Hak Warga atas Lingkungan yang Sehat dan Bebas Merkuri
Sebagai tuan rumah COP 4 Konvensi Minamata, Indonesia harus berperan sebagai pelopor pelarangan perdagangan merkuri. Hingga kini, jual-beli merkuri bisa ditemui dengan mudah di media sosial dan toko-toko daring.
Oleh
YUYUN ISMAWATI DRWIEGA
·6 menit baca
Kasus keracunan merkuri mulai tercatat pada tahun 1527, tetapi yang paling terkenal adalah tragedi Minamata di Jepang yang terjadi pada 1932 hingga 1968. Kasus pertama Minamata terdeteksi pada 1956. Pabrik Chisso membuang limbah cair mengandung merkuri yang digunakan sebagai katalis. Penduduk Minamata makan ikan tercemar merkuri sehingga menderita penyakit Minamata.
Pada Mei 1968, Chisso berhenti menggunakan katalis merkuri dalam produksi asetaldehida. Pada 1969, para korban menggugat Chisso untuk meminta kompensasi. Sejak itu, banyak tuntutan hukum diajukan terhadap Chisso dan masih berlanjut hingga kini, 52 tahun setelah gugatan pertama. Para korban masih berjuang untuk mendapat pengakuan dan kompensasi.
Awalnya, metilmerkuri diduga menjadi penyebab utama penyakit Minamata yang diderita oleh ribuan orang di kawasan Teluk Minamata. Namun, penelitian terbaru Ashley James dkk (2020) mengungkapkan bahwa kemungkinan utama penyebab penyakit Minamata adalah akibat senyawa kimia α-mercuriacetaldehyde atau spesies lainnya.
Tragedi Minamata memicu pembicaraan global tentang bahaya merkuri dan pada 2007 semua negara sepakat harus ada perjanjian internasional tentang merkuri. Pertemuan negosiasi berlangsung tahun 2010 hingga 2013. Pada 10 Oktober 2013, konvensi baru tentang merkuri diadopsi oleh 128 negara, termasuk Indonesia. Melalui proses yang cukup alot, para wakil delegasi sepakat menamakan perjanjian merkuri sebagai Konvensi Minamata.
Setelah diratifikasi oleh 50 negara pada 18 Mei 2017, konvensi mulai berlaku pada 16 Agustus 2017. Indonesia meratifikasi pada 19 September 2019 dan hingga minggu ini 135 negara telah meratifikasi perjanjian merkuri. Negara peratifikasi wajib melaksanakan isi konvensi. Pertemuan pertama negara-negara yang meratifikasi konvensi dilakukan pada September 2017 di Geneva. Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan keempat para pihak (COP 4).
Konvensi Minamata tidak membedakan tanggung jawab dan kepatuhan berdasarkan status negara, maju atau berkembang. Semua negara punya tanggung jawab yang sama dalam melaksanakan kesepakatan; yang dibedakan hanya kontribusi finansial.
Hak atas lingkungan yang sehat
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian yang berkaitan dengan risiko lingkungan, seperti polusi udara dan paparan bahan kimia, mencapai 24 persen dari semua kematian global atau sekitar 13,7 juta kematian per tahun. Pada masa krisis iklim dan pandemi Covid-19, lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan merupakan bagian integral dari penikmatan penuh hak asasi manusia.
Lebih dari 60 negara dan lebih dari 1.350 kelompok masyarakat sipil mendesak Komisi HAM PBB agar semua negara mengakui serta memenuhi hak warganya untuk hidup di lingkungan yang sehat. Maka, 8 Oktober 2021 menjadi tonggak penting untuk isu HAM karena semua pemerintah harus merealisasikan adanya lingkungan yang sehat demi keberlanjutan generasi mendatang.
Indonesia tidak ikut menandatangani dukungan terhadap usulan ini. Mungkin sudah merasa cukup telah mencantumkannya dalam Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup baik....” Meski demikian, realisasinya masih dirasa kurang memuaskan. Bahkan, putusan salah satu kasus gugatan warga atas polusi udara Jakarta baru-baru ini tidak menyatakan pemerintah melanggar HAM, tetapi hanya ”melakukan perbuatan melanggar hukum”.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan untuk mengurangi dan menghapuskan merkuri, diikuti peraturan menteri-menteri terkait, tetapi penegakan hukumnya sangat lemah. Misalnya, kasus pidana 2018, melibatkan seorang warga negara India. Merkuri sitaan sekitar 3,2 ton hilang dan hanya 600 kilogram yang berhasil diamankan. Kasus warga negara Sudan tahun 2017, ditindak pidana karena membeli 21 ton merkuri, sekitar Rp 21 miliar, untuk diekspor. Namun, dalam putusan akhir pengadilan hanya 14,6 ton merkuri sitaan yang disebut dan satu nama terpidana hilang dari berkas.
