Mutiara Seni Rakyat di Kaki Gunung Sumbing
Dia memang tidak pernah menerima anugerah kebudayaan dan sejenisnya, tetapi masyarakat mencintainya. Ki Legowo membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang ingin belajar wayang kulit Kedu Temanggungan.
Wayang Kedu saat ini bisa dikatakan tersisih oleh hiruk pikuk zaman. Akan tetapi, muncul harapan ketika kaum muda milenial dan remaja generasi Z ramai-ramai belajar Wayang Kedu langsung pada dalang senior. Dan itulah yang terjadi di sebuah dusun di kaki Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah.
Gamelan terdengar bertalu-talu, dari pagi hingga jelang petang di Dusun Rowo Wetan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dusun itu terletak sekitar sembilan kilometer dari alun-alun Kabupaten Temanggung, titik pusat kabupaten penghasil tembakau itu.
Di dusun itu, selama seminggu pada 4-10 Oktober 2021, kaum muda memperdalam pengetahuan tentang Wayang Kedu langsung dari ”maestro”-nya, yaitu Ki Legowo Cipto Karsono (62), seorang dalang senior yang juga pembuat wayang kulit gagrag atau gaya Kedu Temanggungan.
Di antara mereka ada yang otodidak dalam pembuatan wayang kulit. Bahkan, ada yang belajar dari Youtube. Sebuah ironisme sekaligus keniscayaan zaman.
Sebanyak 30 kaum muda mengikuti program Belajar Bersama Maestro yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pada program tersebut dihadirkan pula Ki Blacius Subono, dalang wayang kulit gagrag Surakarta yang juga komposer gending.
Mereka mempelajari berbagai aspek Wayang Kedu, seperti pedalangan, karawitan, dan tatah sungging atau pembuatan wayang kulit. Di antara mereka ada yang otodidak dalam pembuatan wayang kulit. Bahkan, ada yang belajar dari Youtube. Sebuah ironisme sekaligus keniscayaan zaman.
Orang bisa belajar dari mana saja, termasuk secara virtual, sementara di desa hidup maestro yang seumur hidupnya menggeluti pembuatan wayang kulit dan mendalang. Mereka sejak pagi mendapat bimbingan langsung dari Ki Legowo yang dengan sabar mengarahkan para remaja untuk menatah kulit kerbau sebagai bahan pembuatan wayang kulit.
Peserta lain mendalami seni pedalangan langsung dari Ki Legowo, dibantu asisten Gunawan Purwoko yang adalah putra Ki Legowo. Kaum milenial itu antara lain belajar teknik memainkan wayang, seperti cepengan atau cara memegang wayang. Anak-anak muda itu juga berlatih sabetan atau cara menggerakkan wayang kulit supaya tampak hidup dan menarik ditonton.
Mereka juga belajar gunem atau semacam dialog dari tokoh-tokoh wayang, lengkap dengan karakter dan ekspresi tokoh wayang sesuai lakon. Mereka juga belajar tata gending pengiring pergelaran wayang kulit yang merupakan satu kesatuan dalam pergelaran wayang kulit. Mereka belajar di bawah arahan Ki Legowo, Ki Subono, dan Gunawan Purwoko, sarjana seni lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang berprofesi sebagai dalang.
Budaya agraris
Wayang kulit Kedu Temanggungan merupakan salah satu gagrag atau gaya wayang kulit yang tumbuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada pula gaya Banyumasan, Cirebonan, Jawa Timuran, dan lainnya.
Adapun yang dianggap sebagai gaya arus utama wayang kulit adalah gagrag Surakarta dan gagrag Yogyakarta atau Mentaraman. Wayang kulit gagrag Kedu Temanggungan berada di antara pengaruh kedua gaya arus utama tersebut.
Secara fisik, bentuk wayang Kedu Temanggungan cenderung lebih gemuk. Pada bagian tertentu, ada bagian yang lebih runcing. Posisi kepala juga cenderung lebih menunduk dibandingkan dengan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Dalam hal karawitan pengiring, wayang kulit Kedu Temanggungan hanya menggunakan gamelan laras pelog.
Hal ini berbeda dengan wayang kulit mainstream yang menggunakan gamelan slendro dan pelog. Dibandingkan dengan wayang kulit arus utama, wayang Kedu Temanggungan bisa dikatakan lebih sederhana.
Baca juga : Monumen Bakiak, Saksi Pergaulan Budaya di Suriname
Disebut gaya Kedu Temanggungan, karena secara administratif, dulu Temanggung termasuk dalam wilayah Karesidenan Kedu yang mencakup Kota dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Kebumen, Wonosobo, Purworejo, dan Temanggung. Dari wilayah tersebut berkembang semacam sub-gagrag wayang kulit, seperti wayang Kedu Wonosaban di Wonosobo, Bagelenan atau Purworejo, dan Kedu Temanggungan.
Yang menarik, setiap gagrag itu mempunyai kekhasan sesuai lingkungan sosial budaya masyarakat masing-masing. Dan yang pasti, setiap gagrag mempunyai masyarakat pendukung yang menjadikan setiap gagrag itu hidup, tumbuh, dan berkembang.
Wayang Kedu Temanggungan tumbuh di lingkungan masyarakat agraris. Lakon, cerita, simbol, dan idiom-idiom yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agraris.
Baca juga : Cara Dalang Wayang Kulit Sampaikan Protes
Pada pentas di Tembarak, 22 September lalu, misalnya, dipentaskan lakon ”Pendowo Tani” dengan dalang Ki Legowo Cipto Karsono. Dikisahkan, keluarga Pendawa yang membendung Kali Serayu demi kesuburan negeri.
Di sini, sebenarnya wayang sedang berbicara tentang pentingnya irigasi dan pentingnya keguyuban dalam membangun pertanian secara bersama. Dalam konteks tata pengairan ini pula, ada cerita yang mengisahkan kesaktian sebuah pusaka.
Jika pusaka tersebut digariskan ke utara, air akan mengalir ke utara. Begitu pula sebaliknya, jika pusaka digariskan ke selatan, air akan mengalir ke selatan.
Bahkan, jika pusaka digariskan ke atas, air pun akan mengalir dari daerah rendah ke atas. Sebuah idiom untuk menggambarkan bahwa usaha keras akan mampu mengatasi permasalahan berat.
Para dalang dengan kreatif menggali kearifan lokal dan mengintegrasikannya ke dalam lakon dan cerita wayang kulit. Mereka menempatkan wayang kulit sebagai bagian dari kehidupan masyarakat petani.
Wayang bukan sekadar menjadi media hiburan, melainkan juga sebagai kekuatan spiritual yang menaungi kehidupan masyarakat agraris.
Di tengah masyarakat agraris, tokoh Dewi Sri atau Dewi Padi menjadi cukup sentral, sumber kebajikan, kewibawaan, keadilan, kesuburan, dan kasih sayang. Banyak cerita carangan atau sempalan dari babon Mahabarata-Ramayana, yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat petani.
Baca juga : Wayang-wayang Menembus Pagebluk
Misalnya, ada toko Jinodo yang suka merusak tanaman padi. Dalam masyarakat agraris, perusak padi adalah public enemy, musuh masyarakat nomor satu, dan oleh sebab itu Jinodo pun dikutuk menjadi tikus.
Ada pula tokoh yang digambarkan kedahsyatannya karena memiliki anggota tubuh sehebat alat-alat pertanian. Sang tokoh digambarkan mempunyai kaki bagai pacul dan jari bagai gunting, selain juga berkumis bagai kawat.
Belakangan Ki Legowo mereka-reka tokoh baru Kebo Geleng dan Sapi Gedhek sebagai ”wakil rakyat” yang membawa aspirasi masyarakat petani. Pentas dengan dalang Ki Legowo itu diselenggarakan dalam acara merti desa, sebuah ritual ungkapan rasa syukur warga desa atas selesainya masa panen.
Itu mengapa di samping kelir atau layar pentas, dipasang batang pohon pisang dan tembakau sebagai simbol sembah puji dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Di sini tampak sekali, wayang Kedu Temanggungan dibutuhkan masyarakat pendukungnya. Ia menjadi bagian kehidupan warga, antara lain sebagai medium penyampai ucapan syukur.
Tersisih tapi hidup
Wayang Kedu Temanggungan memang berada di tengah degup kehidupan masyarakat dengan budaya agraris. Wayang dengan sangat lentur menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan masyarakat petani.
