Tragedi Minamata Jepang Diperkirakan Akan Terulang di Pulau Buru
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pemerintah diminta membentuk crisis center untuk menangani pencemaran lingkungan akibat penggunaan merkuri dan sianida di sekitar lokasi tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, yang terdeteksi telah masuk ke tubuh manusia dan pangan. Langkah ini harus dilakukan sekarang sebelum jatuh korban seperti tragedi Minamata di Jepang puluhan tahun silam.
Demikian pandangan yang disampaikan Ketua Jurusan Kimia sekaligus peneliti logam berat Universitas Pattimura, Yusthinus T Malle, dalam diskusi yang digelar Komnas HAM Provinsi Maluku, di Ambon, Kamis (25/10/2018).
Peserta diskusi terbatas yang dihadiri, antara lain, Ketua Komnas HAM Maluku Benediktus Sarkol dan sejumlah dinas terkait Pemprov Maluku itu juga menyetujui usulan tersebut.
Menurut Yusthinus, crisis center itu akan memetakan titik yang tercemar merkuri. Sebanyak 13 daerah aliran sungai yang melewati 75 desa di Buru sudah tercemar. Sungai-sungai itu selama ini menjadi tempat pembuangan limbah pengolahan emas. Adapun pengolahan dimulai sejak Oktober 2011. Diperkirakan puluhan ribu ton merkuri sudah masuk ke aliran sungai.
Selain sungai, pencemaran juga terdeteksi di Teluk Kayeli, muara-muara sungai tersebut. Hasil laut seperti kepiting bakau dan ikan sudah tercemar. Di teluk itu pula tumbuh mangrove yang menjadi tempat ikan bertelur. Pencemaran tersebut meluas hingga ke pulau terdekat.
”Hasil temuan rekan peneliti kami, di Pulau Tiga ada ikan yang sudah terpapar merkuri. Hasil lengkapnya akan diumumkan nanti,” ujar Yusthinus.
Hasil temuan rekan peneliti kami, di Pulau Tiga ada ikan yang sudah terpapar merkuri. Hasil lengkapnya akan diumumkan nanti.
Ia menilai, pemerintah belum terlalu peduli pada kerusakan lingkungan. Belum ada langkah strategis yang diambil untuk melakukan deteksi dini dan pengobatan terhadap warga yang diduga telah terpapar merkuri. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk membenahi daerah itu karena aktivitas penambangan. Kegiatan penambangan liar oleh masyarakat dan pengolahan emas oleh sejumlah perusahaan telah ditutup.
Padahal, dampak kerusakan lingkungan sudah sangat memprihatinkan. Seperti yang diberitakan sebelumnya, pihak Kesehatan Kodam Pattimura yang menggandeng sejumlah dokter mengambil sampel darah warga di sekitar Gunung Botak pada Desember 2016.
Dari 23 orang yang diambil sampelnya, 22 orang memiliki kadar merkuri di dalam tubuh sudah melebihi ambang batas. Ambang batas dimaksud adalah 0,000010 gram dalam 1 liter darah (Kompas, 25/10/2018).
Sepertinya pemerintah menunggu ada korban; seakan-akan menunggu sampai ada anak yang lahir cacat akibat merkuri, barulah mereka bergerak. ”Jika hal itu terjadi, pasti sudah terlambat sebab kejadian itu merupakan puncak gunung es meski memang tidak berharap hal itu terjadi. Namun, dari sejumlah gejala yang ada, rupanya akan sulit dihindari jika tidak ada langkah cepat,” katanya.
Benediktus Sarkol menilai, hal tersebut merupakan bentuk kegagalan negara. Negara gagal melindungi hak hidup warga negaranya. Pembiaran negara merupakan bentuk pelanggaran HAM.
”Yang menanggung semua ini adalah generasi masa depan negara. Ini yang sangat disayangkan. Negara dengan segala kewenangan yang ada tidak bisa berbuat apa-apa,” lanjutnya.