Monumen Bakiak, Saksi Pergaulan Budaya di Suriname
Anak cucu para imigran Jawa di Suriname mengenang bakiak sebagai simbol perjuangan dan kegigihan para pendahulu mereka yang dipekerjakan di perkebunan.

Frans Sartono, Wartawan āKompasā 1989-2019.
Sepasang theklek atau bakiak alias terompah kayu menjadi monumen bersejarah di Suriname. Alas kaki sederhana itu menjadi penanda kedatangan pertama imigran Jawa ke negeri seberang itu pada 1890.
Anak cucu para imigran Jawa mengenang terompah sebagai simbol perjuangan dan kegigihan para pendahulu mereka yang dipekerjakan di perkebunan. Bersama etnis lain, mereka ikut membentuk budaya negeri baru Suriname. Maka, pecel, nasi goreng, cendol, tjenil, sate pitik, dan kuda lumping kini menjadi bagian dari budaya Suriname.
Anak cucu para imigran Jawa mengenang terompah sebagai simbol perjuangan dan kegigihan para pendahulu mereka yang dipekerjakan di perkebunan.
Terompah bisa dikatakan alas kaki yang sederhana. Bahan utama bakiak terbuat dari kayu, sedangkan untuk pengaitnya digunakan karet bekas. Sesederhana itu pula monumen teklek yang berdiri di Niew Amsterdam, ibu kota Distrik Commewijne, daerah setingkat kecamatan di Suriname.
Monumen terbuat dari bahan seng dan karet bekas ban. Kesederhanaan itu disengaja untuk mengenang kedatangan 94 imigran pertama dari Jawa pada 9 Agustus 1890 dengan kapal Prins Willem II. Mereka benar-benar orang sederhana dalam hal pendidikan dan tingkat ekonomi. Akan tetapi, daya hidup mereka luar biasa.

Monumen berupa teklek atau terompah kayu di Commewijne, Suriname, untuk memperingati kedatangan pertama imigran Jawa di Suriname pada 1890.
Dengan segala kebersahajaan, para imigran dari Negoro Jowo itu ikut membangun budaya sebuah negeri yang terdiri dari beragam etnis. Mereka didatangkan dari berbagai negeri sebagai pekerja di perkebunan.
Pada awalnya, imigran Jawa itu mengalami disorientasi budaya. Mereka merasa kehilangan titik pijak sebagai sekumpulan manusia yang tercerabut dari akar budayanya, yaitu budaya dari Negoro Jowo, sebutan mereka untuk asal mereka, Jawa Tengah.
Terompah yang sederhana itu rupanya menjadi semacam salam solidaritas dan persaudaraan dari imigran Jawa kepada etnis pendatang lain di Suriname. Setidaknya, bakiak made in orang Jawa itu kemudian ditiru oleh imigran lain.
Di monumen itu terbaca narasi dalam bahasa Belanda yang artinya, āPada saat itu sepatu sangat mahal. Maka, theklek telah terintegrasikan ke kelompok etnis lain, seperti Kreol dan Hindustan.ā

Gubuk yang 120 tahun lalu ditempati pekerja asal Jawa di Perkebunan Commewijne, Suriname.
Dengan tertatih, tetapi tekun, mereka hidup bersama kaum senasib dari Hindustan, Kreol, Bushnegro, dan Marun. Masih ada lagi kelompok kecil pendatang lain, seperti dari China, India, Lebanon, dan Brasil.
Secara komposisi penduduk, keturunan Jawa saat ini meliputi 14 persen atau sekitar 75.000 warga dari total 576.000 penduduk Suriname. Mereka merupakan anak turun dari imigran Jawa yang didatangkan ke Suriname dalam kurun 1890-1939.
Sepanjang rentang masa itu, sebanyak 32.965 pekerja dari Jawa dikapalkan ke Suriname. Di kemudian hari, diaspora Jawa ini memberi warna tersendiri pada pembentukan budaya negeri di Amerika Selatan tersebut
Integrasi nasi goreng
Di Paramaribo, ibu kota Suriname, jangan heran jika Anda menjumpai Waroeng. Di Waroeng Tante Pon, misalnya, tersedia menu pitjal, atau pitjel, alias pecel. Unsur pitjel tak beda dengan pecel yang dijual di Indonesia, seperti bayam, taoge, dan kacang panjang dengan bubuhan sambal kacang.
Menu lain adalah nasi goreng atau biasa disebut nasi saja. Jika Anda pesan nasi, maka yang akan tersaji adalah nasi goreng.
Ada pula hidangan yang lazim kita santap di Jawa, seperti bakmie, tahoe lontong, tjenil, nogosari, lemet, mendoot, saoto, sate pitik (ayam), dan singkong rebus yang dihidangkan bersama ikan asin.

