Jangan beli buku bajakan, tidak menunjang upaya mencerdaskan bangsa dan hanya memperkaya pembajak saja. Belilah buku yang asli meski sedikit lebih tinggi.
Oleh
Gunawan Suryomurcito
·3 menit baca
Alasan klasik dari pembeli buku bajakan adalah: ”Habis buku yang asli mahal, sih.” Buku bajakan bisa murah karena kertasnya bermutu rendah, cetakan asal-asalan, tidak bayar royalti kepada pengarang, tidak bayar penerjemah untuk buku asing, tidak keluar biaya promosi, dan tidak bayar pajak pula.
Dari sisi harga, buku asli tidak mungkin bersaing dengan buku bajakan. Kerugian yang diderita oleh penerbit itu tidak sedikit, sebaliknya keuntungan yang diperoleh pembajak besar sekali.
Jika ada satu judul buku dibajak, buku bajakannya bisa dijual oleh puluhan toko/kios, sedangkan buku-buku yang dibajak bisa mencapai puluhan ribu judul, oplahnya bisa lebih banyak dari buku asli. Bayangkan, berapa keuntungan pembajak buku dan toko/kios buku bajakan. Penerbit buku asli hanya bisa gigit jari selama ini.
Lalu, bagaimana solusinya? Secara hukum, sanksi terhadap pembajak hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, khususnya pada Pasal 117 Ayat (3) dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan atau denda Rp 4 miliar.
Akan tetapi, mengapa sepanjang 2014-2021 pembajakan buku seolah dibiarkan saja? Ternyata pengarang dan atau penerbit harus aktif mengadukan pembajakan itu kepada polisi atau PPNS Ditjen Kekayaan Intelektual. Tanpa pengaduan dengan bukti-bukti, polisi atau PPNS tidak bisa tahu judul-judul buku yang dibajak dan tidak bisa membedakan mana bajakan dan mana yang asli.
Untuk buku-buku teks perguruan tinggi sebenarnya bisa diadakan perjanjian kerja sama antara pihak universitas dan penerbit. Kerja sama pengadaan buku teks untuk mahasiswa bisa dengan rabat khusus dari penerbit. Perpustakaan universitas atau setiap fakultas dapat mengelola kerja sama pengadaan buku teks itu.
Hal yang paling penting sebenarnya adalah kesadaran hukum masyarakat atas pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya buku. Bagaimana tanggung jawab moral mahasiswa, misalnya, jika menyusun skripsi, tesis, bahkan disertasi dengan referensi buku-buku bajakan?
Jangan beli buku bajakan, tidak menunjang upaya mencerdaskan bangsa dan hanya memperkaya pembajak saja. Belilah buku yang asli meski sedikit lebih tinggi.
Gunawan Suryomurcito
Konsultan HKI. Pondok Indah, Jakarta
Lalu Lintas Depok
Guna mengurangi kepadatan lalu lintas, Pemerintah Kota Depok menerapkan peraturan ganjil genap di ruas Jalan Margonda Raya tiap akhir pekan, mulai Oktober 2021.
Upaya ini patut dihargai karena di Margonda Raya, lalu lintas padat setiap hari dan macet tiap akhir pekan.
Namun, penerapan ganjil genap pada akhir pekan belum tentu mengatasi kepadatan lalu lintas. Yang perlu mendapat perhatian serius adalah jumlah angkutan kota yang terlalu banyak. Kaji ulang, perketat izin trayek.
Jumlah angkutan kota yang demikian banyak tidak sebanding dengan jumlah penumpang. Kebiasaan angkutan kota berhenti sembarangan adalah salah satu penyumbang kepadatan dan kemacetan.
Pada ruas Margonda Raya juga diberlakukan peraturan sepeda motor di jalur lambat. Namun, peraturan tersebut sering tidak dipatuhi dan tidak terlihat ada pengawasan.
Selain itu, pada setiap persimpangan di Margonda Raya, banyak anak muda yang memberikan jasa kepada kendaraan yang akan belok ataupun berputar balik. Mereka ikut menyumbang kemacetan karena cara mengatur kendaraan cenderung seenaknya.
Saya tinggal di Depok lebih dari 25 tahun sejak Depok masih kota kecamatan. Namun, kemajuan Kota Depok terasa sangat lambat dibandingkan dengan beberapa kota satelit lain di sekitar Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi.
Penataan kota seharusnya dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya sebagian saja. Saat ini Kota Depok terasa sangat sesak tanpa keteraturan.