Cerita Sepiring Nasi Goreng
Percakapan dengan Tigor mengingatkan saya pada ungkapan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, ”Selesaikan tugas dengan penuh kejujuran karena kita masih bisa makan dengan nasi garam (goreng).”
”Korupsi sudah dalam kondisi yang sangat parah, seperti penyakit stadium empat. Kita tidak mau negara terus-terusan seperti ini....”
Prabowo Subianto, 29 Maret 2019
Pernyataan calon presiden Prabowo Subianto, 29 Maret 2019, terngiang saat saya ngobrol hampir satu jam dengan Juliandi Tigor Simanjuntak. Tigor—demikian dia dipanggil—menjadi pegawai KPK melalui program Indonesia Memanggil 3.
Tigor adalah orang di belakang layar dan di depan layar pengadilan saat KPK menghadapi permohonan praperadilan dari tersangka KPK. Tigor dan tim menghadapi permohonan praperadilan Budi Gunawan, praperadilan Hadi Purnomo. Dan, KPK kalah. Tigor adalah anggota tim yang membikin opini hukum untuk pimpinan KPK di era Agus Rahardjo dan kawan-kawan terkait revisi UU KPK yang kemudian jadi kontroversi hingga kini.
Sebanyak 57 pegawai KPK yang tak lolos seleksi tes wawasan kebangsaan (TWK) dicap merah dan tidak bisa dibina lagi. Tigor dan kawan-kawan berjuang ke Ombudsman, ke Komisi Nasional HAM, sampai akhirnya Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo atas persetujuan Presiden Joko Widodo menawari mereka jadi aparatur sipil negara di lingkungan Polri. Rekomendasi komisi negara belum ada kelanjutannya. Tawaran Kapolri atas persetujuan Presiden Jokowi adalah jalan tengah.
Tigor bercerita. Seorang rekannya dibatalkan bekerja karena perusahaan mengetahui rekannya adalah termasuk kelompok 57 yang sudah dilabeli merah dan dinyatakan tak bisa dibina lagi. Ia memilih berjualan nasi goreng dengan modal Rp 8 juta bersama rekan segerejanya. ”Ini bukan pencitraan. Saya harus mengisi hidup saya. Hidup tak selalu di atas, tak selalu di bawah. Saya jalani saja dengan satu prinsip halal dan jujur,” katanya.
Ngobrol dengan Tigor, Andre Dedy Nainggolan, dan Giri Suprapdiono membenarkan pernyataan Prabowo saat Pilpres 2019, bahwa korupsi di Indonesia berada di stadium empat. Bantuan sosial dikorupsi. Di Probolinggo, Jawa Timur, bupati ditangkap karena dituduh memperjualbelikan kursi kepala desa. SK kementerian digunakan untuk mendapatkan komisi dan memperkaya pundi-pundi.
Baca juga: Hoegeng adalah Simbol Kejujuran
Pembangunan infrastruktur dijadikan dasar mendapat komisi. Pimpinan DPR diduga bisa ikut mengatur perkara di KPK dan menempatkan orang- orangnya. Ayah dan anak, istri dan suami, sama-sama masuk penjara karena korupsi. Komisioner KPK membocorkan informasi perkara KPK kepada tersangka. Komisioner ikut mengarahkan pengacara untuk tersangka. Penyidik ikut bermain perkara. Penyidik dipecat, tetapi komisioner seperti ”dilindungi”.
Aktivis yang awalnya gigih berjuang melawan korupsi, berjuang untuk penghormatan hak asasi manusia, berjuang untuk kebebasan berbicara seperti mulai kelelahan dan kehabisan energi, dan mendekat ke kekuasaan. Masyarakat sipil menghadapi situasi yang tidak mudah. Ada keengganan atau malas untuk protes. Ada risiko terbayang.
Itulah sebagian wajah kita. Ada kesuksesan dalam menangani pandemi Covid-19. Ada gemebyar pelaksanaan PON di Papua yang membanggakan dan baru pertama kali digelar di Papua dalam sejarah Indonesia. Kembalinya Piala Thomas, tanpa kibaran bendera Merah Putih, setelah 19 tahun ada di luar negeri. Ada perkembangan dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia memegang Presidensi G-20. Itulah warisan Presiden Jokowi.
Tapi, ada kedodoran di tempat lain. Perjuangan melawan korupsi tidak mudah. Benar kata Prabowo. ”Kalau lemah, terlalu banyak korupsi, jual beli jabatan, negara akan lemah. Kami akan memperkuat lembaga pemerintah, kami akan memperbaiki kesejahteraan seluruh aparat pemerintah,” tegas Prabowo, 29 Maret 2019.
Sinyalemen Prabowo itu terbukti. Jual beli jabatan terjadi. Politik penuntutan terasa lemah menghadapi koruptor. Juliari Batubara (kader PDI-P) dan Edhy Prabowo (kader Gerindra) juga ikut korupsi. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin juga ditangkap KPK. Kursi lurah dilelang dengan harga Rp 20 juta. Apa dampaknya? Kepala desa pasti akan berupaya meraup dana dalam urusan publik.
Korupsi telah menjadi endemi bangsa sejak zaman VOC. Perlu penelitian mendalam kenapa korupsi terjadi di negeri ini. Kenapa pula pemimpin yang kuat beretorika soal korupsi, kadang lemah dalam implementasi.
Ada pepatah Latin. Honores mutant mores. Yang kira-kira bermakna, kedudukan dan jabatan mengubah perilaku seseorang. Para aktivis tak lagi bersuara keras soal bahaya korupsi. Mungkin hanya satu atau dua orang yang bersuara dan dia harus menghadapi risiko. Partai politik pun merasa kondisinya baik-baik saja. Di lapangan terdengar seloroh, ”Yang penting semua hepi. Kita bagi-bagi.”
Penelitian soal korupsi, soal manusia Indonesia, seperti pernah ditulis Mochtar Lubis, mungkin bisa jadi salah satu prioritas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang baru mendapat energi baru dengan dilantiknya Dewan Pengarah BRIN. Riset untuk mencari jawaban mengapa korupsi tak bisa enyah dari negeri ini. Apakah korupsi soal kebudayaan sebagaimana pernah dikatakan proklamator Mohammad Hatta? Apakah soal lemahnya penegakan hukum? Atau soal apa?
Jika bangsa ini bisa membuat peta jalan mengatasi dan hidup bersama pandemi Covid-19 seperti dikerjakan antara lain oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan menteri lainnya, rasanya peta jalan Indonesia bebas korupsi yang jadi komorbid bangsa bisa juga dibuat dan diimplementasikan.
Boleh jadi tokoh seperti BGS—panggilan akrab Budi Gunadi Sadikin—bisa diminta membantu membuat peta jalan Indonesia dalam penanggulangan korupsi. BGS adalah bankir, seorang teknokrat berlatar belakang fisika nuklir, sangat digital, punya prinsip kerja challenge and response, serta tidak partisan, bisa mencurahkan pikirannya membuat peta jalan itu.
Mengutip Bestialisasi Korupsi, di Kompas, 5 Desember 2011, Sindhunata menulis, ”Kebohongan, keserakahan, dan kepalsuan adalah ’bawah sadar’ di balik korupsi, yang habis-habisan menggerogoti bangsa ini. ’Bawah sadar’ itu sedemikian kuat berakar dalam diri para pelaku korupsi, sampai ’bawah sadar’ itu menjadi semacam naluri yang harus ditaati dan dituruti. Korupsi telah menggerogoti nurani manusia, dan mendegradasikannya jadi sekadar naluri yang tak tahu malu meski dirinya bohong, serakah, dan palsu.”
Lihat juga: ”Back To BDM” Bersama Tigor Simanjuntak: Nasi Goreng Jawaban atas Label Merah
Tanpa terasa hari sudah sore. Saya tak ingin terlalu lama mengganggu waktu Tigor karena warung nasi gorengnya harus ngepul. Sepiring nasi goreng membuka cerita bagaimana korupsi dilakukan dan bagaimana negeri telah jadi rayahan koruptor seperti ditulis di Tajuk Kompas, 18 Oktober 2021.
Percakapan dengan Tigor mengingatkan saya pada ungkapan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, ”Selesaikan tugas dengan penuh kejujuran karena kita masih bisa makan dengan nasi garam (goreng).” Bantu negeri dengan tidak korupsi.