Menu di Waroeng Tante Pon di Suriname yang menyuguhkan makanan yang populer di Jawa. Foto diambil tahun 2010.
Menu di atas tidak hanya disukai oleh warga Suriname dari etnis Jawa, tetapi sudah menjadi makanan harian orang Suriname. Dengan bahasa Jawa, pemilik Waroeng Toeti di Distrik Tamanredjo menjelaskan, tiyang cemeng juga menyukai pitjel.
Tiyang cemeng adalah sebutan mereka untuk warga Suriname dengan identitas warna kulit tertentu. Begitulah integrasi makanan sudah berjalan jauh di Suriname. Pitjel, bakmie, dan dawet dikenal oleh berbagai etnis di Suriname.
Saoto, pitjel, dan bakmie goreng bukan hanya menjadi masakan Jawa saja, melainkan juga telah menjadi bagian dari national dishes alias masakan nasional. Memang tampaknya sederhana, hanya makanan. Akan tetapi, kuliner itu menjadi contoh sederhana bagaimana sesuatu itu menjadi milik bersama.
Stanley Sidoel yang pernah menjabat sebagai Direktur Kebudayaan Suriname mengatakan, kuliner itu menjadi instrumen penting dalam proses national building. Sebagai catatan, leluhur Stanley Sidoel berasal dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Waroeng Sidodadie di Suriname, penyaji masakan khas Indonesia.
Itu kuda lumping...
Selain kuliner, kuda lumping atau jaran kepang dan reog ponorogo juga telah terintegrasikan sebagai bagian dari seni pertunjukan di Suriname. Sudah sejak sekitar 130 tahun lalu imigran Jawa menghidupkan hiburan rakyat dari Jawa itu di tanah baru bernama Suriname.
Salah satu kelompok yang terkenal bernama Jaran Kepang Trimo Budi Sangtoso yang dibentuk sejak 1970. Pada setiap pergelaran, mereka memasang spanduk bertuliskan āKabudajan Djowo Djaran Kepangā (Kebudayaan Jawa Jaran Kepang). Pendirinya Poidjojo, anak dari imigran Jawa dari Surakarta bernama Kasiman yang datang ke Suriname pada 1920.
Poidjojo (dibaca Pijoyo), yang fasih berbahasa Jawa, membanggakan kuda lumping sebagai budaya leluhur dari Negoro Jowo, tanah Jawa. Bisa dikatakan, kuda lumping ini sudah mengikuti zaman.
Sebagai tembang pembuka, misalnya, mereka memainkan lagu āCucak Rowoā-nya Didi Kempot. Sekadar catatan, Didi Kempot, Mus Mulyadi, dan Waldjinah pernah menjadi superstar di Suriname.

Jaran kepang atau kuda lumping di Suriname dari kelompok Trimo Budi Sangtoso tampil di ajang Indofair di Paramaribo, Suriname, 24 September-2 Oktober 2010. Kesenian itu dibawa oleh imigran dari Jawa tahun 1890-1939 dan menjadi hiburan rakyat di Suriname.
Lazimnya dalam pertunjukan jaran kepang di Jawa, ada pemain yang kesurupan. Ubo rampe atau sesaji yang digunakan juga tidak berbeda dengan yang digunakan di Jawa, yaitu kemenyan dan dupa.
Menurut Poidjojo, roh yang merasuki pemain tersebut berasal dari negoro jowo, tepatnya dari Gunung Srandil dan dari Gunung Merapi.
Poidjojo sendiri tidak tahu persis letak kedua tempat yang disebutnya itu. Saat ditanya mengapa bukan roh dari Suriname, dia menjawab dalam bahasa Jawa.
āYa, bisa saja, tetapi ndrawasiā¦.ā Dalam bahasa Indonesia, ndrawasi bisa diartikan mengkhawatirkan karena sulit dikendalikan dan cenderung berbahaya.
Menurut Poidjojo, dia menggunakan mantra-mantra dalam bahasa Jawa untuk mendatangkan roh. Begitu pula pemulangan roh juga menggunakan gending Jawa, seperti āWaru Doyongā dan āSampak Gunturā.
Alasan Poidjojo masuk akal sebab, jika roh yang merasuki tidak bisa berbahasa Jawa, dikhawatirkan roh tersebut tidak akan dapat dipulangkan.

