Abdulrazak Gurnah, peraih Nobel Sastra 2021, pintar membangun imajinasi publik. Dalam novel “Paradise”, dia mengangkat kisah Nabi Yusuf yang digarap dalam konteks kekinian, menggugat persoalan prinsipil soal tuan-budak.
Oleh
CHUDORI SUKRA
·5 menit baca
Hadiah Nobel Sastra 2021 diraih oleh novelis asal Tanzania, Abdulrazak Gurnah. Ia dikenal fasih menuturkan nasib dan kegetiran hidup yang dialami oleh jiwa-jiwa manusia terjajah. Komite Nobel menyebutkan kemahirannya merangkai kata-kata yang penuh belas-kasih terhadap efek kolonialisme, termasuk nasib hidup para pengungsi.
Novel Gurnah berjudul Paradise (1994) adalah karya sastra yang mengantarkan namanya dikenal secara internasional. Sebenarnya karya tersebut dibangun berdasarkan referensi intertekstual dari gabungan beberapa karya sastra klasik, termasuk kisah Nabi Yusuf dalam Al Quran, juga karya Joseph Conrad berjudul Heart of Darkness.
Sebagaimana penuturan dalam adegan film Nomadland, Gurnah juga sangat mahir mengeksplorasi pengalaman pengungsi dalam novelnya yang berjudul Admiring Silence (1996) dan By the Sea (2001), yang bertema tentang citra diri manusia, berikut identitas kehadirannya di permukaan bumi ini. Dua novel tersebut ditulis bagaikan sebuah otobiografi tentang perjalanan seorang laki-laki dari Zanzibar (kini menjadi bagian dari Tanzania) yang melarikan diri ke Inggris dan berbohong tentang masa lalunya di Afrika guna melindungi dirinya dari rasisme dan sektarianisme kesukuan.
Novel terbaru Gurnah (2020) berjudul Afterlives menggambarkan tokoh yang menyelamatkan diri dari keganasan rasisme, mengingatkan kita pada tokoh Haris dalam novel Pikiran Orang Indonesia, yang kemudian menolak kultur peradaban yang dibangun rezim Orde Baru yang bersikukuh menegakkan sistem ”right or wrong is my country”. Nalar dan akal sehat semakin mengetuk rasa kemanusiaan, hingga pada akhirnya setiap manusia beradab harus berani menegakkan prinsip ”right or wrong is right or wrong”.
Dua novel Gurnah yang terkenal dan mendunia adalah Paradise dan Admiring Silence. Keduanya mengambil latar waktu di awal abad ke-20, sesaat sebelum runtuhnya pemerintah kolonial Jerman di Afrika Timur pada tahun 1919. Di usianya yang ke-70, Gurnah memutuskan untuk fokus menulis setelah pensiun dari posisinya sebagai Profesor Sastra Inggris dan Pascakolonial di University of Kent, Centerbury.
Gurnah sebenarnya bukanlah kandidat favorit yang akan memenangi penghargaan Nobel Sastra tahun ini. Ada nama-nama besar lainnya yang selama ini digadang-gadang, di antaranya Haruki Murakami (Jepang), Annie Ernaux (Perancis), dan Margaret Atwood (Kanada).
Universalitas novel ”Paradise”
Abdulrazak Gurnah pintar membangun imajinasi publik. Dalam novel Paradise (1994), tokoh-tokoh yang ditampilkan sudah dikenal oleh separuh penduduk bumi yang menganut keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme), yakni kisah Nabi Yusuf (Josef). Baik mereka yang beragama Kristen, Yahudi, maupun Islam sangat mengenal tokoh sentral ini. Kisah ini kemudian dipoles dalam konteks kekinian (abad ke-20) dalam setting lokasi di wilayah Afrika Timur dan sekitarnya.
Ketika jauh dari keluarganya, Yusuf digadaikan sebagai budak kepada saudagar kaya-raya (Paman Aziz) untuk membayar utang-utang ayahnya. Ia pun ikut mengembara dan berkelana bersama majikannya, mengikuti rombongan karavan untuk berdagang.
Perjalanan melintasi Benua Afrika yang penuh keindahan surgawi justru membuat Yusuf terperangkap dalam ketertindasan dan perbudakan.
Perjalanan melintasi Benua Afrika yang penuh keindahan surgawi justru membuat Yusuf terperangkap dalam ketertindasan dan perbudakan. Pergolakan dan perebutan kekuasaan yang terjadi membuat rombongan karavan Yusuf harus berhati-hati dan waspada selalu. Pengalaman hidup yang serba diselubungi intrik politik membuat kepribadian Yusuf semakin matang dan dewasa.
Ia menyaksikan bagaimana pola hidup masyarakat yang masih diselubungi takhayul dan khurafat, tak terkecuali kalangan senimannya. Yusuf belajar banyak tentang kehidupan saat ia memasuki dunia yang penuh pertikaian dan pergolakan politik antarsuku, agama, ras, dan antargolongan. Ia memasuki hari-hari ketika diselubungi kehidupan masyarakat yang hanya memberlakukan sistem antara tuan dan budak, termasuk kalangan elite politik yang sama saja mendasarkan diri pada aturan sang induk semang yang memerintah para abdinya.
Relevansinya dengan pandemi
Yusuf juga memasuki hari-hari ketika wabah menyerang penduduk Afrika Timur, identik dengan situasi pandemi Covid-19 yang melanda kehidupan manusia saat ini. Setiap suku membangun karakter dan aturannya sendiri. Bahkan, salah seorang tokoh dalam rombongan karavan memberikan kesaksian, ”Di wilayah ini berlaku aturan baku bahwa ketika seseorang akan berkuasa, ia harus menjadi jawara penuh, dengan syarat berburu singa, membunuhnya kemudian menyantap kemaluannya. Ia hanya diperbolehkan menikahi perempuan setelah berhasil menyantap penis singa. Dan semakin banyak penis yang ia makan, semakin terpandanglah kedudukannya di mata masyarakat.”
Ketika Islam maupun Kristen disebarkan kepada komunitas suku tersebut, mereka menjadikan agama monoteis itu sebagai guyonan dan cemoohan. Bagi mereka, toh para pemeluk agama itu saling bertikai dan menumpahkan darah antara satu dan yang lainnya.
Ketika Islam maupun Kristen disebarkan kepada komunitas suku tersebut, mereka menjadikan agama monoteis itu sebagai guyonan dan cemoohan.
Abdulrazak Gurnah juga menggambarkan adanya tokoh perlawanan kepala suku yang mengobarkan kebencian terhadap ajaran monoteisme (keesaan Tuhan). ”Dengan mata kuning dan penuh amarah, orang-orang itu terlatih untuk memburu orang Islam. Jika kau paham gonggongan amarahnya, mereka itu sedang mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai daging para penyembah Allah. Karena itu, bawakan daging orang Islam untukku, dan aku akan menyantapnya hingga habis.”
Sikap resisten dari sebagian rombongan karavan terhadap adat dan tradisi mereka (yang dianggap kafir) tidak pernah menyelesaikan masalah. Ditambah dengan kehadiran kolonialisme Eropa yang terang-terangan mengobarkan perang terhadap mereka, telah menciptakan kengerian baru yang tak terbayangkan.
Yusuf menyaksikan fenomena tersebut, hingga kemudian ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh, tampan, dan perkasa. Banyak wanita yang jatuh cinta, bahkan tergila-gila kepadanya, termasuk Sang Nyonya, istri pertama Paman Aziz, meskipun hati Yusuf telah tertambat pada Amina, pelayan Sang Nyonya.
Novel Paradise yang membuat nama Gurnah dikenal secara internasional, dan digarap dalam konteks kekinian, seakan menggugat persoalan prinsipil dan abadi, mengapa kehidupan manusia—dari zaman ke zaman—selalu saja tergenangi oleh permasalahan tuan dan budak. Dan keberadaan Yusuf dan orang baik seakan dipaksa hadir dan mengada dalam tugas membenahi kesemrawutan dan kesewenangan itu.
Inilah pesan moral (moral message) yang bernilai abadi dan universal dari karya-karya Abdulrazak Gurnah. Meskipun Paradise diterbitkan sejak tahun 1994, dalam mencerna dan menelaah karya sastra, senantiasa kita diingatkan bahwa sesuatu yang ditulis kemarin justru lebih aktual ketimbang hari ini, terlebih jika sastrawan dan seniman Indonesia hanya menyibukkan diri dengan bergerombol dan mencaci-maki sana-sini.
Chudori Sukra, Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten