Teori Keadilan
Filsuf politik John Rawls dalam ”A Theory of Justice” membuat perenungan yang cukup mendalam untuk membicarakan keadilan. Keadilan dipandang sebagai penjelasan struktur dasar yang layak sebagai kebajikan menjadi adil.
John Rawls (1921-2002) merupakan seorang filsuf politik yang lahir di Amerika Serikat. Kedua orangtua Rawls sangat tertarik pada politik, dan ibunya sering berkampanye untuk mempertahankan hak-hak perempuan dengan Liga Pemilih Perempuan.
Ia menempuh pendidikan di Princeton University dan berhasil mendapatkan gelar sarjana, menyelesaikan BA dalam filsafat pada musim gugur 1943. Meskipun sempat berpikir sekolah seminari untuk mendalami agama setelah kuliah, ia memilih mendaftar tentara. Kemudian, ia bertugas dengan unit intelijen dan pengintaian di teater Pasifik selama dua tahun. Rawls menyelesaikan gelar PhD pada 1950 dan menulis disertasinya mengenai filsafat moral.
Setelah mengajar dan memperpanjang studinya selama dua tahun di Princeton University, Rawls memenangi beasiswa Fulbright untuk menempuh pendidikan di Oxford pada tahun akademik 1952-1953. Di sana ia bertemu HLA Hart, Isaiah Berlin, Stuart Hampshire, RM Hare, dan beberapa filsuf besar lainnya saat itu, yang sangat memengaruhi perkembangan pandangan pribadinya.
Dia kemudian menjadi profesor tamu di Universitas Harvard (1959-1960), profesor di Massachusetts Institute of Technology (1960-1962), dan akhirnya menjadi anggota tetap di fakultas departemen filsafat di Harvard sejak 1962 hingga pensiun pada 1991. Rawls meninggal pada 2002.
Karier Rawls semasa hidupnya dianggap sebagai periode yang sangat penting, baik dalam sejarah intelektual filsafat politik dan moral maupun dalam sejarah politik dan sosial di Amerika Serikat. Ide-ide inti yang kemudian menjadi dasar dari pembahasan buku A Theory of Justice dikembangkannya selama waktunya di Cornell University pada 1950-an.
Baca juga : Keadilan Rakyat
A Theory of Justice merupakan karya yang fenomenal pada perkembangan filsafat kontemporer di mana Rawls membuat perenungan yang cukup mendalam untuk membicarakan apa itu keadilan. Mengingat karya John Rawls satu ini merupakan karya yang cukup berat dan tebal, berisi ide-ide yang cukup sulit dicerna, petunjuk dari seorang pemikir bernama Lovett ini barangkali dapat membantu memberikan konteks untuk dapat memahami ide-ide dari Rawls.
John Rawls membangun pandangannya melalui dua teori moral dan filsafat politik. Pertama melalui teori utilitarianisme dan kedua melalui apa yang ia sebut sebagai teori basic structure.
Utilitarianisme merupakan suatu pandangan filsafat yang memandang bahwa keadilan harus didistribusikan pada jumlah kebahagiaan yang paling banyak dan penderitaan paling sedikit. Dalam hal ini, Lovett berpandangan bahwa utilitarianisme menjadi pemikiran yang paling kuat atau rumit, tetapi di waktu yang sama banyak orang mengakui bahwa utilitarianisme memiliki pemikiran yang menjanjikan.
Lovett mengajak kita untuk membayangkan sebuah masyarakat yang mana minoritas kecil dari populasinya dalam suasana perbudakan. Para budak itu tentu saja merasa tidak bahagia, tetapi masyarakat lainnya yang bukan budak memiliki kebahagiaan yang lebih baik dibandingkan para budak itu karena para budak itu telah diatur untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat untuk masyarakat luas.
Di sini letak permasalahannya. Di sini terlihat bagaimana ketidakbahagiaan budak-budak itu melahirkan kebahagiaan yang lebih banyak dalam masyarakat luas. Dan dalam masyarakat tersebut seakan-akan terlihat bahwa utilitarianisme mendukung institusi perbudakan. Haruskah keadilan atau ketidakadilan dari para budak bergantung pada angka yang tampak (kebahagiaan masyarakat)?
Haruskah keadilan atau ketidakadilan dari para budak bergantung pada angka yang tampak (kebahagiaan masyarakat)?