Sumber pencemaran terbesar merkuri, tambang emas rakyat atau tambang emas ilegal, terdapat di 190 kabupaten/kota. Artinya, pencemaran merkuri di Indonesia tersebar di 32 provinsi. Sedikitnya ada 12 juta orang berisiko terpajan merkuri. Penulis menemukan 5-10 persen anak-anak di lokasi-lokasi ini lahir dengan cacat mirip gejala korban Minamata. Diduga, mereka terpajan merkuri sejak dalam kandungan.
Studi literatur dan survei terbaru Bank Dunia mengungkapkan, konsentrasi merkuri dalam semua matriks lingkungan dan biomarker berada di atas angka aman. Studi-studi menunjukkan bahwa 70 persen rambut orang Indonesia memiliki konsentrasi di atas 1 ppm, angka aman yang ditetapkan WHO. Posisi ini ada di urutan kedua di dunia setelah Oceania, 79 persen.
Studi Steckling dkk (2017) menunjukkan bahwa 18-22 persen petambang Indonesia mengalami keracunan uap merkuri. Sedangkan Trasande dkk (2016) memperkirakan, setiap tahun Indonesia kehilangan ekonomi akibat pencemaran merkuri sekitar Rp 1,37 triliun sampai Rp 23,6 triliun.
Di Minamata, Chisso bertanggung jawab membayar kompensasi kepada para korban. Total sekitar 220 juta dollar AS telah dikeluarkan untuk membayar kompensasi. Pemulihan perairan Teluk Minamata selama 14 tahun, Chisso mengeluarkan dana 350 juta dollar AS. Ketika perusahaan mengaku pailit, `Pemerintah Jepang mengambil alih semua kewajiban Chisso.
Di Indonesia, pedagang dan pelaku pencemaran merkuri adalah rakyat biasa. Sampai hari ini jual-beli merkuri bisa ditemui dengan mudah di media sosial, terutama Facebook, serta toko daring yaitu Bukalapak, Tokopedia, dan lain-lain. Telepon penjual, alamat, rekening, serta foto-foto kemasan dan pengemasan disajikan dengan gamblang. Ada juga foto penjual merkuri berpose di atas tumpukan uang.
Di Indonesia, pedagang dan pelaku pencemaran merkuri adalah rakyat biasa. Sampai hari ini jual-beli merkuri bisa ditemui dengan mudah di media sosial.
Lalu, bagaimana keseriusan Pemerintah Indonesia harus diwujudkan? Bagaimana Indonesia sebagai tuan rumah COP 4 Konvensi Minamata akan mempertanggungjawabkannya di depan mata dunia? Konvensi akan dilakukan tahun ini di Bali, secara virtual, pada 1-5 November, dan tatap muka tahun depan.
Sebaiknya Indonesia berperan sebagai pelopor pelarangan perdagangan merkuri, terutama untuk tambang ilegal dan informal. Lalu, tingkatkan penegakan hukum, kawal dan eksekusi putusan pengadilan dengan konsisten. Penjual merkuri dan cukong-cukongnya harus dihukum dengan hukuman yang memiliki efek jera karena selain mendorong pencemaran lingkungan yang sulit dibersihkan, mereka juga mengakibatkan kecacatan permanen seumur hidup korban.
Pengadilan harus memutuskan merkuri sitaan untuk distabilkan, bukan dimusnahkan karena merkuri tak dapat dihancurkan. Merkuri yang telah distabilkan disimpan dalam drum sesuai dengan standar teknis atau ditimbun di TPA khusus untuk limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Belajar dari Minamata, biaya kesehatan dan pembersihan lahan tercemar merkuri sangat mahal. Pencemaran merkuri yang diabaikan akan berakumulasi dan tetap ada di lingkungan hingga ratusan tahun. Polusi merkuri akan tersebar ke tempat yang jauh dan mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan.
Mencegah pencemaran merkuri lebih mudah daripada membersihkannya dan mengobati penyakitnya. Sebagai Presiden COP 4 Konvensi Minamata, sesuai dengan mandat UUD 1945 dan Resolusi Komisi HAM PBB, saatnya Pemerintah Indonesia menunjukkan kesungguhan melaksanakan kewajiban memenuhi hak warganya untuk hidup di lingkungan yang sehat. Jangan ulangi tragedi Minamata.
Yuyun Ismawati Drwiega, Pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation