”Satrio Piningit” Menenggelamkan Presiden Tiga Periode
Masih belum ada tawaran sosok tokoh politik yang layak menandingi Jokowi, apalagi berprospek menjadi capres saat ini.
Wacana perpanjangan masa jabatan kepresidenan lebih dari dua periode selalu memantik perdebatan pada berbagai lapis kalangan. Saat ini pun, sikap pro dan kontra juga terjadi pada level masyarakat.
Merujuk pada hasil survei opini publik yang dilakukan Kompas, April 2021, misalnya, menunjukkan keterpilahan masyarakat dalam menyikapi wacana tersebut. Hasil survei mengungkapkan, tidak kurang dari 55 persen responden menolak jika dilakukan perpanjangan masa jabatan kepresidenan lebih dari dua periode.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, sisi sebaliknya, terdapat 42 persen responden yang menyatakan menyetujui jika perpanjangan periode jabatan kepresidenan dilakukan saat ini (Grafik 1).
Terdapat 42 persen responden yang menyatakan menyetujui jika periode jabatan kepresidenan dilakukan saat ini.
Dualitas sikap masyarakat semacam ini menarik dicermati. Kendati proporsinya kalah besar, kelompok masyarakat yang menginginkan perpanjangan periode masa jabatan kepresidenan ini tergolong signifikan jumlahnya. Persoalannya, mengapa keinginan semacam ini masih cukup besar dikehendaki?
Padahal, batasan jabatan kepresidenan sudah secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen pertama Sidang Umum MPR, 14-21 Oktober 1999. Pada Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak satu kali.
Semenjak era reformasi bergulir, dialektika masa jabatan kepresidenan tidak pernah redup. Hasil amendemen UUD 1945 dinilai kurang memuaskan. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana penambahan jabatan kepresidenan semacam ini terjadi. Baru saja setahun memasuki jabatan kedua kepresidenannya, pertengahan Agustus 2010, politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, mewacanakan amendemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan kepresidenan.
”Menurutku, Pak SBY masih bisa produktif 10 tahun lagi. Kenapa enggak kita pakai sepanjang beliau masih mampu,” ujar Ruhut (Kompas.com, 18/8/2010).
Usulan penambahan masa jabatan kontan memantik tanggapan pro dan kontra. Sekalipun banyak mendapat penentangan, keinginan yang sama tidak pudar. Bahkan, hingga menjelang Pemilu 2014, saat berakhirnya jabatan kepresidenan Yudhoyono, masih terdapat upaya menyandingkan kembali Presiden Yudhoyono dalam jabatan kepemimpinan negara. Menyiasati celah UUD 1945, Romahurmuziy, Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan, bahkan sempat berencana mengusung Yudhoyono sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2014. Akan tetapi, semua usulan dan wacana tersebut pupus.
Belakangan, pada periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, wacana perpanjangan periode jabatan kepresidenan ramai diperdebatkan kembali. Dimulai sejak November 2019, sejalan dengan pengangkatan Bambang Susatyo sebagai Ketua MPR (2019-2024), bergulir pula usulan amendemen UUD 1945. Saat itu, PDI-P merekomendasikan amendemen terbatas untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Perdebatan terjadi dengan keraguan apakah amendemen tidak akan melebar pada perubahan aspek lain yang tergolong fundamental. Salah satu persoalan krusial terkait dengan batasan masa jabatan kepresidenan. Terkait dengan keinginan mempersoalkan batasan jabatan kepresidenaan, Puan Maharani, Ketua DPR, menyatakan jika masa jabatan presiden sebanyak tiga kali itu perlu dibicarakan di Komisi II DPR.
Saat itu, Presiden Jokowi menegaskan sikapnya terkait amendemen UUD 1945. Salah satunya, ia menolak perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. ”Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu satu, ingin menampar muka saya. Kedua ingin cari muka. Padahal, saya sudah punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi di Istana Merdeka, 2 Desember 2019.
Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu satu, ingin menampar muka saya. Kedua ingin cari muka.
