Paradigma Baru Perizinan Berusaha
Untuk melakukan kegiatan usaha pelaku usaha wajib melengkapi persyaratan yang ditetapkan untuk kemudian diterbitkan izin. Kebijakan yang menyamaratakan kewajiban ini sangat tak efisien bagi pelaku usaha juga pemerintah.
UU Cipta Kerja mengantar Indonesia memasuki era baru kebijakan perizinan berusaha.
UU No 11 Tahun 2020 ini menerapkan pendekatan perizinan berbasis risiko (risk-based approach/RBA). Kebijakan ini diterapkan sebagai solusi permasalahan perizinan untuk memulai dan melaksanakan kegiatan usaha di Indonesia. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) diterapkan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha.
Disebut paradigma baru karena tidak semua pelaku usaha wajib memiliki izin untuk melakukan kegiatan usahanya.
Sebelum UU Cipta Kerja (UUCK), Indonesia menerapkan pendekatan berizin (license approach). Untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha wajib melengkapi seluruh persyaratan yang ditetapkan untuk kemudian diter -bitkan izin. Tak membedakan kompleksitas kegiatan usaha, kewajiban memiliki izin berlaku untuk semua kegiatan usaha dan semua skala usaha (one fits for all). Kebijakan yang menyamaratakan kewajiban ini sangat tak efisien baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah.
Kewajiban pemilikan izin untuk setiap kegiatan usaha di setiap sektor (16 sektor usaha), diatur oleh kementerian pembina bidang usaha itu. Kurangnya standardisasi dalam pengaturan perizinan untuk suatu bidang usaha, berakibat pada terjadinya tumpang tindih peraturan yang diterbitkan kementerian dan pemda, ketidakjelasan proses bisnis pengurusan perizinan dan bahkan terjadi interlocking perizinan (izin mensyaratkan izin lainnya).
Keruwetan pengaturan ini berdampak pula pada penerapan penyelenggaraan layanan perizinan di daerah. Setiap daerah bisa memiliki interpretasi berbeda atas satu peraturan yang diterbitkan kementerian. Di lain pihak setiap daerah juga dimungkinkan menambah persyaratan untuk penerbitan izin, bahkan bebas menambah jenis izin lagi yang harus dimiliki oleh pelaku usaha apabila berlokasi di daerahnya sehingga memicu hyper regulation.
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) diterapkan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha.
Akibatnya, terjadi interaksi negatif antara pelaku usaha dan pejabat pemerintah. Pelaku usaha yang tak mau dipusingkan dengan proses perizinan, dimungkinkan untuk diatur oleh oknum pejabat pemerintah, dan kondisi ini berujung pada banyaknya kasus korupsi dalam pemberian perizinan.
Berbagai terobosan telah dilakukan pemerintah sejak awal periode pertama pemerintahan tahun 2015, dengan dimulainya kebijakan penyatuan lokasi pengurusan perizinan yang disebut Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan kemudian di berbagai daerah dikembangkan menjadi Mal Pelayanan Publik.
Terobosan lanjutannya adalah pada 2018, melalui PP No 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik, yang mewajibkan semua proses pengurusan izin dilakukan melalui sistem elektronik. Untuk itu, dibangun satu portal nasional untuk layanan penerbitan perizinan, yakni Online Single Submission (OSS).
PTSP dan OSS memberikan transparansi kepada pelaku usaha terkait kemudahan pengurusan perizinan karena terpusat di satu lokasi dan mengurangi tatap muka antara pelaku usaha dan pejabat pemerintah karena sebagian proses perizinan dilakukan secara elektronik.
Namun, upaya yang dilakukan pemerintah ternyata belum menyentuh akar permasalahan perizinan yang dihadapi pelaku usaha, yaitu banyaknya jumlah perizinan yang harus diproses. Kondisi ini sangat tak efisien, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) dengan kegiatan usaha yang relatif sederhana tanpa banyak risiko yang mungkin ditimbulkan. Ini yang mendasari urgensi penerapan kebijakan baru PBBR.
Prinsip PBBR
Sebagaimana diatur dalam UUCK, PBBR ditentukan berdasarkan tingkat risiko usaha, yang ditetapkan dengan kualifikasi: (a) kegiatan usaha berisiko rendah; (b) kegiatan usaha berisiko menengah; atau (c) kegiatan usaha berisiko tinggi.
Dikaitkan dengan tingkat risiko kegiatan usaha dimaksud, maka ditetapkanlah jenis perizinan berusahanya. Untuk kegiatan usaha yang masuk ke dalam klasifikasi risiko rendah, pelaku usaha cukup melakukan registrasi untuk mendapatkan perizinan berusaha dalam bentuk Nomor Induk Berusaha (NIB) di Sistem OSS.
Untuk kegiatan usaha yang masuk dalam klasifikasi risiko menengah, pemerintah menetapkan perizinan berusahanya dalam bentuk komitmen kepatuhan pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan usahanya sesuai standar usaha dan/atau standar produk yang ditetapkan pemerintah.
Adapun jenis perizinan berusaha untuk risiko menengah adalah Sertifikat Standar. Klasifikasi risiko menengah dibagi menjadi menengah rendah dan menengah tinggi. Untuk kegiatan usaha dengan risiko menengah rendah, pelaku usaha cukup menyatakan komitmennya secara mandiri (self-declaration) di OSS, dan OSS akan langsung menerbitkan Sertifikat Standar sebagai legalitas untuk melakukan operasional kegiatan usaha.
Untuk mereka yang masuk klasifikasi risiko menengah tinggi, komitmen kepatuhan pemenuhan standar pelaksanaan usaha wajib terlebih dulu diverifikasi. Verifikasi dilakukan pemerintah pusat (kementerian) atau pemerintah provinsi/kabupaten/kota sesuai kewenangan dan selanjutnya Sertifikat Standar diterbitkan OSS setelah proses verifikasi selesai dilakukan.
Dikaitkan dengan tingkat risiko kegiatan usaha dimaksud, ditetapkanlah jenis perizinan berusahanya.
Untuk kegiatan usaha dengan kualifikasi risiko tinggi, pelaku usaha wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pemerintah pusat/pemerintah daerah (sesuai kewenangannya) dengan jenis perizinan berusaha dalam bentuk Izin.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui penerapan pendekatan berbasis risiko tak semua pelaku usaha wajib memiliki izin, karena izin hanya diwajibkan apabila kegiatan usahanya berisiko tinggi. Namun, setiap pelaku usaha wajib memiliki perizinan berusaha sebagai legalitas melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Baca Juga: Izin Usaha Dipermudah, Pengawasan Diperkuat
Manfaat
Bagi usaha skala mikro dan kecil yang pada umumnya melakukan kegiatan usaha sederhana dan berisiko rendah, dengan kebijakan ini akan sangat mudah mendapatkan legalitas melakukan usaha, yaitu cukup melakukan pendaftaran di OSS untuk mendapatkan NIB.
Kemudahan ini tentunya sangat bermanfaat bagi para pelaku usaha maupun calon pelaku usaha UMK melakukan kegiatan usaha secara formal dan menikmati berbagai fasilitas yang disiapkan pemerintah. Dampak bagi perekonomian, pertama, meningkatnya kecepatan untuk merealisasikan investasi, dan juga lapangan kerja, Kedua, percepatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa. Ketiga, percepatan peningkatan ekonomi lokal, daerah, dan nasional.
(Lestari Indah, Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi)