Mencapai situasi endemi sebagai normal yang baru memerlukan pula cara pandang hidup dan kondisi baru. Ini yang perlu dipersiapkan pemerintah dan masyarakat.
Oleh
TRI YUNIS MIKO WAHYONO
·4 menit baca
Penanggulangan wabah Covid-19 menimbulkan kegamangan di semua negara, termasuk Indonesia. Sejak diumumkan pertama kali 2 Maret 2020, kasus Covid-19 di Indonesia bertambah dengan cepat dalam hitungan hari dan tak dapat ditentukan lagi runtut penularannya.
Hingga saat ini, surveilans menemukan adanya dua puncak tertinggi jumlah kasus harian, yaitu 18.000 kasus per hari pada Januari 2021 dan 54.000 kasus pada Juli 2021. Juli 2021 bisa dikatakan sebagai ”badai Covid-19” di Jawa dan Bali yang memberikan pukulan keras bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untungnya, kesadaran akan tindakan penanggulangan dan pencegahan muncul sebagai tanggung jawab setiap masyarakat, tak hanya pemerintah. Kesadaran penuh akan kondisi kesehatan diri dan orang-orang terdekat kemudian menjadi keharusan, termasuk partisipasi dalam program vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan (prokes).
Perjuangan kita melalui penerapan PPKM berjenjang (level 1-4) membuahkan hasil. Jumlah kasus harian secara bertahap turun menjadi 2.800 kasus pada 18 September 2021, kemudian ke tingkat 1.900 kasus akhir September 2021.
Presiden Joko Widodo turut menyuarakan tentang transisi dari pandemi ke endemi, di mana masyarakat akan hidup berdampingan dengan Covid-19 dalam waktu yang lama. Bahkan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran di APBN 2022 untuk mengakomodasi kondisi ini.
Optimisme menjadikan Covid-19 sebagai endemi membuncah. Namun, pertanyaan besar menggelayuti pikiran sebagian besar masyarakat: seberapa siap kita beradaptasi terhadap situasi tersebut?
Menakar kesiapan
Berdasarkan anjuran WHO dan CDC, upaya-upaya dalam penanggulangan Covid-19 secara umum adalah sebagai berikut: deteksi dini dan isolasi kasus; penelusuran kontak; pelayanan kesehatan yang adekuat, sesuai, dan efektif; upaya pencegahan (cuci tangan, penggunaan masker, disinfeksi); dan partisipasi masyarakat (social distancing).
Ini juga menjadi pedoman pemerintah melakukan penanggulangan Covid-19.
Namun, perlu diingat, menurut pedoman WHO bila kita akan melaksanakan hidup berdampingan dengan Covid-19, maka persyaratannya: 1) penularan dikendalikan ke tingkat kasus sporadis atau kasus (endemis); 2) sistem kesehatan dan kapasitas kesehatan masyarakat yang memadai tersedia, meliputi deteksi kasus, tes yang memadai, isolasi yang berjalan baik, dan karantina semua suspek.
Lalu, 3) risiko wabah dalam pengaturan kerentanan tinggi diminimalkan; 4) tindakan pencegahan di tempat kerja ditetapkan; 5) risiko kasus impor dari dalam dan luar negara bisa dikelola; dan 6) partisipasi masyarakat terjalin baik.
Di sini saya melihat kita perlu memikirkan secara saksama poin 2-4, terutama cara meningkatkan kapasitas tes serta mengurangi risiko di titik-titik produktif dan rentan.
Menarik melihat fenomena yang mulai berkembang. Selain termometer, alat tes mandiri Covid-19 untuk skrining harian juga sudah mulai digunakan masyarakat. Ini juga terjadi di negara lain seperti Inggris dan Jerman, di mana tes mandiri umumnya dilakukan dua kali seminggu sebelum ataupun sesudah aktivitas di ruang publik.
Tes jenis ini dapat menjadi upaya untuk deteksi dini, untuk perlindungan pribadi secara personal. Dalam banyak situasi, beberapa alat tes mandiri yang berbasis nasal (hidung) menjadi salah satu instrumen skrining yang dipilih karena proses pengambilan sampelnya yang lebih nyaman untuk beberapa kalangan, seperti anak-anak dan warga lansia.
Pengambilan sampel yang bisa dilakukan di rumah oleh masyarakat umum juga membuat beban fasilitas kesehatan jauh berkurang. Tes mandiri juga bisa membantu penyelenggaraan kegiatan perkantoran/pabrik, sekolah tatap muka, acara keagamaan atau acara lain secara lebih aman.
Edukasi jadi pedoman dan edukasi masyarakat
Bukan tak mungkin penggunaan alat tes mandiri jadi salah satu ciri dan alternatif di kondisi ”hidup normal yang baru” akibat transisi endemi. Kebutuhan skrining harian yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja memberikan secercah rasa aman yang absen selama hampir dua tahun ke belakang.
Pada akhirnya, alat tes mandiri dijadikan semacam antiseptik atau obat luka yang tersedia di rumah sebagai mekanisme berjaga-jaga. Edukasi dan panduan mumpuni untuk tes mandiri perlu diberikan, terutama agar tes bisa digunakan sesuai peruntukan yang aman bagi masyarakat.
Pengetahuan mendasar tentang tes ini perlu dipahami secara benar, seperti perbedaan tes mandiri dengan tes antigen pada umumnya, perbedaan jenis tes antigen mandiri, bagaimana fungsinya, penggunaan yang tepat dan aman, serta pengolahan limbahnya. Dengan demikian, langkah menjaga kondisi kesehatan diri dan keluarga bisa tepat sasaran dan manfaat sepenuhnya dirasakan, tanpa menambah risiko lingkungan.
Mencapai situasi endemi sebagai normal yang baru memerlukan pula cara pandang hidup dan kondisi baru. Ini yang perlu dipersiapkan pemerintah dan masyarakat. Pada akhirnya, testing, tracing, dan treatment bukan menjadi pilihan, melainkan keharusan. Ketiga upaya ini perlu disertai edukasi yang mumpuni serta panduan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari untuk berdampingan dengan Covid-19.
Tri Yunis Miko Wahyono,Epidemiolog Universitas Indonesia