Masa Jabatan Presiden
Belajar dari pengalaman perubahan masa jabatan presiden di Afrika, perlu diambil langkah-langkah pencegahan yang serius agar virus pandemi termisme ketiga yang banyak menyebar di Afrika tidak sampai menular ke Indonesia.
”Ada yang bilang presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya; satu ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Dan yang ketiga ingin menjerumuskan”. (Presiden Jokowi)
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih mewabah, ruang publik dijejali wacana perubahan kelima UUD 1945.
Salah satu isu paling seksi adalah diskursus perubahan masa jabatan presiden menjadi maksimal tiga periode. Salah satu perbedaan mendasar jabatan presiden di sistem republik dengan raja dalam sistem monarki adalah pembatasan masa jabatan tersebut. Berbeda dengan raja, presiden tak menjabat tanpa batas, apalagi seumur hidup.
Maka salah satu urat nadi konstitusionalisme adalah pembatasan masa jabatan presiden. Mengomentari hasil perubahan konstitusi, Tim Lindsey, Indonesianis dan guru besar Melbourne Law School, mengatakan, ”more than any other, this amendment was a clear statement of political transition from authoritarianism”. Ia tegas mengatakan, pembatasan masa jabatan presiden menjadi maksimal hanya dua periode adalah pesan paling terang benderang yang mengantarkan transisi Indonesia dari kegelapan rezim otoriter Orde Baru.
Dalam sejarah Amerika, negara yang melahirkan sistem presidensial, semangat pembatasan masa jabatan awalnya berlaku karena teladan kepemimpinan. Presiden pertama AS, George Washington (1789-1797) punya kesempatan yang terbuka lebar untuk menduduki periode ketiga. Namun, dengan jiwa besar ia menolaknya, dan melahirkan preseden maksimal dua periode kepresidenan.
Dalam sejarah Amerika, negara yang melahirkan sistem presidensial, semangat pembatasan masa jabatan awalnya berlaku karena teladan kepemimpinan.
Sayangnya, Presiden Franklin D Roosevelt (1933-1945) mematahkan tradisi itu dengan memenangi periode jabatan keempat pada 1944, meski hanya menjabat kurang dari tiga bulan dan meninggal karena sakit. Roosevelt satu-satunya presiden yang menjabat lebih dari dua periode karena setelahnya, Amandemen Ke-22 Konstitusi membatasi maksimal dua periode jabatan kepresidenan.
Sejak penerapan Amandemen Ke-22 sempat muncul beberapa godaan. Presiden Harry Truman, Dwight Eisenhower, dan Ronald Reagan berpendapat pembatasan maksimal dua periode jabatan kepresidenan bertentangan dengan kebebasan rakyat untuk memilih presiden yang mereka inginkan.
Tentang konstannya godaan perpanjangan jabatan presiden, dan merujuk pada empat periode Roosevelt, yang membuatnya hampir tak berjarak dengan ciri kerajaan, muncul istilah ”The Imperial Presidency”.
Lima jenis pembatasan
Ada lima jenis pembatasan masa jabatan presiden. Tiga di antaranya dituliskan Arendt Lijphart, yaitu tidak ada masa jabatan kedua (no re-election), tidak boleh ada masa jabatan yang langsung berlanjut (no immediate re-election), dan maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election).
Konsep satu kali masa jabatan diterapkan di Filipina, yang membatasi presiden hanya untuk enam tahun, dan tidak dapat dipilih kembali. Sementara model tidak boleh dipilih dalam periode jabatan yang langsung berurutan diterapkan di Peru, Nikaragua, dan Dominika.
Lebih banyak lagi negara yang menerapkan maksimal dua periode, termasuk Indonesia pasca-reformasi konstitusi 1999-2002, yang mengatur dua kali masa jabatan lima tahun, dan Amerika pasca-Amandemen Ke-22 dengan dua kali masa jabatan empat tahun.
Di luar konsep Lijphart, ada dua model pembatasan lain, yaitu tanpa pembatasan (no limitation) dan aturan yang memungkinkan untuk dipilih lagi lebih dari satu kali (more than one re-election). Konsep tanpa pembatasan pernah kita terapkan di era Orde Lama dan Orde Baru, yang menghadirkan presiden ”seumur hidup”. Sementara model pemilihan kembali lebih dari satu kali adalah model yang menjadi pintu masuk bagi lahirnya presiden dengan masa jabatan maksimal tiga kali.
