Penjadwalan Ulang Agenda Politik
Tugas setiap generasi adalah menyerahkan negara dan sistem ketatanegaraannya pada generasi berikutnya dengan kondisinya yang lebih baik. Adalah hal yang sepatutnya untuk kita menata ulang jadwal ketatanegaraan kita.
Sebagai suatu bangsa kita sudah sepakat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 6A Ayat 1 “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dan Pasal 7 “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Mengenai pemilu, UUD 45 Pasal 22E Ayat (2) berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Pasal ini diartikan Mahkamah Konstitusi (MK) pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) harus diselenggarakan bersamaan.
Sebagai suatu negara kita telah melaksanakan ketentuan konstitusi itu pada 2019 dan kita sama-sama menyaksikan ketegangan luar biasa pada pileg dan pilpres serempak yang kurang ideal bagi perkembangan sistem politik dan demokrasi yang sehat. Ketegangan sosial yang begitu tinggi dihasilkan dari situasi kontestasi pilpres dan imbas dari persaingan sengit antarpartai di arena pileg.
Kegaduhan dan friksi-friksi yang timbul seputar momen itu sangat mengkhawatirkan. Patut dihargai langkah Prabowo Subianto untuk mencairkan ketegangan Pilpres dan Pileg 2019 dengan memutuskan jadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Ketegangan sosial yang begitu tinggi dihasilkan dari situasi kontestasi pilpres dan imbas dari persaingan sengit antarpartai di arena pileg.
Selain itu, Pemilu 2019 yang secara serentak memilih presiden-wapres, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, banyak memiliki kekurangan.
Pertama, Pemilu 2019 mengakibatkan banyak suara tak sah. Mencapai 11,12 persen. Sebab, lima kertas suara yang digunakan, membuat pemilih kurang cermat dalam mencoblos.
Kedua, pileg (DPR, DPD, DPRD) pada masa kampanye kurang dapat perhatian karena pemilih, juga media televisi dan media sosial, lebih fokus pada pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketiga, pemilu serentak pada 2019 dengan menggunakan lima kotak suara dengan cara perhitungan di TPS yang manual, mengakibatkan ratusan petugas pemilu ad hoc di lapangan meninggal dunia. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal pada Pemilu 2019 ada 894 dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Hasil survei nasional lembaga Indikator yang dirilis awal Agustus 2021, menunjukkan 67,4 persen responden meyakini walaupun tak sempurna, sistem politik demokrasi adalah sistem terbaik, dengan semua pejabat eksekutif (bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota, gubernur-wakil gubernur, presiden-wakil presiden) dan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dipilih langsung oleh rakyat.
Adalah tugas elite politik untuk melaksanakan kehendak rakyat membangun negara demokrasi yang stabil, karena parpol berperan sentral dalam pencalonan pejabat eksekutif dan legislatif di semua tingkatan. Dengan format diatas, puncak agenda politik nasional terjadi setiap lima tahun berupa pileg dan pilpres. Pileg sudah diselenggarakan tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Pilpres dari 2004, 2009, 2014 dan 2019.
Pada 2004, pileg yang memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan 5 April 2004, terpisah dari pilpres yang diselenggarakan tiga bulan kemudian, pada 5 Juli 2004 putaran pertama dan 20 September 2004 putaran kedua. Pada 2009, pileg dilaksanakan pada 9 April 2009, diselenggarakan terpisah tiga bulan dari pilpres pada 8 Juli 2009 (satu putaran). Pada 2014, pileg dilaksanakan pada 9 April 2014 terpisah tiga bulan dari pilpres pada 9 Juli 2014 (satu putaran).
Pileg dan pilpres bersamaan baru terjadi pada 2019 sebagai pelaksanaan dari putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014, yang lalu diperkuat dengan putusan MK No 55/PUU- XVII/2019 tanggal 26 Februari 2020.
Banyak yang mencurigai keputusan itu diambil dengan niat agar semua partai bisa mencalonkan tanpa presidential threshold. Majelis hakim MK menegaskan, penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD bertujuan menguatkan sistem presidensial di pemerintahan Indonesia dan merupakan rancang bangun penyelenggaraan tata pemerintahan presidensial.
Sangat sedikit negara republik unitarian (kesatuan) bersistem presidensial penuh yang menyelenggarakan pileg bersamaan dengan pilpres.
Sangat sedikit negara republik unitarian (kesatuan) bersistem presidensial penuh yang menyelenggarakan pileg bersamaan dengan pilpres. Turki baru beberapa tahun beralih dari semi presidensial ke presidensial penuh lewat referendum yang alot.
Evaluasi pemilu serentak
Setelah Pemilu 2019, perlu dievaluasi apakah baik untuk kita langgengkan penyatuan pileg dan pilpres tersebut.
Dengan menghormati pandangan para hakim MK diatas, wacana untuk memisahkan Pileg dan Pilpres tidak perlu buru-buru ditutup dengan menimbang beberapa hal berikut ini.
Partai politik telah kian menjadi lembaga yang sangat strategis di negara kita; karena bukan hanya bertugas menyalurkan aspirasi rakyat, melakukan pendidikan, melahirkan gagasan-gagasan baru untuk kemajuan bangsa, negara dan masyarakat luas di segala bidang, mengartikulasikan gagasan, aspirasi, ide dari rakyat untuk diwujudkan dalam penyelenggaraan negara dan mensosialisasikan kebijakan-kebijakan negara.
Parpol juga memiliki tugas utama dan mulia yaitu mencarikan bagi rakyat putra-putri terbaik Indonesia untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan politik presiden-wakil presiden, menteri, anggota DPR, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan jabatan-jabatan politik lain yang dipilih oleh DPR.
Sebagai orang yang lama ikut menjadi pengurus parpol, terlibat di setiap pilpres/pileg, sempat jadi anggota kabinet dan anggota DPR, dan terlibat di banyak pilkada, saya merasakan betul kesibukan partai-partai yang tiada henti dalam mengikuti jadwal politik kenegaraan.
Sungguh bukan tugas yang mudah untuk parpol memilih figur yang bersih, memiliki integritas, moral dan etika yang tinggi, memiliki nurani keberpihakan pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dan tak berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek, kelompok dan golongan, mampu, dan visioner sebagai calon yang diajukan pada jabatan-jabatan politik di semua tingkatan dan pejabat lembaga-lembaga negara yang dipilih DPR-RI.
Siklus politik lima tahunan seharusnya menghasilkan pimpinan terbaik, primus inter pares, karena rakyat memilih yang terbaik dari calon-calon yang baik di pileg dan pilpres, maupun pilkada.
Untuk pileg dan pilpres selanjutnya, DPR-RI sudah merancang akan diselenggarakan di Februari 2024. Setelah presiden terpilih dan dilantik di bulan Oktober, akan ada pilkada di 241 provinsi dan kabupaten kota pada November. Kemudian akan ditentukan kapan pemilu serempak untuk pilkada lainnya.
Sungguh saya tak bisa membayangkan kerepotan yang dialami semua partai dalam menyongsong agenda politik 2024 itu, untuk memilih calon-calon terbaik, yang pasti akan menguras energi sosial ekonomi masyarakat. Juga kualitas penyelenggaraan pemilunya sendiri dengan rakyat memilih empat tokoh untuk legislatif dan satu pasangan presiden/wapres.
Segi lainnya, mengenai ketentuan presidential threshold. Pada Pilpres 2004, 2009 dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional hasil pileg yang telah dilaksanakan beberapa bulan sebelumnya.
Di Pilpres 2004, angka presidential threshold adalah 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Dalam Pilpres 2009 dan 2014, angka presidential threshold adalah 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pileg.
Baca juga : Model Koalisi 2024
Namun untuk Pilpres 2019 ketentuannya berbeda, karena pelaksanaan pilpres dan pileg dilaksanakan secara serentak, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR lima tahun sebelumnya (2014). Pola ini akan diulang di 2024. Pilpres 2024 akan menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR 2019 sebagai presidential threshold.
Di sini, argumentasi MK mengenai perkuatan sistem presidensial memiliki kelemahan karena angka presidential threshold tak legitimate karena tak menggambarkan realitas politik yang aktual. Apakah relevan menggunakan hasil pileg lima tahun sebelumnya sebagai presidential threshold karena dinamika politik demikian tinggi dan situasi riil di lapangan bisa sudah sangat berubah? Dalam konteks ini, hasil pileg sebelumnya pun bisa dipengaruhi apa yang secara teori politik disebut coattail effect dari seorang capres yang populer.