Sejak itu, sejenak wacana penambahan periode jabatan kepresidenan redup. Namun, pertengahan Maret 2021, jabatan presiden tiga periode kembali diperdebatkan. Kali ini, Amien Rais, mantan Ketua MPR, yang melemparkan wacana tersebut. Menurut Amien, perpanjangan masa jabatan kepresidenan dapat dilakukan rezim pemerintahan saat ini dengan meminta Sidang Istimewa MPR mengamendemen konstitusi, mengubah pasal masa jabatan Presiden sehingga dapat dipilih tiga kali. Dengan kondisi penguasaan kursi mayoritas DPR terkuasai pendukung Presiden Jokowi, maka MPR yang terdiri dari 575 DPR dan 136 DPD berpotensi melegalkan amendemen.
Ketika wacana jabatan kepresidenan kian menghangat, lagi-lagi Presiden Jokowi kembali merespons, ”Bolak-balik sikap saya tidak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak juga berminat, tidak ada juga niat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode, itu yang harus dijaga bersama-sama.”
Terbaru, wacana presiden tiga periode kembali diangkat. Dipicu dengan keinginan sejumlah sukarelawan Komunitas Jokowi-Prabowo yang mendukung pasangan Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Presiden, melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman, menegaskan jika ia tetap menolak wacana presiden tiga periode. Jokowi, kata Fadjroel, tetap tegak lurus terhadap konstitusi UUD 1945 dan setia terhadap Reformasi 1998. Ia juga mengingatkan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur dalam UUD 1945 amendemen pertama hanya dua periode.
Dengan penegasan sikap presiden dan juga sesuai dengan kehendak sebagian besar masyarakat yang menolak, wacana penambahan jabatan idealnya tuntas. Hanya saja, pesan di balik dukungan penambahan masa jabatan ini menarik dicermati.
Jika dielaborasi, hasil survei kali ini menunjukkan sikap dukungan tersebar secara proporsional dalam berbagai lapis identitas masyarakat. Dari sisi domisili, persetujuan penambahan periode jabatan kepresidenan tampak merata. Baik mereka yang bermukim di Jawa maupun di luar Jawa, tidak kurang empat dari 10 warga yang memberikan persetujuan.
Namun, dari segenap latar identitas, terdapat kecenderungan khas pola dukungan. Tampaknya, persetujuan agak besar dinyatakan pada kelompok-kelompok yang selama ini cenderung ”terpinggirkan” secara sosial. Hasil survei menunjukkan, dibandingkan dengan laki-laki, persetujuan dari kaum perempuan tampak lebih besar. Dari sisi usia, jika kalangan berusia muda (produktif) jauh lebih besar yang menolak, tidak demikian yang terjadi pada mereka yang tergolong berusia tua. Terdapat peningkatan dukungan sejalan dengan semakin bertambahnya usia mereka (Grafik 2).
Begitu pula semakin rendah strata sosial masyarakat, semakin meninggi tingkat persetujuan penambahan jabatan kepresidenan. Dari sisi pendidikan, misalnya, dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan kepresidenan proporsinya lebih banyak dinyatakan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Apabila pada kalangan lulusan perguruan tinggi hanya seperempat bagian yang mendukung, pada kalangan berpendidikan rendah separuh yang mendukung.
Pernyataan sikap dukungan lapisan sosial bawah masyarakat semakin dipertegas dari sisi kelompok ekonomi masyarakat. Kecenderungan penolakan dukungan dominan pada kalangan ekonomi menengah atas. Bagi mereka yang terkelompokkan sebagai kalangan ekonomi bawah, disikapi sama besar antara mereka yang setuju penambahan jabatan kepresidenan dan tidak menyetujuinya (Grafik 3).
Persoalannya, mengapa kecenderungan persetujuan kalangan masyarakat terhadap penambahan jabatan kepresidenan muncul dari mereka yang ”terpinggirkan” secara sosial?