Reyog Suriname yang sederhana dan terbuat dari kain, tanpa bulu merak seperti halnya reog ponorogo dari Jawa.
Tanah air baru
Pergaulan lintas etnis terjadi secara alami di Suriname, termasuk lewat bahasa. Suriname memang mempunyai bahasa nasional, yaitu bahasa Belanda. Akan tetapi, bahasa yang dibawa oleh setiap etnis, termasuk bahasa Jawa, tetap hidup di kalangan terbatas.
Dari beragam bahasa tersebut, lahirlah bahasa gado-gado yang disebut bahasa Taki-Taki, semacam bahasa gaul yang luas digunakan di Suriname. Di luar itu, ada bahasa baku yang tersisipi istilah-istilah dari bahasa Jawa, termasuk kata waroeng berikut menu seperti tersebut di atas.
Begitu pula nama daerah juga menggunakan nama desa yang ada di Jawa Tengah seturut asal para imigran. Misalnya, ada nama Koewarasan, Poerworedjo, dan lainnya.
Nama-nama tempat, jalan, atau distrik kemudian terbentuk dengan unsur bahasa Belanda, seperti Sastrodisoemoweg, Poerworedjoweg, Poerwodadiweg, sampai Malangweg.
Nama-nama jalan dan daerah itu menggambarkan keberagaman Suriname yang dibangun dari sejarahnya. Di Distrik Commewijne, ada nama daerah Alkmaar dan Nieuw Amsterdam, tetapi ada pula nama Tamanredjo.
Redjo atau rejo dalam bahasa Jawa artinya ramai. Tamanredjo bisa berarti taman yang ramai. Daerah itu dulu merupakan wilayah perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg milik Nederlandse Handelsmaatschappij.

Salah satu nama jalan di Suriname yang merupakan gabungan bahasa Jawa dan Belanda.
Begitu pula nama anak cucu cicit mereka menggunakan nama Jawa, sebagai nama keluarga plus nama lahir, seperti Steven Kartotaroeno, Murcelino Doelman, Bob Saridin, Stanley Sidoel, dan lainnya.
Bob Saridin, pemuka masyarakat Suriname keturunan Jawa, yang pernah menjadi ketua Vereniging Herdenking Javanese Immigratie (VHJI) atau perhimpunan mengenang imigrasi Jawa, mengatakan, Suriname tidak mempunyai budaya asli.
Budaya yang ada dan terus tumbuh saat ini merupakan budaya āimporā yang dibawa oleh para pendatang. Kemudian terjadi semacam pergaulan antarbudaya, saling mengenal dan saling mengapresiasi secara alami.
Dulu, generasi awal imigran Jawa berpandangan, mereka di Suriname hanya menumpang hidup. Mereka tidak merasa memiliki negeri bernama Suriname.
Dalam integrasi, kata Bob, mereka menampilkan budaya Jawa supaya etnis lain mempunyai pengalaman dengan budaya Jawa sebagai bagian dari budaya Suriname.
Sebuah pergulatan hidup yang tidak mudah. Dulu, generasi awal imigran Jawa berpandangan, mereka di Suriname hanya menumpang hidup. Mereka tidak merasa memiliki negeri bernama Suriname.
Seiring waktu, terjadi perubahan sikap. Generasi baru Suriname yang telah berpendidikan kini melihat Suriname sebagai bangsa, sebagai sebuah tanah air baru bagi setiap warga, dari mana pun mereka datang.