Revitalisasi elan vital pendidikan menempatkan semua kepentingan terbaik bagi anak bangsa. Dalam hal ini, cara pandang dan berkeputusan pemerintah yang berpihak kepada anak yang terpinggirkan mutlak segera dilakukan.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·4 menit baca
Pada waktu Henry Bergson (1859-1941) mengemukakan tentang elan vital, yakni gerak hidup yang selalu kreatif pada setiap saatnya, konteksnya elan vital itu adalah sebab-sebab evolusi/perkembangan kesadaran, hidup, dan realita manusia; dengan hasil utama adanya bentuk-bentuk baru yang bergerak/berjalan ke segala arah. Pendapat ini berbeda dari Charles Robert Darwin yang menegaskan bahwa evolusi itu bergerak/berjalan lurus dan mencapai akhir dalam bentuk manusia (Endang Daruni Asdi-Husnan Aksa. 1981: 33-st).
Elan vital sudah ada sejak permulaan, bergerak menentang materi, dan menciptakan jalannya sendiri. Oleh dan karena elan vital, perkembangan semua/setiap makhluk tidaklah sama. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan berhenti pada tanpa terbentuknya kesadaran. Pada binatang berpuncak pada naluri. Sedang pada manusia puncak perkembangannya ada di akal yang dapat dipakai sebagai alat untuk menjadi pintar.
Namun, menurut Bergson, akal tidak dapat dipakai untuk mengetahui atau mengerti hakikat dari segala sesuatu. Untuk itu manusia mengembangkan intuisi, tenaga rohani yang bisa sangat terlepas dari akal, dan inilah yang disebut dengan kelangsungan masa murni.
Moralitas yang diajarkan oleh Bergson adalah adanya keterhubungan perkembangan sekalipun ada banyak hal yang bertentangan dalam hidup ini. Dengan kata lain, gerak hidup yang selalu kreatif setiap saat, sebaiknya harus selalu mampu dan berhasil menghubungkan hal-hal yang bertentangan karena evolusi pada hakikatnya mengarah ke segala penjuru: hidup mungkin bertentangan dengan materi-materi, akal sangat mungkin bertentangan dengan intuisi, kelangsungan masa murni bertentangan dengan waktu, dan hal-hal dinamis bisa sangat bertentangan dengan hal-hal statis.
Moralitas mampu menghubungkan hal-hal bertentangan inilah elan vital pendidikan Indonesia paling mendesak saat ini. Gerak hidup yang selalu kreatif setiap saat tentang ”mencerdaskan kehidupan bangsa” sangat mungkin sering bertentangan secara dikotomik ketika kepentingan pemerintah bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Maksud hati pemerintah ingin (dan berkepentingan) agar dana BOS efisien dan efektif serta menghasilkan kualitas tertentu, tetapi dalam kenyataannya ada banyak sekolah hanya dengan jumlah peserta didik amat sedikit (kurang dari 60 orang). Mampukah ”sekolah miskin” semacam itu mengejar kualitas, efektivitas, serta efisiensinya sendiri kecuali jika digabungkan dengan sekolah lain yang ”lebih kaya?” Pertanyaan lanjutannya, ”sekolah kaya” mana bersedia menerima penggabungan dari ”sekolah miskin” semacam itu?
Lagi-lagi, elan vital pemerintah tidak selalu sinkron dengan kegiatan pendidikan oleh masyarakat.
Ada juga, kebijakan pemerintah (dan sejumlah pemerintah daerah) akan menarik semua guru ASN-nya yang diperbantukan di sekolah swasta mengingat di sejumlah sekolah negeri keluhan kekurangan guru selalu terdengar. Lagi-lagi, elan vital pemerintah tidak selalu sinkron dengan kegiatan pendidikan oleh masyarakat; atau keinginan masyarakat sangat mungkin bertentangan dengan kebjiakan pemerintah kendati berargumentasi sama tentang memenuhi hasrat mencerdaskan kehidupan bangsa. Adagium yang sering diulang-ulang oleh masyarakat ketika merasa kecewa karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah, ialah: ”Bukankah kita sama-sama bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa?”
Revitalisasi terfokus
Harus diakui, semangat dan gerakan hidup secara kreatif setiap saat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa selalu ada dan berkembang baik terutama dalam diri pemerintah dan pada diri masyarakat. Hal itu berarti, revitalisasi terfokus perlu pertama-tama terjadi pada diri pemerintah dan masyarakat sehingga pemerintah maupun masyarakat semakin kreatif dalam menyelenggarakan pendidikan demi semakin berkembangnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Revitalisasi terkait dikotomi negeri—swasta (pemerintah versus masyarakat/yayasan) perlu difokuskan ke pemihakan dan pengakuan pemerintah terhadap anak, sekolah, dan yayasan yang ”miskin”, yakni yang sedikit/kecil jumlahnya, kemampuan finansialnya, serta terbatas sekali kualifikasi maupun jumlah tenaga gurunya. Revitalisasi cara pandang dan berkeputusan pemerintah yang berpihak kepada anak, sekolah, dan yayasan yang kecil, lemah, miskin, terpinggirkan, bahkan maaf ”difabel” mutlak segera dilakukan.
Pada sisi yang lain, masyarakat/yayasan harus melakukan revitalisasi dengan cara bersikap terbuka dan jujur terhadap data dirinya. Harus diakui, sampai saat ini ada banyak ketidakjujuran terjadi terkait dengan data anak, sekolah, serta yayasan.
Revitalisasi elan vital pendidikan juga harus menyentuh terutama aspek kemanusiaannya, jangan hanya teknologinya. Maksudnya, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan tinggi kita menghadapi insan manusia yang memiliki harkat dan martabat sama, hanya berbeda usia saja. Aspek kemanusiaan yang sangat utama adalah pemenuhan hak memperoleh pendidikan khususnya bagi anak sampai dengan usia 18 tahun, apa pun, di mana pun, dan bagaimana pun kondisi anak-anak itu.
Intuisi pendidikan
Uraian di atas menegaskan intuisi pendidikan yang selayaknya disegarkan terus bagi siapa pun, terutama karena silih bergantinya pejabat di Kemendikbudristek, yakni tidak ada anak bodoh, karena yang ada ialah anak yang berbeda kemampuannya. Revitalisasi elan vital pendidikan menempatkan semua kepentingan terbaik bagi anak bangsa; karena itu gerak hidup secara kreatif oleh Kemendikbudristek semua pasti mengalir ke pemenuhan kepentingan terbaik itu, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan (anak) bangsa.
(JC Tukiman Taruna, Pengajar Program Doktor Penyuluhan Pembangunan di UNS; Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL); Ketua Dewan Penyantun di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang)