Negeri Rayahan
Kita masih berharap akan datang suatu zaman, di mana negeri ini bersih dari korupsi, karena korupsi itu pamali.
Terenyak membaca opini Kompas (Senin, 18/10/2021) berjudul ”Negeri Rayahan Korupsi”. Kita seperti diajak berkelana ke negeri subur makmur, bahkan grup band Koes Plus pun membuat lagu dengan syair ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Seiring kesuburan negeri ini, koruptor turut tumbuh teramat subur.
Bahkan, anak beranak, suami istri, handai tolan, berkongkalikong menjarah hak rakyat tanpa sungkan. Para petinggi yang mendapat amanah menata negeri tetap bergeming meski rakyat sampai serak menuntut keadilan.
Pisau tajam telah memenggal KPK dengan merevisi UU KPK. Bahkan, tes wawasan kebangsaan digunakan sebagai gada pamungkas.
Masih di Kompas, anggota Ombudsman menulis bahwa genealogi asli ORI (Ombudsman RI) adalah mewakili rakyat mengawasi (mala) administrasi pelayanan publik. Gus Dur sebagai presiden yang melahirkan ORI mendaulatnya sebagai lembaga pengawasan rakyat. Jelas dan mudah dipahami maknanya.
Kita masih berharap akan datang suatu zaman, di mana negeri ini bersih dari korupsi, karena korupsi itu pamali. Berharap dan berharap ada kepemimpinan tangguh yang akan membawa Indonesia ke dalam kejayaan bangsa yang tenteram dan menyejahterakan rakyatnya.
S HANDOKO
Tugurejo Semarang
Tanggapan Pembaca
Saya karyawan yang telah bekerja puluhan tahun di beberapa perusahaan swasta. Dengan pengetahuan terbatas, melihat drama kegaduhan terkait 57 karyawan KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) dan membaca ”Politik Dua Kaki” Budiman Tanuredjo (Kompas, 2/10/2021), saya ingin menanyakan beberapa hal.
Setahu saya, hubungan kerja adalah ikatan di antara dua pihak, yaitu karyawan dan pemberi kerja. Jika salah satu pihak tidak puas karena berbagai alasan, ikatan kerja dapat diakhiri sesuai peraturan.
Jika tidak ada titik temu, kasusnya bisa diajukan kepada pihak berwenang. Biasanya keributan terjadi jika perusahaan yang memutus hubungan kerja, bukan sebaliknya.
Pada kasus KPK, pihak KPK membuat TWK yang diikuti lebih dari 1.300 karyawan. Tidak ada yang aneh dan tidak ada yang protes. Ada 1.274 karyawan lulus dan 75 tidak lulus. Baru terjadi keributan.
Diberikan kesempatan tes ulang dan ada 57 karyawan yang tidak lulus atau tidak mau tes ulang. Ini memicu keributan besar yang berlarut-larut.
Disebutkan TWK merupakan bagian dari rencana besar untuk melemahkan kegiatan antikorupsi. Saya tidak setuju karena melihat fakta bahwa KPK telah berhasil menangkap dua menteri dan seorang Wakil Ketua DPR. Apakah itu bukan suatu bukti?
Apakah keberhasilan KPK selama ini hanya berasal dari prestasi 57 karyawan, yang hanya 4,4 persen dari lebih dari 1.300 karyawan yang ada?
Jika ada karyawan KPK hendak meninggalkan KPK (43 orang pada 2020) karena alasan tertentu, apakah dia akan dituduh menggagalkan program antikorupsi juga?
Sewaktu ada institusi yang menghargai pengalaman 57 karyawan itu dan siap mempekerjakan mereka, mengapa malah dituduh berpolitik dua kaki? Mohon pencerahan.
J Rasjidgandha
Jakarta
Catatan Redaksi:
KPK merupakan sejarah panjang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada episode terakhir, ada revisi UU KPK yang mensyaratkan alih status pegawai KPK menjadi ASN lewat TWK. Menurut Ombudsman dan Komnas HAM, ini bermasalah.
