Pendidikan seharusnya inklusif, hak setiap warga negara tanpa kecuali termasuk penyandang disabilitas. Namun, masih saja terjadi penolakan pada anak penyandang disabilitas yang ingin mendapatkan haknya atas pendidikan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Ditolak delapan sekolah luar biasa tidak membuat Sarah Kumala Dewi (37), warga Kota Bandung, Jawa Barat, berhenti berharap Alanis (10), anaknya, bisa bersekolah lagi. Sekolah beralasan tidak bisa memfasilitasi Alanis yang menyandang cerebral palsy berat dan tunanetra.
Dengan kondisi tersebut, Alanis harus selalu berada di kursi roda serta bergantung pada orang lain untuk mobilitas dan komunikasinya. Kesediaan Sarah untuk mendampingi Alanis selama di sekolah sebagaimana dulu ketika Alanis di taman kanak-kanak, tetap tidak diterima.
Empat anak penyandang cerebral palsy di Pematangsiantar, Sumatera Utara juga pernah mengalami hal serupa. Namun setelah ada dukungan Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka akhirnya diterima di SD negeri.
Pendidikan yang seharusnya inklusif, hak setiap warga negara tanpa kecuali termasuk bagi penyandang disabilitas, kenyataannya masih diskriminatif. Kesempatan belum setara bagi mereka untuk mengakses pendidikan.
Dari sisi regulasi, dukungan pendidikan untuk anak penyandang disabilitas sudah ada sejak lama, paling tidak sejak 1991 ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Kemudian pada 2009 terbit Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif.
Kebijakan zonasi pendidikan juga memberikan kuota bagi anak penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas pun sudah dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13/2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
Peraturan pemerintah yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Februari 2020 memastikan pemerintah melaksanakan UU Nomor 8/2016 untuk memberi layanan pendidikan kepada anak penyandang disabilitas. Dengan PP ini seharusnya tidak ada lagi penolakan penyandang disabilitas oleh sekolah yang difasilitasi pemerintah.
Namun, “Implementasi di lapangan masih jauh dari amanat regulasi,” kata Sunarman Sukamto, Staf Ahli Madya Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia KSP sekaligus aktivis disabilitas yang tiga bulan terakhir membantu empat penyandang cerebral palsy di Pematangsiantar mendapatkan hak atas pendidikan, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Implementasi di lapangan masih jauh dari amanat regulasi.(Sunarman Sukamto)
Dukungan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia untuk pendidikan inklusif, baik di SLB maupun sekolah inklusi masih perlu ditingkatkan. Dari sisi kelembagaan, jumlah SLB baru 2.254, dan 60 kabupaten/kota belum memiliki SLB. Adapun jumlah sekolah inklusi sebanyak 29.315 sekolah.
Dukungan kurang
Dukungan sumber daya manusia, terutama guru pendamping khusus (GPK), juga masih minim, baik dari sisi jumlah maupun kualifikasi akademik pendidikan khusus. Kebutuhan GPK sesuai ragam karakteristik anak-anak berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan dan sedang, tunadaksa ringan dan sedang, tunalaras, tunawicara, hiperaktif, cerdas istimewa, bakat istimewa, kesulitan belajar, korban narkoba, indigo, down syndrome, autis, hingga tunaganda.
Psikolog untuk asesmen siswa yang akan masuk SLB juga kurang. Asesmen diperlukan untuk melihat kebutuhan anak karena kurikulum di SLB bersifat individual. “Untuk mengatasi itu, kami kerja sama dengan ikatan psikologi masyarakat,” kata Samto, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud.
Sistem belajar mengajar juga belum adaptif dan akomodatif pada ragam karakteristik anak-anak dengan disabilitas. Temuan Jaringan disabilitas Indonesia, misalnya, keberadaan anak penyandang disabilitas di sekolah inklusi masih ada yang tidak disertai dengan penyesuaian metode pembelajaran kepada mereka.
Di masa pembelajaran jarak jauh saat ini, ada siswa penyandang tunanetra yang juga diberi tugas menggambar lapangan sepakbola dan menulis. Metode pembelajaran untuk anak dengan kesulitan mendengar juga disamaratakan dengan anak-anak pada umumnya.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan pendidikan inklusif bagi anak penyandang disabilitas masih jauh jauh dari harapan. Sunarman mengatakan, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah.
Akselerasi diklat pendidikan inklusif bagi guru dan kepala sekolah, alokasi anggaran afirmasi untuk pendidikan inklusif, serta pembentukan unit layanan disabilitas pendidikan inklusif mendesak dilakukan. Ini penting agar tidak ada penolakan seperti yang dialami Alanis.
Selain itu perlu monitoring dan evaluasi program pendidikan inklusif secara sungguh-sungguh dan mendukung forum komunikasi pendidikan inklusi di kabupaten/kota. Untuk mengatasi minimnya GPK, pemerintah dapat merekrut pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebagai GPK di sekolah yang kesulitan menangani anak difabel.
Untuk pendidikan yang setara bagi penyandang disabilitas, pemerintah perlu melibatkan organisasi atau kelompok difabel untuk mendesain pendidikan inklusif. Ini semua untuk memastikan penyandang disabilitas mendapatkan hak pendidikan tanpa harus melalui jalan panjang seperti empat penyandang cerebral palsy di Pematangsiantar.
“Kuncinya ada pada dukungan pemerintah,” kata Sunarman. Dukungan pemerintah sesuai regulasi yang ada akan memberi kepastian anak penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan untuk mendukung tumbuh kembang sesuai kondisi mereka, seperti harapan Sarah yang hanya ingin anaknya bisa sekolah agar dapat bersosialisasi dan merasakan berada di antara teman-teman sebayanya. “Sebentar saja, setengah hari, sepekan sekali. Kan di Pasal 31 UUD 1945 disebutkan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,” kata dia, Rabu (9/9).