Produk peraturan perundang-undangan yang mengesampingkan partisipasi masyarakat, artinya telah melanggar kontrak sosial, demokrasi dan kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan negara hukum.
Oleh
DESPAN HERYANSYAH
·6 menit baca
Dalam suatu konferensi negara hukum di Jakarta pada 9-10 Oktober 2012, ada sejumlah hasil terangkum di dalamnya. Antara lain satu hal terkait dengan isu legislasi: ”...diperlukan alat untuk menilai kualitas legislasi dan proses legislasi yang bisa mendekatkan isi undang-undang dengan cita keadilan. Dalam konteks inilah perlu dibuka ruang yang lebih besar untuk kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat untuk ikut serta dalam proses legislasi sehingga muatan legislasi bisa didekatkan sedekat mungkin dengan kondisi sosial yang ada”.
Pokok pikiran yang dihasilkan melalui proses diskusi dengan sejumlah pihak memperlihatkan bahwa problem legislasi masih berkutat pada dua hal. Pertama, soal bagaimana kualitas dan proses legislasi yang bisa mendekatkan isi dengan cita keadilan. Kedua, bagaimana merespons politik perundang-undangan agar tidak terjebak ke dalam pola represif dan membatasi kebebasan masyarakat sipil. Problem legislasi ini bukanlah hal baru, melainkan serasa melekat dengan konteks politik hukum Indonesia, di mana legislasi menjadi tarik-menarik kepentingan antarpihak dan kerap mengabaikan prinsip-prinsip sekaligus menguatkan substansi yang lebih maju dan protektif bagi warga negara (Herlambang Perdana W, 2012).
Pasalnya, problem legislasi (atau juga regulasi) tidak senantiasa selesai dengan kemampuan mematerialkan aturan atau norma ke dalam suatu produk hukum tertentu. Dan, itu memerlukan suatu sistem politik dan penegakan hukum yang juga diberikan mandat serupa, mendekatkan substansi hukum pada sisi keadilan sosial yang lebih luas.
Peran pembentukan hukum dalam sistem hukum Indonesia yang bertradisikan sistem Civil Law ini memiliki peran tersendiri dalam sistem hukum itu. Karena sifatnya tak sekadar bagaimana proses-proses pembentukan hukum bisa dilakukan dengan terbuka dan partisipatif terhadap akses publik, melainkan pula memikirkan sejauh mana kemampuan materialisasi dan konseptualisasi melalui norma itu bisa teraplikasi secara lebih jelas, lebih melindungi kepentingan hak-hak warga negara (fundamental rights), dan memiliki efektivitas dan kemanfaatan bagi keadilan sosial.
Ini yang kerap kali disebut sebagai pembentukan hukum yang bertanggung jawab sosial (social responsibility law making). Secara filsafat hukum, tidaklah cukup menggali aspek kepastian dalam norma itu, tetapi juga menyeimbangkan dengan aspek keadilan dan aspek kemanfaatan, baik dari sudut pandang negara (penyelenggara pemerintahan) maupun sudut pandang masyarakat. Ini hanya mungkin dicapai apabila prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan tidak hanya bersandar pada kehendak pemerintah dan DPR semata (legalisme), tetapi juga menancap pada ruang kehidupan masyarakat yang paling dasar (Herlambang Perdana W, 2012: 2).
Kecacatan prosedur
Sayangnya, seperangkat problem legislasi yang terjadi sejak lama itu, hari ini masih sangat kental aromanya, jika tidak semakin menguat. Tidak begitu sulit rasanya untuk menghitung dengan jari proses pembuatan udang-undang yang melompati partisipasi masyarakat. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana UU Cipta Kerja/omnibus law, UU KPK, dan UU MK yang hanya dalam hitungan hari sudah disahkan menjadi UU. Masyarakat bukan saja tidak diajak bicara, tetapi bahkan penolakan yang dilakukan, direspons dengan berbagai tindakan represif dari aparat penegak hukum, seolah-olah masyarakat telah melakukan tindak pidana.
Secara normatif, partisipasi masyarakat ini dikuatkan oleh Pasal 96 UUP3 yang menyebutkan: masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, selama ini partisipasi masyarakat ini kerap disederhanakan dengan bentuk atau proses sosialisasi dan konsultasi publik semata, namun kemudian tidak ada ruang kontrol politik kewargaan untuk bisa terus mengawasi bekerja atau efektivitas legislasi tersebut.
Sampai di sini, pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah mengapa partisipasi masyarakat sebagai aspek formil dibutuhkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan? Menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba merelevansikannya dengan kontrak sosial, demokrasi dan kedaulatan rakyat, dan hak asasi manusia.
Pertama, partisipasi masyarakat sebagai wujud dari kontrak sosial. Partisipasi masyarakat menjadi basis utama dalam proses pembentukan undang-undang, mulai dari prakarsa sampai pada level pengundangan. Upaya ini dilakukan guna merefleksikan people willing sebagai dasar bekerjanya kontrak sosial dalam praktik legislasi (Luc J Wintgens, 2012: 206).
Partisipasi masyarakat menjadi basis utama dalam proses pembentukan undang-undang, mulai dari prakarsa sampai pada level pengundangan.
Sebagaimana kita mafhum bahwa negara ini lahir dari kontrak sosial masyarakat Indonesia, di mana masyarakat menyerahkan sebagian haknya untuk dikelola, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara (Idul Rishan, 2021: 15). Namun, tidak seluruh komponen hak itu diserahkan kepada negara. Masyarakat tetap memegang hak-hak dasar, dan ketika suatu saat negara tidak lagi sejalan atau melanggar kontrak sosial, masyarakat berhak mengambil kembali apa yang diserahkannya dalam kontrak sosial itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan harus tetap memperhatikan serta melibatkan pemegang hak sesungguhnya dalam membentuk peraturan, ini adalah aturan main agar apa yang disahkan memang apa yang diinginkan oleh si pemegang hak.
Kedua, partisipasi masyakat sebagai implementasi konkret dari demokrasi dan kedaulatan rakyat. Perkembangan demokrasi yang terakhir sebagaimana dikemukakan Brian Z Tamanaha dan Adriaan W Bedner, bahwa demokrasi pada maknanya yang paling prinsipil adalah prosedur pelibatan rakyat dalam pengambilan kebijakan.
Demokrasi menghendaki agar rakyat dilibatkan, pilihan rakyat atas kebijakan apa yang akan diterapkan terhadap mereka, harus dihormati oleh pembentuk peraturan perundang-undangan (Adriaan W Bedner, 2012, 50). Ini kemudian mendapatkan relevansinya dalam kedaulatan rakyat, bahwa kebijakan terbaik bagi rakyat adalah apa yang terbaik menurut kehendak rakyat, bukan kehendak ilmuwan, profesor, apalagi parlemen. Dalam konteks ini pula asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 mendapatkan tempatnya. Kehendak rakyat ini memang sering dikaburkan dengan dianutnya demokrasi perwakilan di Indonesia.
Kebijakan terbaik bagi rakyat adalah apa yang terbaik menurut kehendak rakyat, bukan kehendak ilmuwan, profesor, apalagi parlemen.
Perlu dicatat bahwa meskipun undang-undang secara formal telah dibentuk DPR dan presiden sebagai wujud demokrasi perwakilan, sangat perlu perhatikan aspek-aspek lain dari demokrasi walaupun dijalankan atas dasar demokrasi perwakilan, tidak berarti demokrasi hanya dijalankan atau hanya berada di tangan badan perwakilan. Dari demokrasi perwakilan tetap dibutuhkan partisipasi publik untuk lebih menjamin perwujudan politik yang general (JJ Rousseau). Karena itu, dalil-dalil demokrasi perwakilan tetap ada pranata-pranata seperti referendum, inisiatif rakyat, petisi, termasuk hak menyatakan pendapat melalui pernyataan demonstrasi atau opini publik atau hak berekspresi pada umumnya.
Ketiga, partisipasi masyarakat sebagai wujud perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Beberapa hak asasi yang dijamin dan relevan dengan pembahasan ini adalah hak self determination (hak menentukan nasib sendiri), hak berpartisipasi, dan hak menyampaikan pendapat.
Dalam teori hak asasi manusia, negara adalah pengemban tanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak menentukan nasib sendiri, hak berpartisipasi, dan hak menyampaikan pendapat. Dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara wajib menyediakan sarana yang sedemikian rupa agar akses masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang dibuat tersampaikan dan selanjutnya diakomodasi. Jika dalam proses itu dilakukan secara tertutup dan masyarakat tidak dilibatkan, telah terjadi pelanggaran HAM.
Muara dari argumentasi ini terletak pada pembuat undang-undang dan Mahkamah Konstitusi. DPR dan pemerintah sejatinya secara serentak menolak pembahasan, apalagi persetujuan yang menghilangkan partisipasi masyarakat. Demikian pula MK, sejatinya menganulir UU yang lahir tanpa melibatkan masyarakat.
Produk peraturan perundang-undangan yang mengesampingkan partisipasi masyarakat, artinya telah melanggar kontrak sosial, demokrasi dan kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan negara hukum. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa prosedur tidak dapat dipisahkan dari hasil. Sebaik apa pun hasilnya, jika mengabaikan aspek prosedur pembuatan, hal itu telah mengabaikan kontrak sosial, demokrasi dan kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan negara hukum. Dalam sistem pengujian undang-undang, Mahkamah konstitusi adalah jalan terakhir bagi warga negara untuk mendapatkan kembali martabat kemanusiaannya secara utuh.
Despan Heryansyah
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta