepada ibunya. Ibunya yang terpukul lalu melaporkan perbuatan ID ke Kepolisian Resor Parigi Moutong. Menurut Akbar, berdasarkan kronologi itu, kasus yang menimpa S tak hanya soal kesusilaan, tetapi juga pemerkosaan karena adanya unsur pemaksaan yang dilakukan ID. Keinginan keluarga agar kasus ini diproses tak hanya soal kode etik, tetapi juga harus ke ranah hukum pidana.
Kita tunggu pemeriksaan. Kita tidak bisa simpulkan dulu. Bagaimana nanti, kita tunggu (hasil) pemeriksaan.
Pihaknya juga akan melaporkan tindak pidana umum yang dilakukan ID. Penanganan kode etik bisa dilakukan bersamaan dengan pengusutan tindak pidana. ”Keluarga dan masyarakat umum keinginannya sederhana saja, yakni mendesak Polda Sulteng sesegera mungkin ID diproses hukum pidana umum, penetapan tersangka, dan proses-proses selanjutnya,” tuturnya.
Jabatan dicopot
Pada kesempatan berbeda, Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto menyatakan, tim Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulteng sudah mulai menangani kasus tersebut. Sejumlah saksi sudah diperiksa, termasuk pihak hotel dan anggota keluarga korban. Korban dijadwalkan diperiksa Senin ini. ID pun sudah dinonaktifkan dari jabatan kapolsek dan dipindahkan ke bagian Pelayanan Markas di Markas Polda Sulteng.
Terkait arah penanganan perkara, Didik menyatakan, pihaknya menunggu pemeriksaan dari tim Propam. ”Kita tunggu pemeriksaan. Kita tidak bisa simpulkan dulu. Bagaimana nanti, kita tunggu (hasil) pemeriksaan,” ujarnya.
Didik mengaku tak mengetahui jelas kronologi kasus ID dan S. Ia hanya memastikan ayah S adalah tahanan di Polsek Parigi atas kasus pencurian sapi dan terduga korban merupakan anak tahanan tersebut. Begitu juga saat ditanya ada persetubuhan antara ID dan S, Didik menjawab dirinya belum tahu. Hasil pemeriksaan akan membuktikan hal tersebut.
Terkait kontrol internal atas perilaku anggota, terutama dalam penanganan perkara, Didik menyatakan, di tingkat polres mekanisme kontrol ada. ”Kapolsek itu di bawah kapolres. Tentu kapolres mengarahkan anggota tentang penanganan kasus, kode etik,” ujarnya.
Selain itu, pengawasan juga berjalan secara internal. Di polda ada bidang propram dan inspektur pengawasan daerah. Hal sama juga ada di tingkat polres.