Karena posisinya tersebut, wayang Kedu Temanggungan disebut sebagai pakeliran kerakyatan. Gagrag Kedu Temanggungan berbeda dengan gagrag Surakarta dan Yogyakarta yang juga disebut sebagai gaya keraton.
Wayang kulit gaya Surakarta menjadi standar referensi para dalang. Pada tahun 1920-an, Paku Buwono X mengumpulkan para dalang untuk menyusun semacam standar atau pakem dalam seni pertunjukan wayang.
Pakem-pakem yang disusun tersebut kemudian dibakukan sebagai bahan pendidikan sekolah pedalangan Pasinaon Dhalang Ing Surakarta atau Padhasuka yang didirikan Paku Buwono X pada awal 1920-an.
Baca juga : Empat Nada Jopie Item, Gitar, dan Kejayaan Band Pengiring
Para pengajar Padhasuka adalah dalang-dalang terbaik di wilayah Surakarta. Begitu pula lulusan Padhasuka kemudian menjadi agen perubahan dalam seni wayang kulit di daerah asal mereka masing-masing.
Mereka menggunakan gaya pedalangan keraton Kasunanan, termasuk sastra, gending, dan sabet atau cara memainkan wayang, sesuai standar yang dibakukan oleh keraton. Gaya keraton ini sering disebut wayang yang adiluhung.
B Subono dalam paparan di Temanggung mengungkapkan adanya implikasi sosial terhadap dalang yang tidak mengikuti pasinaon atau pendidikan pedalangan ala keraton tersebut. Mereka yang tidak berpendidikan disebut sebagai dalang ndesa. Kesenian mereka disebut sebagai pakeliran gaya kerakyatan.
Baca juga : Indonesia Siap Menjadi Rumah Wayang Dunia
Wayang Kedu Temanggungan termasuk dalam pakeliran kerakyatan. Gunawan Purwoko, selaku asisten Maestro Ki Legowo, dalam paparannya mengatakan, pakeliran kerakyatan memiliki bentuk ekspresi yang lebih bebas, lugas, dan sederhana.
Lebih lanjut dikatakan Gunawan, pada era 1960-an pakeliran gaya kerakyatan seperti Wayang Kedu Temanggungan pernah dianggap sebagai ”pakeliran ndesa” dan ”bermutu rendah”.
Stigma atau cap tersebut rasanya menjadi tidak bermakna ketika kita menyaksikan pergelaran wayang kulit Kedu Temanggungan di tengah masyarakat pendukungnya. Nyatanya wayang Kedu Temanggungan diterima masyarakatnya hingga hari ini.
Ki Legowo
Sejak ratusan tahun lalu wayang Kedu Temanggungan hidup dan dikembangkan oleh para empu pembuatnya, seperti Ki Morowongso, Ki Moroguno, dan kini oleh Ki Legowo Cipto Karsono. Hidup matinya kesenian rakyat seperti wayang Kedu Temanggungan bergantung pada loyalitas pelaku seni terhadap kesenian serta masyarakat pendukungnya.
Ki Legowo total mengabdikan hidupnya untuk wayang kulit Kedu Temanggungan. Disebut total antara lain karena seluruh keluarganya terlibat dalam kesenian wayang kulit.
Istri dan menantunya adalah pesinden wayang. Anak-anak menjadi pangrawit dan juga dalang. Mereka semuanya menghidupi dan berpenghidupan dari wayang kulit Kedu Temanggungan.
Dia memang tidak pernah menerima anugerah kebudayaan dan sejenisnya, tetapi masyarakat mencintainya.
Jauh sebelum terbitnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Ki Legowo dan keluarganya sudah ikut memajukan kebudayaan di daerahnya, yaitu dengan memajukan wayang kulit Kedu Temanggungan.
Dia memang tidak pernah menerima anugerah kebudayaan dan sejenisnya, tetapi masyarakat mencintainya. Dan sebaliknya, ia membuat masyarakat mencintai kebudayaan itu sendiri. Termasuk lewat program Belajar Bersama Maestro yang ”hanya” seminggu itu.
Akan tetapi, di luar program, Ki Legowo membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang ingin belajar wayang kulit Kedu Temanggungan. Seperti diamanatkan oleh UU tentang Pemajuan Kebudayaan, Ki Legowo dan kawan-kawan dengan wayang Kedu Temanggungan-nya adalah pemilik dan penggerak kebudayaan….