Pandemi termisme ketiga
Kalau Covid-19 bermula di China, wabah third termism, atau virus termisme ketiga merebak di Afrika. Antara 2000 dan 2015, ada 15 pemimpin Afrika yang mengubah konstitusi negara, hanya empat yang gagal. Mereka menghapus batasan jabatan presiden dan tertular virus jabatan ketiga kepresidenan.
Presiden Uganda Yoweri Museveni dengan kesadaran penuh ”membeli” parlemen untuk mengubah konstitusi pada 2005, yang menghilangkan pembatasan masa jabatan dan memungkinkan dia menjabat tiga periode. Kasus di Burundi dan Rwanda menyiratkan modus operandi sama, di mana presiden petahana berhasil memanipulasi dukungan parlemen dan menghilangkan pembatasan masa jabatan presiden di konstitusi.
Sementara model pemilihan kembali lebih dari satu kali adalah model yang menjadi pintu masuk bagi lahirnya presiden dengan masa jabatan maksimal tiga kali.
Yang lebih terkini adalah Presiden Lansana Conte dari Guinea, yang mengubah konstitusi melalui referendum rakyat pada 2020. Awalnya menolak berbicara soal periode ketiga, Conte memanipulasi ambisinya dengan mengatakan bergantung pada will of the people, keinginan rakyat.
Dalam perjalanannya, menggunakan jejaring kekuasaannya hingga pengadilan, Conte memenjarakan pemimpin oposisi dan demonstran yang menentang upayanya menjabat tiga periode. Ironisnya, setelah berhasil memenangi pemilu dan menduduki periode ketiga kepresidenan, Conte digulingkan oleh kudeta militer.
Modus Conte sebelumnya juga dilakukan oleh Presiden Abdel Fattah el-Sisi dari Mesir, yang pada April 2019 mengubah pembatasan masa jabatan melalui referendum, yang memungkinkan dia menjabat hingga 2030. Serupa tapi tak sama, pada Juli 2018, Presiden Azali Assouman dari Komoro membubarkan Mahkamah Konstitusi dan parlemen, lalu menyelenggarakan referendum yang memperpanjang masa jabatan, dan akhirnya memenangi pilpres pada Maret 2019.
Baca juga : ”Satrio Piningit” Menenggelamkan Presiden Tiga Periode
Di Afrika, mewabahnya termisme ketiga menurunkan kepercayaan investor, meningkatkan ketegangan dalam negeri, mendorong korupsi, militerisme, dan tak jarang memicu kekerasan atau bahkan perang saudara. Termisme ketiga, karenanya kemunduran terbesar bagi transisi demokrasi dan kembali menghadirkan rezim otoriter (Mtembu: 2017).
Di Burundi, setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan Presiden Nkurunziza mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga (Chatziantoniou, 2016), sekitar 150.000 rakyatnya terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga karena pecahnya kerusuhan 26 April 2015. Kehidupan ekonomi di negara ini masih termasuk urutan paling bawah dalam indeks pembangunan manusia berdasarkan data Bank Dunia.
Belajar dari pengalaman di Afrika tersebut maka, perlu diambil langkah-langkah pencegahan yang serius agar virus pandemi termisme ketiga yang banyak menyebar di Afrika tidak sampai menular ke Indonesia.
Belajar dari bahaya dan pengalaman menangani Covid-19, Presiden Jokowi tentu paham untuk menjaga jarak dari godaan yang menjerumuskan, sering-sering mencuci hati, dan memakai ”masker” agar tidak tertular virus termisme ketiga yang memang mudah menular.
Apalagi, dengan kekuatan mayoritas mutlak koalisi partainya di parlemen, tak terlalu sulit bagi Presiden Jokowi memanipulasi dan merekayasa dukungan anggota MPR, dan mengegolkan amendemen konstitusi yang menghilangkan pembatasan masa jabatan presiden.
Tapi, becermin dari pernyataan Presiden Jokowi yang dikutip di awal artikel ini, kita yakin Presiden Jokowi sudah imun dan telah mendapat vaksin yang menambah kekebalan dari godaan virus termisme ketiga. Semoga.
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Senior Partner Integrity Law Firm