Persetujuan kalangan masyarakat terhadap penambahan jabatan kepresidenan muncul dari mereka yang ”terpinggirkan”
Jawaban paling logis tersirat dari hasil survei ini. Jika ditelusuri lebih jauh, faktor kinerja kepemimpinan presiden menjadi dasar pertimbangan persetujuan perpanjangan jabatan kepresidenan. Selama kepemimpinan Presiden Jokowi, ekspresi kepuasan publik terhadap kinerjanya tampak dominan, semenjak menjabat hingga saat ini. Bahkan, dalam beberapa periode survei belakangan ini justru tampak tren peningkatan kepuasan yang signifikan. Lebih dari dua pertiga responden menyatakan kepuasan mereka (Grafik 4).
Penilaian kinerja yang tinggi berelasi dengan keinginan masyarakat untuk memperpanjang jabatan kepresidenan. Terbukti, hasil survei ini menunjukkan jika bagi mereka yang merasa puas terhadap kinerja presiden maka semakin besar pula proporsi dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan kepresidenan. Sebaliknya, penolakan perpanjangan masa jabatan kepresidenan mayoritas diutarakan kalangan yang merasa tidak puas (Grafik 5).
Berbasis alasan pada pertimbangan kepuasan terhadap kinerja ini pula yang semakin dominan tampak pada kalangan yang secara sosial ”terpinggirkan”. Presiden Jokowi, bagi kalangan ini menjadi sosok jawaban kepemimpinan yang diharapkan. Sepanjang usia pemerintahannya, kinerja kepemimpinan Jokowi mereka nilai telah meningkatkan eksistensi sosial mereka. Di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi, sosial, maupun politik yang kerap meminggirkan posisi kelompok ini, Jokowi dinilai telah berperan sebagai benteng pertahanan. Itulah mengapa keinginan memperpanjang jabatan kepresidenan dikehendaki sekalipun proses amendemen UUD 1945 harus dilakukan.
Pada sisi lain, cukup besarnya dukungan perpanjangan masa jabatan kepresidenan dapat dimaknai sebagai pesan penting dalam reproduksi kepemimpinan politik di negeri ini. Kurang dari tiga tahun jelang pemilihan presiden, masih belum tampak kemunculan tokoh-tokoh yang dinilai sekuat figur Jokowi. Bahkan, dalam hasil survei pun, sosok Jokowi masih menjadi referensi terbesar yang dipilih menjadi presiden jika pemilu dilakukan saat ini (Grafik 6).
Terdapat memang sosok penantang lainnya, seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan beberapa tokoh politik lain. Akan tetapi, becermin pada hasil survei preferensi publik, sejauh ini pergerakan dukungan terhadap setiap sosok tersebut belum tampak mencolok, apalagi hingga mampu memudarkan pesona sosok Jokowi. Dalam hal ini, dapat diartikan, masih belum ada tawaran sosok yang layak menandingi Jokowi, apalagi berprospek menjadi benteng perlindungan eksistensi sosial mereka.
Masih belum ada tawaran sosok yang layak menandingi Jokowi
Jika diperbandingkan, tampak agak berbeda kondisinya dengan pengalaman masa lampau, tatkala kehendak perpanjangan masa jabatan kepemimpinan presiden yang sempat mengemuka tidak menjadi wacana konkret. Penyebabnya, pada saat yang sama publik mulai terpaku sekaligus diyakinkan pada kemunculan fenomenal sosok Jokowi.
Dua tahun sebelum Pemilu 2014, popularitas Jokowi tengah meroket, sekaligus menjadi rujukan paling tinggi bagi pemimpin nasional. Dengan sendirinya, tingginya popularitas Jokowi sebagai sosok baru pemimpin yang dinantikan itu menenggelamkan wacana keinginan perpanjangan periode jabatan kepresidenan.
Itulah mengapa dalam proses pergatian kepemimpinan, kehendak masyarakat yang terangkum dalam hasil survei ini menjadi pesan yang tegas, jika sepanjang ”satrio piningit” belum jelas terjelma pada sosok politik yang bersaing saat ini, maka gema presiden tiga periode tetap mencuat. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)