Menurut Lovett, banyak orang yang memiliki intuisi moral yang kuat berkata tidak. Baginya ini tidak penting apakah kebahagiaan dari mayoritas lebih penting dari ketidakbahagiaan dari para budak, apalagi sejak terdapat kesadaran bahwa perbudakan terhadap manusia merupakan sebuah hal yang salah dengan sendirinya. Terdapat kesulitan di sini, bahwa hal ini tidak lebih dari intuisi dan hal ini yang membawa kita pada sebuah teori filsafat moral dan politik yang disebut sebagai intuisionisme.
Intuisionisme ternyata tidak menjadi teori sama sekali, sama seperti nama yang kita berikan untuk sebuah intuisi moral yang campur aduk dan tidak sistematis yang kebetulan kita miliki. Intuisionisme tidak berharap untuk mengalahkan utilitarianisme karena ini tidak menjawab apa yang harus kita lakukan dalam banyak kasus di mana intuisi kita kompleks; tidak lengkap, tidak jelas, atau lebih parahnya bertentangan dengan lainnya. Menurut Rawls, kita memerlukan teori yang lebih baik, teori yang lebih kuat dan sistematis seperti utilitarianisme, tetapi lebih memungkinkan untuk memberikan ruang pada intuisi moral kita, misalnya intuisi bahwa perbudakan secara intrinsik salah.
Menurut Lovett, terdapat ide yang memungkinkan untuk memenuhi kriteria teori yang diinginkan oleh Rawls, yakni ide yang disebut sebagai ”a system of cooperation”. Ide ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Terdapat tiga orang sahabat yang mau membuat sebuah perusahaan bersama: orang yang pertama sebagai desainer produk, yang kedua ahli pemasaran, dan ketiga akuntan berpengalaman.
Jika bekerja sama, mereka akan sukses dan mendapatkan banyak uang. Sebaliknya, mereka tidak bisa sukses jika bekerja sendiri-sendiri atau berkompetisi satu sama lain. Maka dari itu, mereka seharusnya bekerja sama, tetapi di satu titik mereka harus memutuskan bagaimana membagi keuntungan dari perusahaan mereka itu.
Baca juga : Berkolaborasi untuk Bangkit
Bagaimana aturan yang bagus untuk melakukan ini? Sang desainer bisa berargumen bahwa tanpa sebuah produk, tidak akan ada yang dijual. Kontribusinya sangat fundamental di sini, maka ia harus menerima bagian terbesar dari keuntungannya. Sebaliknya, sang jago pemasaran dapat berargumen bahwa tanpa usahanya, mereka tidak akan memiliki pembeli dan artinya tidak ada keuntungan, maka pembagian keuntungannya haruslah lebih besar. Begitu pula pada sang akuntan dan seterusnya.
Maka, yang paling perlu menjadi perhatian di sini adalah mereka semua harus menyetujui sebuah aturan, karena tidak akan ada kerja sama yang seharusnya, dan tidak akan ada keuntungan yang dibagikan jika tanpa aturan. Namun, dalam waktu yang bersamaan, mereka mungkin harus berkonflik mengenai aturan apa yang harus mereka setujui jika perbedaan aturan akan menguntungkan pihak yang berbeda. Kerja sama mereka haruslah menguntungkan sesama pihak, sementara di waktu yang bersamaan terdapat potensi ketidaksetujuan.
Bagi Rawls, kita dapat memikirkan masyarakat dengan jalan yang sama meskipun dalam sebuah skala yang lebih luas dan kompleks. Menurut dia, sebuah masyarakat adalah yang kurang lebih merupakan sebuah asosiasi mandiri dari seseorang yang dalam hubungannya dengan yang lain mengakui aturan perilaku tertentu sebagai pengikat dan yang sebagian besar bertindak sesuai dengan mereka.
Lebih lanjut aturan tersebut secara spesifik merupakan sebuah sistem kooperatif yang dirancang untuk memberikan kebaikan bagi siapa saja yang mengambil bagian di dalamnya. Maka dari itu, meskipun sebuah masyarakat adalah sebuah usaha kooperatif untuk keuntungan bersama, tetap saja ditandai dengan konflik berdasarkan kepentingan identitas.
Lovett mengajak kita untuk mempertimbangkan ini, misalnya bagaimana pekerjaan diisi dalam berbagai masyarakat. Dalam masyarakat feodal, pekerjaan sering diisi berdasarkan kelahiran, jika seseorang ayahnya merupakan pandai besi, maka ia juga merupakan pandai besi; jika seseorang yang ayahnya merupakan petani, maka ia juga seorang petani, dan semacamnya.