Perlu diingat, presidential threshold antara lain bertujuan untuk membatasi jumlah calon yang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan pertimbangan, memudahkan rakyat memilih, menghemat biaya, membiasakan bersinergi di antara kekuatan-kekuatan politik yang membawa berbagai aspirasi. Dengan memiliki kedudukan yang tinggi dalam pengujian konstitusi, MK bersama lembaga tinggi negara lainnya, terutama MPR perlu menyempurnakan agenda politik demokrasi kita.
Kita sudah punya pengalaman membangun sistem politik dengan jadwal yang lebih tertib dan memberikan ruang yang cukup untuk semua pihak menjalankan tugas dan peranan kelembagaannya tanpa dinamika politik yang terlalu bising.
Di masa Orde Baru, pemilu berlangsung setiap lima tahun sejak pemilu pertama di era tersebut, pada 1971, yaitu di tahun yang berekor 2 dan 7. Berlangsung Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, Pemilu 1997 untuk memilih anggota-anggota legislatif. Dan setelah lembaga-lembaga legislatif terbentuk, DPR dan MPR menyusun GBHN, baru melakukan pilpres oleh MPR dan pemerintahan baru terbentuk di tahun yang berekor 3 dan 8. Yaitu 1978,1983,1988,1993,1998.
Dengan segala kekurangannya, siklus politik masa Orde Baru berlangsung dalam suasana yang lebih tenang.
Dengan memiliki kedudukan yang tinggi dalam pengujian konstitusi, MK bersama lembaga tinggi negara lainnya, terutama MPR perlu menyempurnakan agenda politik demokrasi kita.
Menata ulang jadwal politik nasional
Kiranya ke depan kita perlu mengatur jadwal politik nasional dengan pileg lima tahun sekali seperti yang sudah berlangsung yakni di tahun yang berekor 4 dan 9 yaitu 2024, 2029, 2034, 2039 dan seterusnya. Sementara pilpres, sebaiknya dilakukan beberapa bulan setelahnya di tahun yang berekor angka 5 dan 0. Yaitu di 2025, 2030, 2035, 2040 dan seterusnya dengan menggunakan presidential treshold pileg sebelumnya.
Guna mewujudkan itu, dalam rangka wacana amendemen UUD 45 yang kelima bisa dilakukan kesepakatan di MPR yang dituangkan dalam pasal peralihan untuk mengubah jadwal pilpres seperti pola di atas, tanpa mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Mayoritas anggota MPR perlu menyetujui penetapan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin sebagai Pelaksana Tugas Presiden dan Wapres selama beberapa bulan antara Oktober 2024 sampai pelantikan presiden hasil Pilpres 2025.
Baca juga : MK Diminta Memformat Ulang Keserentakan Pemilu 2024
Saat ini Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan 541 kabupaten/kota yang dipimpin gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota yang telah disepakati untuk dipilih langsung dengan masa jabatan lima tahun. Secara total ada 575 provinsi/kabupaten/kota yang kalau dibagi rata, setiap bulan akan ada 48 pilkada yang pasti akan menguras energi partai-partai politik dan bukan mustahil membuat kegaduhan yang terus-menerus.
Kita juga tahu, anggota DPR-RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota selalu ditugaskan partainya untuk ikut memenangkan calon kepala daerah dari partainya. Karena tak serempak, maka kita sering menyaksikan sidang-sidang DPR, DPRD yang kosong karena anggota legislatifnya sedang tugas di lapangan mendukung calon partainya di pilkada.
Oleh karena itu kita mendukung konsep pilkada serempak. Pilkada serempak ini juga menutup kemungkinan mobilisasi massa antar daerah untuk kampanye. Menurut hemat saya, pelaksanaan pilkada serempak dapat dilakukan dalam dua gelombang pada tahun yang ekornya 2 dan 7 serta 3 dan 8. Pada tahun yang ekornya 1 dan 6 sebaiknya jangan ada agenda pemilihan langsung agar Presiden dan DPR/DPD/DPRD dapat berkonsentrasi merancang berbagai program kerja dalam masa baktinya.
Tugas setiap generasi adalah menyerahkan negara dan sistem ketatanegaraannya pada generasi berikutnya dengan kondisinya yang lebih baik. Adalah hal yang sepatutnya untuk kita menata ulang jadwal ketatanegaraan kita.
Siswono Yudo Husodo, Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila