Ihwal Remisi Napi Koruptor sebagai Pelaku Kejahatan (Luar) Biasa
Persoalan korupsi sesungguhnya lebih kompleks dari sekadar karakter sebuah kejahatan karena perilaku koruptif sesungguhnya membawa pesan mengenai ancaman kegagalan dalam kehidupan bernegara.
Oleh
W RIAWAN TJANDRA
·3 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021 menyatakan bahwa semua terpidana, termasuk koruptor, yang sedang menjalani masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin Undang-Undang Pemasyarakatan. Namun, karena MK tidak berwenang mengadili peraturan pemerintah, MK tidak mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang melarang remisi untuk koruptor.
Pemberian remisi tanpa terkecuali itu disampaikan MK saat membacakan putusan soal Pasal 34A, Pasal 34A, Pasal 36A, Pasal 43A, dan Pasal 43B Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Perkara tersebut diajukan oleh mantan pengacara sekaligus terpidana korupsi OC Kaligis.
Putusan MK tersebut dinilai oleh sebagian khalayak sebagai putusan yang alih-alih memberikan persamaan hak dalam perspektif perlindungan HAM terhadap semua narapidana berdasarkan prinsip equality, tetapi justru telah melucuti karakter luar biasa (extra-ordinary) dari tindak pidana korupsi yang diatur berdasrkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang melekatkan karakter tindak pidana khusus terhadapnya. Meskipun sesungguhnya, putusan MK itu justru telah menolak permohonan pengujian atas Pasal 14 Ayat (1) huruf i dan Penjelasan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Hukum, dikatakan Laura, hanya berurusan dengan tindakan (acts), padahal korupsi itu sesungguhnya merupakan pernyataan tentang watak (character).
Penanganan kasus korupsi yang dilaksanakan melulu hanya menggunakan pendekatan hukum pernah dikritik oleh ahli hukum Laura Underkuffler dalam bukunya, Captured by Evil: The Idea of Corruption in Law (2013). Hukum, dikatakan Laura, hanya berurusan dengan tindakan (acts), padahal korupsi itu sesungguhnya merupakan pernyataan tentang watak (character).
Maka, menurut dia, korupsi tidak dapat hanya diberi bingkai paham konvensional hukum. Pendekatan sistem dalam upaya penanganan korupsi ingin melihat secara komprehensif. Korupsi tidak hanya ditangani menggunakan pendekatan pelaku/aktor dengan memberikan pidana seberat-beratnya, tetapi harus ditangani secara sistemik melalui seleksi calon-calon pejabat dengan melakukan studi terhadap karakter calon; penanganan korupsi secara preventif (pencegahan perilaku koruptif melalui perbaikan institusional); sistem insentif, renumerasi dan reward; penataan terhadap rentang kendali (span of control) dan proses bisnis organisasi; checks and balances dalam sistem pengambilan keputusan, dan seterusnya.
Dalam hukum administrasi juga dikenal asas in cauda venenum (di ekor ada racun) yang pada intinya penerapan sanksi pidana yang bersifat penghukuman (condemnatoir) terhadap diri pelaku dilakukan manakala langkah-langkah dalam penanganan melalui pendekatan hukum administrasi negara yang bersifat pemulihan (reparatoir) tidak lagi efektif dilakukan.
Tulisan ini tentu tidak hendak mengatakan bahwa penanganan terhadap perilaku koruptif yang pernah dilakukan selama ini salah, tetapi perlu dilakukan melalui pendekatan yang bersifat multi-dimensi. Korupsi tidak hanya melulu sebuah perilaku jahat, tetapi juga persoalan watak/karakter yang buruk, pengkhianatan/penyelewengan terhadap mandat rakyat (pendekatan institusional), saling ketergantungan kleptokratik (pendekatan birokratik), kemerosotan dan deteriorisasi karena tatanan hierarki status dengan hak dan kewajiban masing-masing yang mengalami kerusakan (pendekatan sosiologi), dan pendekatan multidimensi lain yang diperlukan.
Korupsi tidak hanya melulu sebuah perilaku jahat, tetapi juga persoalan watak/karakter yang buruk.
Keuangan negara yang yang menjadi salah satu unsur pokok terjadinya korupsi (kerugian negara faktual) itu sesungguhnya hanya merupakan medium karena terjadi pengaburan ranah publik dan privat melalui privatisasi res publica (urusan publik). Seluruh perspektif itu ingin memberi pesan bahwa persoalan korupsi sesungguhnya lebih kompleks dari sekadar karakter sebuah kejahatan (ordinary atau extra-ordinary) karena perilaku koruptif sesungguhnya membawa pesan mengenai ancaman kegagalan dalam kehidupan bernegara. Mulai dari hal inilah seharusnya penanganan permasalahan korupsi diletakkan (kembali).
W Riawan Tjandra, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Ketua Departemen Riset dan Publikasi Asosiasi Pengajar HTN dan HAN