Dalam masyarakat dengan ekonomi yang terpusat di pemerintah, pekerjaan diisi sesuai dengan rencana pemerintah, siapa saja yang menginginkan pekerjaan akan melalui tes kemampuan dan kebutuhan dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat kapitalisme, pekerjaan diisi melalui mekanisme pasar buruh, tidak hanya diatur oleh hukum permintaan dan penawaran, tetapi juga oleh regulasi buruh, lisensi, dan sebagainya.
Dalam masyarakat dengan ekonomi yang terpusat di pemerintah, pekerjaan diisi sesuai dengan rencana pemerintah.
Contoh-contoh tersebut merupakan bentuk dari ”rules of conduct” yang secara spesifik merupakan ”a system of cooperation” dalam pikiran Rawls. Sejak aturan tersebut mendorong kebaikan bagi siapa saja yang terlibat, misalnya kita mendapatkan manfaat dari aturan pembagian lapangan kerja, kita dapat mengakui masyarakat sebagai sebuah usaha kooperatif untuk keuntungan bersama. Tetapi, pada waktu yang bersamaan, sejak satu konfigurasi dari aturan mungkin sama disukai sejumlah orang dan sebuah perbedaan konfigurasi lainnya, masyarakat tetap ditandai oleh sebuah konflik berdasarkan sebuah kepentingan identitas. Menurut Lovett, tantangannya terletak dalam memutuskan sistem kooperatif yang terbaik untuk semua.
Struktur dasar masyarakat
Gagasan kedua yang disampaikan Rawls menyinggung tentang apa yang disebutnya dengan ”struktur dasar suatu masyarakat”, yang didefinisikan lebih spesifik sebagai cara di mana ”lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban fundamental dan menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial”.
Sebagai perumpamaan yang sederhana, katakanlah ada dua anggota masyarakat, Rosi dan Tuti. Dengan anggapan bahwa mereka memiliki kecerdasan dan keterampilan yang sama, tetapi Rosi memiliki karakter pekerja keras, sedangkan Tuti berkebalikan dengan Rosi; pemalas.
Apabila dirunut dalam pandangan yang konvensional bahwa siapa di antara keduanya yang akan menjadi lebih baik, kita mungkin akan berasumsi Rosi yang terbaik. Realitasnya, hal ini tidak selalu terjadi; bergantung pada masyarakat seperti apa yang mereka tinggali.
Pada kasus ini, katakanlah Rosi lahir sebagai petani kemudian tinggal dengan lingkungan masyarakat feodal, sedangkan Tuti merupakan bangsawan terpandang. Bilamana Rosi melakukan lebih banyak upaya ketimbang Tuti, hidupnya mungkin akan berjalan jauh lebih buruk atau tidak selaras dengan usaha yang diupayakannya daripada Tuti, begitupun apabila sebaliknya hal itu terjadi.
Hal ini bukan serta-merta untuk mengatakan bahwa upaya individu tidak berarti apa-apa. Rosi mungkin akan melakukan yang lebih baik untuk dirinya sendiri dengan bekerja keras daripada sebaliknya, yang hendak disampaikan hanyalah bahwa organisasi masyarakat tertentu akan sering memainkan peran yang cukup besar. Begitulah yang dimaksud Rawls dalam hal struktur dasar masyarakat, bahwa ia merupakan seperangkat pranata dan praktik sosial yang secara sistematis memengaruhi seberapa baik kehidupan kita dapat diharapkan, terlepas dari upaya individu.
Baca juga : Catatan tentang Keadilan Sosial
Lembaga-lembaga yang hadir dalam praktik ini cukup jelas mencakup hal-hal seperti pemerintahan dan undang-undang, tetapi mereka juga mencakup beberapa hal yang kurang jelas, seperti organisasi ekonomi. Sebagai contoh, anggaplah Rosi kebetulan memiliki bakat alami untuk melakukan tembakan tiga point shoot konsisten dalam basket. Sebagian dari keberuntungan hidupnya akan bergantung sebagian pada upaya yang ia lakukan untuk mengembangkan bakat ini, tetapi sebagian lagi akan bergantung pada struktur ekonomi ini, bilamana ada pasar bebas terbuka untuk permainan basket.
Kemudian dalam beberapa kasus yang bersinggungan langsung dengan masyarakat adalah kondisi budaya, contohnya anggaplah Tuti lahir dalam masyarakat yang cenderung seksis. Bahkan, bilamana perbuatan seksisme ini gencar terjadi di ruang publik ataupun privat sekalipun, hal ini tidak tecermin dalam undang-undang dan kebijakan resmi.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa gagasan mengenai struktur dasar masyarakat adalah sesuatu yang sangat luas dan abstrak; ia mencakup semua institusi dan praktik hukum, ekonomi, dan budaya yang bersama-sama membentuk kondisi latar belakang atau lingkungan sosial di mana anggota individu dari suatu masyarakat menjalani kehidupan mereka sebaik mungkin, menurut rancangan mereka sendiri. Hal ini tampak mempersempit perselisihan gagasan dengan utilitarianisme yang sering ditafsirkan bukan hanya sebagai teori tentang bagaimana masyarakat harus diorganisasikan, tetapi memang sebagai filsafat moral yang lengkap. Artinya, kita mungkin menganggap utilitarianisme tidak hanya sebagai jawaban atas apakah institusi perbudakan dapat diterima atau tidak, tetapi juga sebagai jawaban apakah saya harus berbohong kepada seorang teman untuk melindungi perasaannya, atau apakah saya harus membelanjakan kenaikan gaji saya untuk membeli mobil baru atau menyumbangkannya untuk amal, dan seterusnya.
Namun, yang terpenting mengenai gagasan A Theory of Justice adalah membahas utilitarianisme dalam arti sempit, yakni sebagai teori tentang apa yang bisa disebut keadilan sosial. Artinya, jika kita menganggap masyarakat sebagai sistem kerja sama yang saling menguntungkan dan jika kita memikirkan struktur dasar masyarakat itu sebagai pengaturan syarat utama kerja sama, kita mungkin memikirkan teori sosial.
Keadilan dipandang sebagai penjelasan struktur dasar yang layak sebagai kebajikan menjadi adil. Struktur dasarnya mengacu pada ”subyek keadilan”. Kemudian dari sudut pandang inilah, teori utilitarianisme yang menurutnya struktur paling dasar akan cenderung memaksimalkan jumlah kebahagiaan anggota masyarakat, mengalkulasikan kebahagiaan setiap anggota secara setara, tanpa mengkhawatirkan apakah utilitarianisme dapat memberikan penjelasan yang masuk akal tentang moralitas secara umum.
Teori keadilan sosial Rawls mengacu kepada apa yang penulis kutip, yakni ”Keadilan pada dasarnya didasarkan pada ide yang sama. Kita tidak mengetahui peran khusus dalam sistem kerja sama masyarakat itu nanti.”
Artinya, Rosi mungkin saja menjadi bangsawan terpandang, atau Tuti mungkin menjadi pemulung jalanan di trotoar jembatan. Pertanyaannya kemudian adalah masyarakat seperti apa yang ingin mereka tinggali, apabila mereka sepakat tidak mengetahui, maka jawaban kita atas pertanyaan ini memberi kita gambaran tentang bagaimana kemudian masyarakat yang adil itu muncul.
Baca juga : Membangun Kehidupan yang Berkeadilan
Selain itu, Rawls pertama kali menarik gagasan ini melalui pandangan Locke tentang gagasannya dalam kontrak sosial. Namun, ia berhasil membuang halaman historis yang pernah dikaitkan dengan doktrin itu, bahwa kita tidak perlu membayangkan orang pernah hidup dalam keadaan alami, atau bahwa orang pernah hidup untuk keadilan tersebut.
Pandangan Rawls terhadap gagasan kontrak sosial berbeda dengan para pemikir yang mendahuluinya. Alih-alih berfokus pada sebuah bentuk negara, kontrak sosial menurut pandangan Rawls adalah kesepakatan mengenai struktur dasar masyarakat itu sendiri. Struktur dasar masyarakat ini didapatkan dari gagasan posisi asali. Posisi asali harus bebas dari keberpihakan dan bias, misalnya bias dari peran sosial.
Untuk menjamin metode ini berhasil, kriteria yang imparsial ini dilakukan dengan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Selubung ketidaktahuan ini terilhami dari hukum moral Kantian. Hal ini disebabkan Rawls menginginkan hukum-hukum yang universal sebagai fondasi dari struktur dasar masyarakat. Dengan selubung ketidaktahuan inilah, bagi Rawls, prinsip-prinsip utilitarian akan tergantikan dengan prinsip-prinsip justice as fairness.
Eko Wijayanto, Dosen Filsafat UI