Presiden Jokowi meminta agar TWK tidak menjadi alasan memberhentikan para pegawai itu. Namun, pemberhentian tetap terjadi sampai akhirnya Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menawari ke-57 pegawai sebagai ASN Polri.
Dengan konstruksi fakta itu, publik bisa bingung menilai legitimasi TWK sebenarnya.
Sekadar tambahan informasi, penangkapan dua menteri dilakukan sebelum pemberhentian pegawai.
Terima kasih atas tanggapan yang Anda sampaikan. Berbeda pandangan merupakan hal biasa.
Sumpah Pemuda
Bapak saya tidak pernah sekali pun menceritakan kehadirannya dalam pencanangan Sumpah Pemuda 1928. Baru beberapa tahun lalu saya menyadari ketika melihat foto sangat jelas, dilengkapi nama-nama, termasuk gelarnya.
Saya kagum dengan pengarsipan harian Kompas sehingga bisa menyajikan informasi itu dengan akurat.
Saya ingat ucapan jurnalis senior Rosihan Anwar, tiap zaman ada zeitgeist atau roh masing-masing. Alfin Toffler pun menulis kecepatan perubahan zaman dalam bukunya, The Future Shock (1970).
Menjelang Hari Sumpah Pemuda, saya ingin mengenang bapak saya dan para terdidik yang terlibat Sumpah Pemuda, dikaitkan dengan berbagai peristiwa masa kini.
Seorang adik Bapak dalam biografinya berjudul Bertumbuh Melawan Arus menulis di halaman depan: ”Untuk Mas Poean & Yu Wirah, tanpa mereka, saya tak bisa jadi orang”.
Di halaman 52 diceritakan sang adik sempat menemani Bapak naik mobil keluar kota tahun 1935. Di tengah jalan ada mobil controleur Belanda yang tak mau memberi jalan. Saat ada peluang, dengan sigap sopir tancap gas menyalip mobil sang controleur.
Dua hari kemudian Bupati Majalengka bertemu Bapak. Ia menyampaikan ketidaksukaan controleur. Bapak menjawab, ”Kalau tidak mau beperkara, silakan memecat saya.”
Sang adik menulis, ”Saya sangat terkesan. Seorang dokter bisa berbicara begitu tegas dan terbuka karena pemerintah memerlukan jasanya sebagai dokter.”
Saat itulah adik Bapak memutuskan mendaftar pada Sekolah Tinggi Kedokteran (GH) di Batavia.
Namun, sejarah berkata lain. Saat Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) dibuka kembali setelah sempat ditutup, adik Bapak dan beberapa temannya dikeluarkan karena terlibat pemogokan mahasiswa Oktober 1943. Sebelumnya mereka ditahan satu bulan oleh kempeitai.
Ia kemudian terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan dan akhirnya jadi diplomat. Setelah berhenti jadi pegawai negeri, ia membangun usaha sendiri, yang di kemudian hari menjadi perusahaan pelayaran terkemuka.
Pengaruh Bapak dengan semangat Sumpah Pemuda dirasakan oleh sang adik. Bapak sebagai dokter di kota kecil bergaul dengan berbagai suku bangsa, ras, agama, dan kepercayaan. Berbagai perilaku manusia dan lainnya menumbuhkan semangat toleransi dalam keluarga, tanpa membeda-bedakan manusia.
Saya teringat ucapan Pak Anugerah Pekerti, ”Seorang yang memiliki ketulusan tidak pernah menggembar-gemborkan kiprahnya.”
Menurut adik Bapak, ”Bapakmu itu bekerja dan hidup penuh compassion.” Saya tidak dapat menerjemahkan secara tepat, bisa jadi penuh welas asih dan kepedulian terhadap sesama.
Saat agresi kedua Belanda 19 Desember 1948 seperti dalam buku Julius Pour, Doorstoot naar Djokja, 2010, Bapak di Tasikmalaya jadi tahanan rumah karena menolak kerja sama dengan Belanda untuk memimpin rumah sakit.
Meskipun umur saya saat itu baru tiga tahun, entah mengapa gambaran dua tentara Belanda yang setiap malam datang ke rumah kami dan berbincang dengan Bapak—tetapi dengan sikap respek—masih terbayang.
Saya juga ingat, saat itu saya harus belajar menyanyikan lagu ”Satu, tujuh, delapan, tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita...” (teks lagu ini kemudian diubah menjadi ”17 Agustus tahun 45”) sambil mengepalkan tangan.
Bapak tahun 1950 memutuskan berhenti jadi pegawai negeri dan pindah ke Bandung. Sebagai anak desa dari Ngupit, Klaten, dan pernah memperoleh pendidikan tinggi di STOVIA, Bapak tetap memiliki kesadaran untuk menjadi bagian dari suatu bangsa yang merdeka.
Sumpah Pemuda yang Bapak praktikkan tanpa disadari berpengaruh ke sekitarnya. Orang-orang dekat Bapak ada yang jadi tentara, diplomat, kemudian pengusaha, politikus, guru, birokrat. Semua bekerja penuh kejujuran. Suatu hal yang juga ditunjukkan para tokoh bangsa: H Agus Salim, Bung Hatta, Hoegeng, dan para pendiri bangsa.
Semoga peringatan Hari Sumpah Pemuda 2021 yang masih dalam masa keprihatinan pandemi Covid-19 tetap memberi semangat untuk Indonesia tangguh dan maju.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta 12970
Tanpa Garasi
Berbagai jenis mobil parkir di sembarang tempat, seperti di pinggir jalan, taman, trotoar, dan halaman ruko. Untuk itu, banyak pemilik mobil yang bekerja sama dengan tukang parkir liar.
Dalam hal ini mereka saling menguntungkan, tetapi merugikan negara karena uang parkir masuk kantong pribadi. Perilaku itu juga merugikan warga karena fasilitas umum itu untuk kepentingan publik, bukan pemilik mobil pribadi.
Seharusnya mampu membeli mobil juga mampu membangun garasi untuk kenyamanan bersama. Konon, di luar negeri, calon pembeli mobil disurvei, kalau tidak punya garasi ditolak. Kalau di Indonesia, tampaknya yang penting dagangan laris.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung 40616
Layanan Petugas
Pada 18 September 2021 saya ke gerai Indosat Ooredoo di Mal Alam Sutera untuk mengganti kartu SIM.
Saya dilayani petugas bernama Nz. Setelah selesai, saya diminta membayar tunai Rp 355.000 karena kasir sedang tidak di tempat.
Saya meminta bukti tanda terima pembayaran, tetapi menurut Nz resi akan dikirim bersamaan dengan konfirmasi aktivasi dalam 2 x 24 jam ke nomor kontak di formulir.
Setelah menunggu lama tidak ada pemberitahuan, saya datang lagi ke gerai pada 26 September 2021. Dilayani oleh Kh. Kartu terpasang aktif dan saya kembali minta resi. Namun, Kh mengatakan Nz sedang tidak di tempat. Kh berjanji akan meminta Nz mengirim resi 1 x 24 jam.
Ternyata resi tidak juga dikirim. Saya mencoba menghubungi lagi, tetapi terkesan Kh menghindar.
Pada 28 September 2021 saya menghubungi Call Center Indosat dan berbicara dengan Skr. Petugas call center itu mengatakan akan meminta petugas gerai segera mengirim resi melalui e-mail dalam 1 x 24 jam.
Sampai 1 Oktober 2021, saya masih belum mendapat resi yang saya minta. Bagaimana bisa perusahaan tidak menyiapkan resi untuk nasabah?
Adhi W
Bintaro, Jakarta Selatan