Bangsa ini perlu jutaan anak bajang yang memiliki kesadaran diri untuk selalu mengeksplorasi ide, jiwa dan kreativitas secara etik, estetik dan kultural demi menemukan otentisitas diri.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Tokoh Sukrosono secara tipologis buruk rupa tapi secara psikologis berhati mulia dan suka membantu orang lain. Ini relevan dengan arti nama Sukrosono yaitu suko, menyukai dan srono (sarana).
Sukrosono: suka menjadi sarana atau jalan, media atau cara untuk mewujudkan kebahagiaan orang lain. Meski sudah disia-siakan dan disakiti, Sukrosono tetap bersedia membantu kakaknya, Bambang Sumantri, untuk mewujudkan kariernya jadi senopati di Keraton Maespati yang dipimpin Raja Harjunasasrabahu.
Bambang Sumantri tipe manusia “sempurna” (berwajah tampan dan gagah, berpengetahuan, pintar, cakap/terampil dan punya modal natural dan kultural lainnya). “Kesempurnaan” itu menjadikan ia tak menghitung keberadaan liyan.
Ia menganggap punya adik cacat dan buruk rupa sebagai beban, bahkan bencana. Ia selalu ingin melenyapkan eksistensi adiknya, tapi selalu gagal. Hebatnya, Sukrosono tak sakit hati atau dendam. Ia justru membalas dengan kasih sayang.
Budayawan GP Sindhunata menjadikan sosok dan karakter Sukrosono sebagai basis penulisan novel Anak Bajang Mengayun Bulan. Novel ini juga menandai berdirinya Museum Anak Bajang yang diluncurkan di Pakem, Sleman, Yogyakarta dalam webinar, Senin (27/9). Banyak tokoh penting hadir.
Tesis Sindhunata adalah dengan ketaksempurnaannya manusia berjuang secara lahir batin menuju ke kesempurnaan.
Tesis Sindhunata adalah dengan ketaksempurnaannya manusia berjuang secara lahir batin menuju ke kesempurnaan. Meski itu tak mungkin terwujud dalam tataran ideal, karena manusia adalah kekurangsempurnaan itu sendiri. Justru dalam kondisi tak sempurna, manusia memiliki horizon pengetahuan dan nilai. Manusia terus berjuang mencapai horizon itu, layaknya Sisyphus yang ingin mencapai puncak ketinggian tapi selalu jatuh, dan berusaha naik lagi. Begitu seterusnya.
Manusia-manusia dalam konteks pencarian nilai, serupa Anak Bajang Mengayun Bulan. Anak bajang jadi representasi simbolik manusia tak sempurna. Bulan menjadi simbol nilai -nilai keindahan dan kebenaran. Adapun kemanusiaan anak bajang bersifat transendental: peduli dan melayani sesama.
Pemimpin dan bulan
Menarik, novel Anak Bajang Mengayun Bulan hadir saat ini. Yaitu ketika bangsa Indonesia lepas dari sistem otoriterianistik dan masuk ke sistem demokratik. Dalam perubahan dan peralihan itu, demokrasi yang dibayangkan menjadi kereta kebangsaan menuju horizon nilai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, ternyata dibelokkan kekuatan modal, politik parpol dan mesin pasar.
Hasilnya, ritus demokrasi prosedural yang melibatkan aktor-aktor elite politik dan ekonomi yang kurang memiliki kesanggupan. Dalam istilah novel Sindhunata: mengayun bulan.
Ya, mengayun bulan agar cahaya bulan itu lebih tersebar secara lebih luas, membahagiakan warga negara, terutama wong cilik atau anak-anak bajang yang jauh dari kesempurnaan dan kemajuan.
Dalam konsep kepemimpinan Jawa Hasta Brata, pemimpin harus mampu menjadi bulan: memberikan kebahagiaan kepada rakyatnya. Bisa jadi banyak pemimpin bercita-cita menjadi bulan, tapi dalam praktiknya ia tak sanggup mengatasi segala godaan kekuasaan.
Akhirnya mereka mengalami dehumanisasi: menjadi mesin dan hedonistik alias menyembah kenikmatan. Jiwa mereka mengeropos karena selalu digempur zat-zat perusak yang disokong oleh pikiran mereka yang hanya berorientasi pada materi dan kekuasaan.
Kekuasaan kadang menipu manusia, karena keputusan berdasarkan kewajiban moral, kadang berbelok arah jadi langkah-langkah teknis berbasis pragmatisme demi tujuan jangka pendek. Imajinasi atas kepentingan publik tereduksi jadi kepentingan personal. Korupsi bukan hanya disebabkan mentalitas dan akal budi yang bengkok, melainkan juga, yang paling utama, adalah kekuasaan.
Orang tak bisa disebut bersih dan jujur jika ia belum teruji memegang kekuasaan. Begitu ia memegang kekuasaan, baru tampak karakter yang sesungguhnya. Culas atau jujur.
Pesan lain dari novel Sindhunata antara lain, jika manusia merasa sempurna, maka berarti dia sudah selesai. Stagnan dalam ide dan daya cipta serta perilaku baik (etis dan estetis). Tak mengeksplorasi diri untuk mencari nilai-nilai baru yang lebih bermakna secara personal dan sosial. Narsistik.
Tak ada koreksi dan mawas diri. Manusia jadi pemborong kebenaran dan berpotensi jadi fundamentalis, radikal dan ekstremis. Padahal hidup ini menjadi harmonis jika ada pengakuan atas the others (liyan) dan differents (keberbedaan karakter, cara pandang dan lainnya). Maka, menjaga diversitas atau keanekaragaman bentuk, sifat dan asal usul, menjadi penting. Ini sesuai kodrat kebudayaan manusia, di mana heterogenitas budaya keniscayaan sejarah.
Dalam praktik kehidupan, kita tak bisa menemukan manusia sempurna. Namun, orang Jawa bilang ‘Ora sempurno ora apa-apa, anggere anggone dadi menungsa ora kebangeten le asor (tak sempurna tak apa-apa, asal ketika menjalani jadi manusia jangan terlalu rendah budi pekertinya). Bagi orang Jawa, kunci hidup adalah tahu batas.
Misalnya, duwe rasa cukup (punya ukuran pemilikan materi dan non-materi, tak serakah). Juga, urip kudu dilakoni kanthi samadya, nanging yen duwe panjangka apik, kudu aji (hidup dijalani dengan kesederhanaan, tapi jika punya cita-cita baik, harus berkualitas).
Bagi orang Jawa, kunci hidup adalah tahu batas.
Anak bajang yang berelasi dengan tokoh Sukrosono sejatinya merupakan “anak ideologis dan batiniah” Sindhunata yang hadir memberikan refleksi untuk publik: ada yang penting dan mulia dalam hidup ini, yaitu membela nila-nilai kemanusiaan dan manusia. Dalam kemanusiaan, kita akan bertemu dengan Tuhan.
Bangsa ini perlu jutaan anak bajang yang memiliki kesadaran diri untuk selalu mengeksplorasi ide, jiwa dan kreativitas secara etik, estetik dan kultural demi menemukan otentisitas diri. Dalam aktualisasinya, anak-anak bajang itu bergerak menggiring nilai-nilai kebenaran dan kebaikan menuju lubuk rakyat yang paling dalam. Sehingga, rakyat pun menemukan dan menikmati cahaya bulan yang diayun anak bajang itu.
Dalam konteks bernegara, anak bajang Sindhunata merindukan munculnya banyak negarawan, bukan sekadar birokrat dan politisi.